Sandiwara Ujian Nasional

oleh

Oleh Johansyah*

johansyah-mudePendidikan dalam skala nasional saat ini sedang menggelar hajatan rutin tahunan berupa Ujian Nasional (UN). Tanggal 5-8 Mei 2014 adalah jadwal UN untuk tingkat  menengah pertama; SMP/MTs, SMPLB, Program Paket B/Wustha. Sedangkan untuk tingkat menengah atas; SMA/MA, SMALB, SMK/MAK, Paket C, dan Paket C Kejuruan, sudah dilaksanakan pada tanggal 14-16 April 2014 lalu.

UN bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Terkait manfaat, menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005, pasal (68), bahwa manfaat UN adalah; 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Aturan dan ketentuan UN yang telah dirancang oleh pemerintah memang sangat baik. Sayang, ternyata dalam impelementasinya banyak penyimpangan. Di antaranya adalah banyak kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah yang menjadikan UN sebagai ajang untuk menunjukkan prestise dan reputasi kepada publik. Di sisi lain mereka kurang peduli dengan prestasi sesungguhnya yang sejatinya dicapai peserta didik berdasarkan kemampuan masing-masing.

Cara berpikir sesat inilah yang kemudian memunculkan syahwat buta pejabat di dinas pendidikan dan kepala sekolah untuk meluluskan peserta didiknya seratus persen. Tak peduli blunder, pokoknya semua peserta didik diupayakan lulus, jika tidak, maka harus diupayakan ‘lolos’. Mengapa? lulus seratus persen berarti kepala sekolah berhasil, tapi kalau banyak yang tidak lulus, dianggap gagal dan mengancam kedudukan sang kepala. Kerena enggan dianggap gagal, muncullah penyimpangan berupa upaya pembocoran soal bagaimana caranya agar siswa mampu menjawab semua soal ujian.

UN model ini lebih cocok disebut sebagai UN untuk guru, bukan untuk siswa. Gurulah yang menyiapkan kunci jawaban atas permintaan kepala sekolah atau pejabat di atasnya. Peserta didik hanya bertugas dan berlatih agar rapi membuat bulatan di kertas jawaban dengan pensil 2B. Peserta didik tidak perlu membaca soal, tidak perlu memilih mana jawaban yang benar, dan tidak perlu pusing.

Dampak buruk
Dampak buruk dari sistem yang aneh ini antara lain adalah; pertama, sebagian besar peserta didik tidak lagi tertantang dan termotivasi untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum penyelenggaraan UN tiba karena mereka menganggap sama saja; belajar atau tidak mereka pasti lulus, kerena kunci jawaban sudah disediakan,

Dampak buruk kedua, UN yang pada hakikatnya dimanfaatkan untuk pemetaan mutu pendidikan nasional akhirnya gagal diperoleh. Sebab hasil ujian bukan didasarkan kepada kemampuan peserta didik. Jelaslah bahwa kalau pun sebuah sekolah lulus seratus persen, hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan bahwa mutu pendidikan sekolah tersebut baik karena manipulatif.

Dampak buruk ketiga dari sistem ujian seperti ini adalah bahwa UN telah kita jadikan sebagai ajang untuk mengajarkan kebohongan pada peserta didik kita. Mengajarkan kebohongan berarti pengkhianatan terhadap tujuan luhur pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), terutama tujuan untuk menciptakan generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika kita melakukan pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan, itu berarti upaya yang kita lakukan bukanlah misi pencerdasan, tetapi misi pembodohan. Maka jangan heran jika di kemudian hari mereka ini tumbuh menjadi generasi korup, tukang tipu, dan tukang bohong karena pendidikan kitalah yang mengajarkannya.

Dampak buruk yang keempat dari sistem ujian seperti ini adalah bahwa pendidikan kita terus terpola dengan budaya buruk; mengedepankan kuantitas, bukan kualitas, mengutamakan hasil dan mengabaikan proses, mendahulukan prestise untuk mempertahankan kedudukan dari pada meningkatkan prestasi siswa berdasarkan kemampuan siswa apa adanya. Suka atau tidak, sistem model inilah yang menghancurkan tatanan pendidikan kita, yakni model pendidikan untuk pemenuhan nafsu penguasa, bukan pembebasan dan pendewasaan peserta didik.

Kura-kura dalam perahu
Apakah penyimpangan dalam UN semacam ini tidak diketahui pemerintah? Seperti ungkapan pepatah; ‘kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tau’. Pemerintah sangat tau praktik penyimpangan dalam UN ini, namun ada seribu satu alasan untuk menepis kritikan dan tudingan. Untuk meyakinkan publik, maka dilibatkanlah aparat keamanan untuk mengawal distribusi soal UN dan demikian pula dalam pelaksanaannya. Maka jadilah UN seperti bandit besar yang selalu harus dikawal ketat karena dianggap berbahaya.

Begitulah, aparat keamanan dilibatkan dalam UN untuk menghindari perilaku curang. Namun sadarkah kita bahwa kehadiran aparat keamanan dalam UN merupakan isyarat bahwa banyak yang tidak beres dalam penyelenggaraan UN sehingga perlu dikawal segala. Tetapi sisi ketidakberesan ini seakan hanya persoalan kecil dan terkesan diabaikan oleh pemerintah.

Wajar juga ketika banyak kalangan yang mengusulkan agar UN dihapus karena telah lari dari tujuan mulianya. Bahkan beberapa tahun lalu pernah digugat ke Mahkamah Konstotusi (MK) agar UN dihapus dan gugatan itu diamini. Anehnya pemerintah dengan berbagai dalihnya tetap menyelenggarakan UN walau dianggap melanggar putusan konstitusi.

Kalau UN hanya bertujuan untuk memetakan mutu pendidikan nasional maka seperti banyak kalangan mengatakan; kenapa harus untuk kelas tiga dan menjadi syarat kelulusan? Bukankah bisa dilakukan kapan saja, tidak harus kelas tiga, dan tidak harus melibatkan semua siswa? Pemetaan mutu pendidikan bisa saja ditempuh dengan mengadakan penelitian atau survey dengan cara mengambil populasi sampel berdasarkan wilayah dan variasi tingkat kemampuan siswa di seluruh Indonesia. Saya pikir cara ini jauh lebih efektif, tidak membebani kepala sekolah, pejabat, dan guru. Selain itu, tentu dapat menghemat anggaran negara.

Pendidikan adalah upaya pencerdasan dan pendewasaan intelektual dan spiritual peserta didik agar menjadi insan cerdas, aktif, dan kreatif di samping memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat. Jika pendidikan dijadikan panggung sandiwara, penuh kepalsuan dan kebohongan, maka bukankah pendidikan ini hanya akan melahirkan generasi cerdas tapi pembohong? Duh, sandiwara UN, sampai kapan? Wallahu a’lam bish shawab!

*Pengamat pendidikan. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.