Damai Politik untuk Politik Damai

oleh

Oleh : Marah Halim*

Perseteruan politik yang terjadi di Aceh Tengah antara Bupati dan Wakil Bupati yang saat ini “viral” bagi masyarakat Gayo, baik yang berada di Datinggo (Dataran Tinggi Gayo) maupun “diaspora” Gayo di seluruh Indonesia bahkan dunia, harus segera dihentikan.

Perkara ini haram dibiarkan berlarut-larut, harus segera diupayakan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat, dipungkasi dengan rekonsiliasi politik.

Wabah Covid-19 dan beberapa bencana alam yang terjadi belakangan ini di Aceh Tengah, layak menjadi dasar kuat untuk dorongan rekonsiliasi (damai) politik.

Semasih wabah ini “jinak” bagi masyarakat Aceh Tengah sebaiknya energi birokrasi lebih banyak digunakan untuk lebih siap menghadapi kemungkinan gelombang kedua wabah ini setelah arus mudik dan peralihan status beberapa daerah yang memungkinkan pergerakan masyarakat menjadi lebih bebas.

Juga semasih bencana alam yang terjadi tergolong kecil meski telah berdampak nyata pada kesejahteraan warga, misalnya korban banjir bandang di Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan.

Dalam kamus kesehatan dan keselamatan, bukankah satu kasus yang merenggut jiwa atau mengancam jiwa sudah merupakan kejadian luar biasa (KLB), haruskah ada dulu korban baru kemudian elit politik berdamai?

Kemelut politik mendesak untuk segera diselesaikan secara tuntas karena magnitude dan dampaknya tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Di media mungkin hanya gambar bupati dan wakil bupati yang ditampilkan, tapi yang harus dipikirkan adalah “orang-orang” yang ada di belakang mereka masing-masing.

Belum ada polling memang terbelah menjadi berapa kelompok masyarakat Aceh Tengah dan birokrasinya dalam menghadapi masalah ini, namun dalam bayangan penulis setidaknya masyarakat dan birokrasi terpecah menjadi tiga kelompok: kelompok yang pro-Sha, kelompok yang pro-Fir, dan kelompok netral yang tidak ke Sha atau Fir.

Adanya kelompok A, B, dan C ini sepertinya bukan saja asumsi mengingat bupati dan wakil bupati berasal dari partai yang berbeda sehingga sudah pasti punya “orang-orang”; jika tidak mana mungkin wabup melakukan “perlawanan” politik begitu frontal dan terbuka.

Setidaknya adanya kelompok-kelompok itu dapat diindikasikan oleh pengakuan wabup pada media beberapa waktu lalu bahwa ia berang kepada bupati karena “melanggar” perjanjian hitam di atas putih antara mereka berdua, dimana ada instansi-instansi tertentu yang “dikendalikan” oleh wakil bupati.

Alangkah memiriskan sebetulnya jika dalam birokrasi pemerintahan daerah ada kelompok-kelompok. Bagaimana mesin birokrasi itu bekerja? Jika pro dan kontra itu terjadi di kalangan masyarakat umum mungkin tidak terlalu merisaukan, tetapi bagaimana dengan birokrasi di Aceh Tengah sendiri?

Dalam satu instansi saja, apakah eselon II akan percaya pada eselon III-nya, dan eselon III akan percaya pada eselon IV-nya dan seterusnya. Kalaupun pekerjaan kantor tampak berjalan secara kasat mata, jangan-jangan itu hanya secara kuantitatif untuk mengejar realisasi program, lalu bagaimana kualitasnya?

Kita khawatir dalam satu instansi sekalipun, aparaturnya telah sama-sama mendendangkan “tak percaya lagi” Dian Piacesha; saling tidak percaya lagi antara atasan dan bawahan dan antar kolega. Masih patutkah sebuah instansi pemerintah disebut organisasi jika saling percaya dan kerjasama tidak ada?

Kerja di organisasi bisa dipastikan serba salah, yang dikorbankan adalah kualitas pekerjaan; yang penting terlaksana biar jangan dianggap tidak melaksanakan tugas.

Di kalangan masyarakat pun, apakah individu, keluarga atau organisasi akan “terbelah” memihak salah satu pihak yang berseteru atau mengambil sikap netral dengan tidak peduli sama sekali. Kerap kita dengan ada masyarakat yang mengaku tidak mau peduli dengan urusan politik, padahal tidak ada urusan kemasyarakatannya yang tidak ada kaitannya dengan politik.

