Meraup Rupiah dari Budidaya Taruk Jepang

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Sungguh sebuah anugrah yang luar biasa, kabupaten Aceh Tengah yang terletak di Dataran Tinggi Gayo ini memiliki sebuah kawasan puncak dengan pemandangan indah dan lahan yang sangat subur. Hanya berjarak kurang lebih 3 kilometer dari kota Takengon, kawasan yang dikenal dengan nama Pantan Terong ini merupakan puncak dari kawasan perbukitan yang berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut. Udaranya yang sejuk dan segar, membuat perasaan nyaman ketika memasuki kawasan yang menjadi salah satu destinasi wisata andalan abupaten Aceh Tengah ini. Akses menuju lokasi wisata inipun sudah lumayan bagus, jalanan berliku dan menanjak itu kini sudah dilapisi oleh aspal hotmix, sehingga dapat dilalui dengan mudah oleh berbagai jenis kendaraan.

Selain menyajikan pemandangan indah kota Takengon dengan Danau Laut Tawarnya dari ketinggian, kawasan ini juga dikenal memiliki ratusan hektar lahan pertanian yang subur. Berbagai jenis palawija dan hortikultura tumbuh sangat baik di kawasan ini, mulai dari jagung manis, ubi rambat, kentang, wortel, kentang, kol, kacang merah dan sebagainya. Didukung oleh kondisi tanah yang masih sangat subur, usaha pertanian di kawasan ini masih bisa mempertahankan sistim organic, dimana penggunaan pupuk maupun pestisida kimia sangat minim, sehingga berbagai sayuran yang dihasilkan oleh para petani di tempat ini benar-benar organic dan tentu saja sangat aman untuk dikonsumsi. Itulah sebabnya saat ini, berbagai jenis sayuran yang dihasilkan di kawasan ini menjadi “buruan” para pedagang maupun konsumen.

Ada sesuatu yang agak berbeda ketika penulis menyambangi kawasan ini beberapa hari yang lalu untuk melihat-lihat potensi pertanian di kawasan ini. Dari kejauhan, penulis melihat sepasang suami istri yang usianya sudah menjelang senja, sedang bercengkerama di gubuk terbuka yang ada di sebuah hamparan kebun sayuran. Penulis jadi tertarik untuk melihat dari dekat dan mengenal lebih dekat sepasang lansia itu. Meski usianya sudah lumayan tua, namun kedua orang ini masih terlihat bugar dan fit. Laki-laki tua yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Aman Ruhdi, bersama isterinya Inen Ruhdi, menyambut kedatanganku dengan ramah.

Tidak seperti petani lainnya di daerah itu yang membudidayakan kentang, wortel atau kol, Aman Ruhdi, laki-laki 67 tahun, pensiunan pegawai negeri ini memilih budidaya sayuran yang modalnya tidak besar dan perawatannyapun tidak rumit. Sudah beberapa tahun belakangan ini Aman Ruhdi dan Istrinya, Inen Ruhdi, perempuan berusia 65 tahun, pensiunan guru ini menekuni budidaya sayuran yang berbeda dengan petani-petani lainnya di daerah itu. Di lahan kebun milik mereka, penulis dapat melihat hamparan tanaman Jipang atau Labu Siam seluas hampir setengah hektar. Pucuk daun Jipang atau yang dalam bahasa Gayo dikenal dengan sebutan “Taruk Jepang” itu terlihat hijau dan segar. Ternyata hari itu Aman Ruhdi dan isterinya sedang memanen pucuk jipang dibantu oleh dua orang keponakan mereka di kebunnya. Aman Ruhdi dibantu kedua orang itu baru saja usai memetik pucuk-pucuk ranum itu, sementara Inen Ruhdi mulai sibuk mengikat sayur-sayur itu menjadi ikatan-ikatan kecil. Melihat hamparan pucuk jipang yang terlihat hijau segar itu, segera terbayang nikmatnya sayur tumis atau sayur asem pucuk jipang yang menggugah selera, apalagi dipadu dengan sambal terasi atau sambal terong belanda.

