Liga Champions; Inikah Tahunnya City dan Guardiola?

oleh
Pep Guardiola (dreamstime.com)

Oleh : Win Wan Nur*

Tak ada yang bisa memungkiri kalau Josep (Pep) Guardiola adalah salah seorang pelatih terbaik di dunia saat ini.

Meski banyak yang nyinyir, kalau Pep hanya bisa melatih tim-tim hebat dengan dana tak terbatas sehingga dia bisa mengutak-atik tim sesuka hatinya.

Para penyinyir ini mungkin lupa, kalau begitu banyak tim dengan dana melimpah, sumber daya nyaris tak terbatas tapi gagal meraih prestasi karena tak memiliki pelatih yang tepat.

Ingat tim Agung, ‘The Invincible AC Milan’ yang hancur berantakan sepeninggal Capello.

Di tahun itu, manajemen Milan, karena begitu percaya diri dengan kualitas pemainnya. Sepeninggal Capello, menunjuk pelatih antah berantah, Oscar Washington Tabarez.

Hasilnya, tim berantakan dan di tengah musim digantikan oleh Morini sebagai Caretaker.

Lalu Madrid, saat ditinggal Zidane. Juara Liga Champions tiga kali berturut-turut ini hancur berantakan, di tangan Julen Lopetegui sampai akhirnya Madrid terpaksa memanggil Zidane kembali sebagai juru selamat.

Dengan menambahkan Manchester United sepeninggal Ferguson, bahkan Barcelona, mantan tim Guardiola sendiri yang tertatih-tatih setelah gagal menemukan pelatih yang tepat. Daftar tim hebat dengan dana melimpah ruah yang gagal dikelola oleh pelatih tak tepat ini akan panjang sekali untuk bisa dibahas dalam satu artikel.

Tapi, meski diakui hebat dan setiap tim yang dia tangani selalu mendominasi kompetisi lokal. Kehebatan Guardiola tampak kurang sempurna.

Karena selain bersama generasi emas Barcelona. Dia belum mampu membawa tim yang diasuhnya menjuarai Liga Champions Eropa. Piala paling bergengsi dari segala piala apapun di dunia sepakbola pada level klub.
Dalam masa tiga tahun karirnya di Bayern Munchen, dia membawa tim ini juara Liga Jerman tiga kali berturut-turut (yang mana ini sangat biasa)

Tapi, di Liga Champions, Bayern Munchen hanya mampu dia bawa sampai ke semi final. Di tiga semi final itu, tim Guardiola disingkirkan oleh tiga tim terbaik Spanyol berturut-turut sesuai urutan prestasi terbaik mereka di kompetisi ini.

Tahun 2014, musim pertamanya di Bayern. Tim asuhan Guardiola di semi final disingkirkan oleh Real Madrid, yang bukan hanya tim No.1 di Liga Spanyol tapi juga raja di raja Eropa.

Melawan tim tersukses di dunia ini, Bayern yang merupakan juara bertahan setelah di tahun sebelumnya memenangkan si kuping besar bersama Jupp Heynckes. Luluh lantak dalam pengertian harfiah.

Di depan pendukungnya sendiri, mereka dihajar 0 – 1. Di Bernabeu, ceritanya lebih mengharukan lagi. Tanpa belas kasihan, Madrid menguliti mereka dengan keunggulan 4 gol berbalas kosong. Ini sekaligus menjadi kekalahan pertama Guardiola di Bernabeu selama karir kepelatihannya.

Di tahun berikutnya, Bayern lagi-lagi kandas di semi final. Kali ini oleh tim terbaik nomer 2 di Liga Spanyol, Barcelona. Bekas tim asuhannya sekaligus tim yang dia kapteni saat menjadi pemain.

Lalu, 2016, di tahun terakhirnya di Jerman, Bayern yang seolah menjelma menjadi ongol-ongol “jajanan” favorit tim asal La Liga. Disantap dengan nikmat oleh tim nomer 3 Spanyol, Atletico Madrid.

Dengan kekalahan melawan Atletico, musnahlah sudah asa Guardiola untuk menyumbangkan gelar Liga Champions untuk Munchen. Kekalahan ini, membuatnya gagal masuk ke dalam kelompok pelatih elit yang berhasil memenangkan Liga Champions dengan dua tim dari dua negara berbeda. Membuat Guardiola tetap berada di bawah bayang-bayang Mourinho, seteru hebatnya.
Musim 2016 -2017, Guardiola pindah ke Manchester City, rising star Liga Inggris yang telah dengan sabar menunggunya sejak lama.

Tim semenjana, yang menjadi klub raksasa setelah dibeli Thaksin Sinawatra yang menjualnya kembali kepada Abu Dhabi United Group di bulan Agustus 2008.

Sejak menjadi klub kaya, City tidak langsung sukses secara instant, layaknya Chelsea. Pemilik City, lebih sabar dibanding Abramovic, pemilik Chelsea.

Di tahun-tahun awal tim ini dibangun ulang. Jor-joran belanja yang mereka lakukan, tak sebanding dengan hasilnya. Perlu waktu tiga tahun, yakni pada tahun 2011, baru mereka mampu lolos ke Liga Champions Eropa yang tentu saja mereka lewati dengan status penggembira.