Pada akhirnya sesama individu, keluarga dan organisasi pun saling tidak percaya satu sama lain. Akan atau telah terjadi salih sinis dan saling tuduh orangnya A atau orangnya B atau “orang-orangan”. Dampak dari semuanya tetap mereka bersama juga yang merasakan.

Contoh paling anyar yang pernah terjadi bulan Februari lalu adalah ketika sampah menumpuk di kota Takengon karena ada penolakan masyarakat di lokasi TPA. Baru dua hari sampah tidak terangkut sudah sangat meresahkan, tentu dalam krisis sampah itu ada pihak-pihak yang berperan meski sulit ditunjuk batang hidungnya.

Penulis berharap keterbelahan masyarakat dan birokrasi sebagaimana yang penulis sebut di atas hanya lamunan penulis di siang bolong saja, namun jika itu benar atau setidaknya mendekati kebenaran di lapangan, maka lengkap dan kaffah-lah sudah penderitaan masyarakat; wabah, air bah dan pelayanan berkualitas rendah.

Ada atau tidaknya apa yang penulis sinyalir pada politik dan birokrasi di Aceh Tengah, yang pasti kemelut ini harus berakhir dengan rekonsiliasi (damai) politik permanen. Mudah-mudahan itulah yang dimaksud oleh Plt. Gubernur setelah mempertemukan kedua pihak pada Selasa, 02 Juni 2020 yang lalu, “belum selesai, cooling down dulu”, katanya (Lintas Gayo, 03 Juni 2020)”.

Namun, langkah yang ditempuh Plt. Gubernur harus segera dilanjutkan dengan inisiatif horizontal. Pada headline Serambi Indonesia tanggal 04 Juni 2020 yang lalu ketua DPRK Aceh Tengah, Arwin Mega yang menyatakan bahwa pihaknya DPRK Aceh Tengah telah berupaya mengislahkan kedua pihak, namun tetap tidak berhasil, secara kelembagaan dan secara moril upaya dan tanggung jawab DPRK patut diapresiasi.

Selanjutnya kita berharap langkah serupa dari berbagai pihak yang ada di daerah, apakah perangkat daerah yang memiliki kedudukan khusus seperti lembaga keistimewaan Aceh seperti MPU, MAA, MPD; lembaga-lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.

Dari kalangan masyarakat umum, belum ada berita unjuk rasa masyarakat atau mahasiswa terkait masalah ini menandakan masalah ini seperti tidak menyangkut kepentingan masyarakat, padahal tidak kurang mudharatnya dengan isu tambang di Gayo yang cepat sekali memicu unjuk rasa, padahal masih wacana atau belum menjadi keputusan resmi, sedangkan masalah ini adalah kebijakan-kebijakan daerah yang setiap harinya terkait dengan masyarakat.

Hal ini menandakan masih rendahnya kepedulian dan kesadaran akan bahaya dan dampak negatif masalah ini pada penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa perlu buktipun sudah dapat disimpulkan bahwa masalah ini sangat mengganggu penyelenggaraan pemerintahan.

Logika sederhana, jika ada orang tua yang cekcok, maka urusan rumah tangga pasti akan kacau balau atau setidaknya pasti tidak bisa lebih baik.

Intinya politik damai mutlak untuk segera dipulihkan dalam kehidupan masyarakat Aceh Tengah melalui damai politik. Kondisi terbelah masyarakat jika dibiarkan berlarut akan menjadi api dalam sekam atau bom waktu yang bisa saja mengarah ke konflik sosial yang vulgar.

Apalagi di Aceh Tengah potensi konflik kelompok dan komunitas itu harus diakui ada sejak lama, terutama sentimen uken-toa yang selama ini susah payah untuk di-delete dari alam bawah sadar masyarakat Gayo.

Namun tidak pula mungkin untuk menghilangkan sentimen uken-toa itu oleh siapapun, karena itu politik damai di Gayo ditentukan oleh latah atau tidaknya mayarakat Gayo untuk mengusik realitas itu.

Ke depan, daripada berpikir untuk menghilangkan sentimen ini, maka jauh lebih baik jika itu diakui sebagai realitas psikologis yang setiap individu di Gayo TST (tau sama tau), karena sudah TST maka setiap orang akan menjauhinya karena menyerempetnya sedikitpun bisa kualat.

*Urang Gayo di Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.