Berbeda dengan budidaya jipang atau labu siam yang lazim dilakukan petani lainnya, sepasang suami istri ini memudidayakan tanaman labu siam bukan untuk diambil buah nya, tapi hanya diambil pucuknya. Itulah sebabnya mereka menanam sayuran itu di hamparan lahan terbuka langsung diatas bedengan-bedengan memanjang. Bukan tanpa alasan, ketika mereka memulai usaha tani pucuk jipang ini, mereka melihat bahwa permintaan sayuran pucuk jipang ini, dari hari ke hari terus mengalami peningkatan. Faktor usia dan tenaga yang tidak sekuat waktu muda dulu, juga jadi pertimbangan mereka, karena mereka tidak mungkin lagi melakukan aktifitas berat seperti menanam kentang atau kol yang butuh banyak tenaga.

Budidaya pucuk jipang ini ternyata sangat mudah dan tidak butuh biaya besar, begitu juga dengan perawatannya, tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Cukup dengan mencangkul lahan, kemudian dibuat bedengan-bedengan besar memanjang, kemudian diberikan pupuk kandang. Setelah itu bibit jipang ditanam agak rapat sepanjang bedengan. Cara merawat tanaman inipun sangat mudah, yaitu dengan membersihkan rumput di sela-sela bedengan sebulan sekali. Setelah tanaman berumur 3 bulan, pucuk-pucuk jipang itu sudah bisa mulai dipanen, dan panen selanjutnya bisa dilakukan setiap seminggu sekali. Setelah pucuk-pucuk jipang itu dipanen, kemudian Inen Ruhdi mengikatnya menjadi ikatan-ikatan kecil dan siap untuk dijual. Inen Ruhdi juga tidak perlu repot-repot membawaya ke pasar sendiri, karena saat dia selesai mengikat pucuk-pucuk jipang itu, pedagang sayur akan langsung menjemputnya ke kebun mereka, karena akses jalan ke kebun itu memang sudah bagus. Mereka tidak tinggal di kebun itu, tapi mereka tinggal di desa Bebesen yang berada di kaki bukit Pantan Terong , hanya pada hari-hari tertentu saja mereka mendatangi kebun mereka, seperti waktu memanen atau membersihkan rumput-rumput saja.

Yang kemudian menarik sekaligus mengejutkan, adalah nilai ekonomis dari budidaya pucuk jipang ini ternyata cukup mencengangkan. Menurut penuturan Inen Ruhdi, setiap minggunya mereka dapat mengantongi penghasilan 700 – 800 ribu rupiah dari budidaya pucuk jipang ini, dan selama ini mereka tidak pernah kesulitan untuk memasarkan hasil kebunnya itu, karena pedagang sudah datang menjemput ke kebun mereka. Kelebihan dari budidaya sayuran ini, setiap kali habis dipetik pucuknya, hanya dalam beberapa hari saja, akan tumbuh lagi pucuk-pucuk baru dan siap untuk dipetik pada minggu berikutnya, tidak seperti tanaman lainnya yang sekali tanam hanya sekali panen. Bahkan semakin sering dipetik, akan semakin banyak pucuk baru yang akan tumbuh. Cukup dengan sekali menanam, suami isteri ini dapat memanen hasilnya sampai 3 – 4 tahun, dan setiap bulannya tidak kurang dari 3 juta rupiah mengalir ke kantong mereka, sebuah peluang ekonomi yang sangat menjanjikan. Kelihatannya hanya budidaya sederhana yang terkadang kurang diminati orang, tapi ternyata mampu menjadi pendongkrak pendampatan dan kesejahteraan keluarga yang cukup signifikan.

Ketika tanaman berusia lebih dari 4 tahun, dan produktivitasnya mulai menurun, barulah dilakukan pembongkaran tanaman dan menggantinya dengan tanaman baru. Itupun tidak butuh waktu lama untuk bisa memanen kembali. tanaman mereka. Pilihan usaha tani Aman Ruhdi, benar-benar pilihan cerdas, karena tidak banyak petani yang melirik peluang ini, tapi meskipun ada petani lain yang kemudian mengikuti jejaknya, Aman Ruhdi tidak pernah merasa khawatir, karena berapapun produk yang dihasilkan pasti akan terserap pasar, karena permintaan sayuran pucuk jipang ini memang cukup tinggi, bukan hanya untuk pasar lokal, tapi juga bisa dikirim ke luar daerah. Apalagi sayuran yang dihasilkan dari kawasan Pantan Terong ini merupakan sayuran organik yang banyak dicari konsumen dan pangsa pasarnya kedepan terus terbuka.