Baru pada musim 2011-12, City bisa menjuarai Liga Inggris bersama Roberto Mancini, pelatih asal Italia.

Tapi kemudian, mereka gagal lagi tiga tahun berturut-turut, setelah ditikung Chelsea, lalu kisah Leicester City yang fenomenal dan kembali oleh Chelsea.

City baru kembali menjadi juara, ketika tim ini dipegang oleh Manuel Pellegrini.

Meski juara bersama Pellegrini, tapi ambisi klub untuk mendatangkan Guardiola belum padam. Dan akhirnya, kita semua tahu. Mereka benar-benar dilatih Guardiola.

Guardiola sempat kesulitan di tahun pertamanya, bersama tim warisan Pellegrini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kepelatihannya, dia gagal memenangkan Liga lokal. Tapi di tahun berikutnya, Guardiola yang membangun tim dengan pemain pilihannya, benar-benar menjadi kekuatan dominan di liga.

City dia bawa menjuarai Liga dua kali berturut-turut, sebelum tahun ini dihentikan oleh Liverpool yang diasuh rival lamanya di Jerman. Juergan Klopp.

Tapi, meski dominan di liga, Guardiola belum berhasil mengubah status City yang merupakan pupuk bawang di Liga Champions. Selama di City, Guardiola tak pernah berhasil membawa City lebih jauh dari babak perempat final.

Terus menerus gagal di Liga Champions, sejak meninggalkan Barcelona. Tahun lalu Guardiola mengatakan “Memenangkan treble kompetisi lokal, jauh lebih sulit daripada memenangkan Liga Champions,” merujuk pada suksesnya menyapu bersih tiga kompetisi lokal Inggris.

Sepertinya, hanya Guardiola sendirilah yang merasa terhibur dengan pernyataannya ini. Sementara semua pecinta sepakbola jelas tertawa.

Tahun ini, dengan segala anomaly akibat Corona membuka kesempatan besar bagi Guardiola dan City untuk mengubah peruntungannya di kompetisi antar klub paling bergengsi di dunia ini.

Seperti umum diketahui, bertanding di kompetisi ini, bukan sekedar membutuhkan kemampuan teknis. Nasib baik, sering berperan lebih besar dibanding faktor teknis.

Lihatlah dua tahun yang lalu, bagaimana Madrid memenangkan kompetisi ini berkat dua blunder Karius dan cederanya Salah. Lalu bagaimana musim lalu, Liverpool yang sudah tertinggal 0 – 3 di leg I Semi final. Tapi di Leg II tanpa diperkuat pemain utama di lini depan, mampu membalikkan keadaan dengan mencetak empat gol kemudian melaju ke final dan menjadi juara.

Keberuntungan itu sudah mulai tampak menaungi City tahun ini. Di leg I perempat final, mereka unggul 2 -1 di kandang Madrid yang sedang compang-camping dan belum lagi menemukan keseimbangan.

Lalu leg kedua, dini hari tadi. Madrid yang sudah mulai seimbang dan berada dalam rasa percaya diri tinggi setelah memenangkan Liga Spanyol. Tidak bisa diperkuat Sergio Ramos, yang bukan hanya sekedar kapten tim, tapi juga seringkali menjadi dewa penyelamat dengan gol-golnya yang tak terduga.

Sebenarnya, meski mereka tampil baik sebagai tim tamu, tapi bolong besar akibat ketiadaan Ramos di lini belakang, gagal ditutup para pemain Madrid. Tanpa Ramos, pemain belakang Madrid tampil kagok dan seolah demam panggung. Dan hasilnya, seperti sudah kita ketahui bersama. City menang 2 -1 berkat dua assist dari pemain belakang Madrid, Rafael Varane.

Sekarang City tinggal menunggu lawan di perempat final.

Mengingat Liverpool sudah tersingkir, Juventus juga sudah disingkirkan Lyon tadi malam. Bisa dibilang, lawan berat City tinggal Bayern Munchen, Barca yang rasa percaya dirinya sedang di titik nadir dan PSG, tim juara Prancis yang sama ambisiusnya dengan City.
Dengan anomali akibat Corona, dimana mulai perempat final nanti tak ada lagi leg I dan leg II. Satu pertandingan penentu untuk melaju ke babak selanjutnya.

Akankah, perempat final tahun ini City dan Guardiola bisa mengakhiri kutukan babak ini dan melaju menjadi juara dan Guardiola pun bisa menempatkan dirinya di antara jajaran pelatih elit yang bisa memenangkan Liga Champions dengan tim berbeda dari dua negara?

Atau, ini jadi kesempatan buat Munchen, PSG dan Barcelona. Atau, jangan-jangan, anomali ini malah mengulang kembali kejutan final 2004 di mana final mempertemukan dua tim semenjana, Monaco dan Porto. Dengan mempertemukan Lyon vs Atalanta misalnya.

Apapun bisa terjadi di Liga Champions Eropa. Kompetisi antar klub paling bergengsi sejagat raya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.