Sosok Aman Ruhdi dan isterinya memang sosok lansia yang pantas dicontoh oleh siapa saja, usia senja tak menghalangi mereka untuk terus berktifitas dengan kegiatan produktif. Mereka tidak mau hanya berdiam diri di rumah, meski sebenarnya gaji pensiun keduanya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, apalagi 4 putra putri mereka juga sudah selesai kuliah dan sudah mendapatkan pekerjaan, jadi sudah tidak membebani mereka lagi, Namun darah petani yang mengalir di tubuh mereka, membuat mereka tidak ingin diam berpangku tangan, dan nyatanya dengan selalu aktif seperti itu, tubuh mereka justru terlihat bugar dan sehat, tidak seperti orang-orang seusia mereka mulai dihinggapi berbagai penyakit. Bercengkerama dengan sepasang lansia yang murah senyum itu terasa sangat menyenangkan, apalagi didukung udara sejuk dan segar di alam terbuka dengan pemandangan hijau disekelilingnya, fikiran jadi terasa fresh.

Meninggalkan Inen Ruhdi yang sedang asyik mengikat sayuran yang baru dipetik, penulis kemudian melanjutkan “blusukan” ke sudut-sudut kebun mereka. Menelusuri lahan seluas 1 hektar milik Aman Ruhdi, penulis juga dapat menyaksikan, ternyata bukan hanya budidya pucuk jipang saja yang ditekuni suami isteri ini, mereka juga membudidayakan tanaman jipang untuk mendapatkan buahnya di lokasi berbeda tapi masih dalam satu hamparan kebun mereka. Untuk menghasilkan buah jipang yang sekarang harganya juga lumayan mahal ini, Aman Ruhdi membudidayakannya dengan sistim para-para dari bambu setinggi kurang lebih 2 meter, ini untuk memudahkan saat memanen, karena dengan cara ini, buah-buah jipang akan bergantungan di para-para dan mudah untuk memetik buahnya..

Ada juga beberapa jenis tanaman lainnya seperti jagung manis dan bawang daun, namun itu hanya dijadikan selingan saja di kebun mereka. Karena mereka lebih fokus pada budidaya pucuk jipang mereka. Konsumsi sayuran pucuk jipang yang kini nyaris jadi salah satu tren konsumsi sayuran organik, ternyata pilihan budidaya yang sangat tepat. Tanpa modal besar, tanpa perawatan dan pemeliharaan yang rumit dan menyita tenaga, namun prospek budidaya pucuk jipang ini ternyata sangat menjanjikan. Dan Aman Ruhdi sudah membuktikannya, dengan sekali menanam sekitar 3 tahun yang lalu, kini dia mampu meraup rupiah setiap minggunya tanpa harus bekerja keras. Meski orientasinya tetap bisnis, namun Aman Ruhdi dan isterinya juga tidak melupakan jiwa sosial mereka, kepada setiap orang yang datang ke kebun mereka, dengan senang hati mereka akan mempersilahkan untuk memetik sendiri pucuk-pucuk jipang ranum itu tanpa harus membayar.

“Tuhan sudah memberikan banyak rejeki kepada kami lewat tanaman ini, nggak ada salahnya kalau kami juga ingin berbagi rejeki ini kepada orang lain, kalau mau datang ke kebun kami, silahkan ambil sendiri dan bawa pulang sekuatnya, karena dengan berbagi seperti ini sama sekali tidak mengurangi rejeki kami, bahkan rejeki yang kami dapatkan tersa lebih berkah” tutur Aman Ruhdi sedikit berfilsafat.

Dengan prinsip hidup seperti itu, ternyata memang membawa keberkahan bagi pasangan suami isteri ini, rejeki mereka terus mengalir dari budidaya sederhana yang mereka tekuni ini. Siapa nyana, budidaya sayuran dengan cara sederhana itu justru membuat mreka mampu meraup jutaan rupiah setiap bulannya. Hamparan lahan yang subur adalah modal utama, tapi tanpa sentuhan kretaivitas seperti yang dilakukan oleh Aman Ruhdi, lahan sesubur apapun tak akan menghasilkan apa-apa. Sebuah kreatifitas yang pantas menjadi inspirasi bagi generasi muda yang selama ini hanya berharap untuk mendapatakan pekerjaan dan gaji tetap. Yang tua saja masih gigih berusaha, masakan yang muda-muda hanya “bermimpi”.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.