Oleh : Nanda Winar Sagita*
J.C.C. Kempees adalah seorang perwira militer Belanda yang terlibat dalam Ekspedisi Van Daalen ke Aceh pada tahun 1904, salah satu kampanye paling brutal dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia.
Ia dikenal sebagai ajudan atau staf dari Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, yang memimpin ekspedisi tersebut untuk “menundukkan” wilayah-wilayah terakhir yang masih melawan kekuasaan kolonial di pedalaman Aceh, terutama daerah Gayo, Alas, dan Batak di bagian tengah dan tenggara Aceh.
Selama melakukan ekspedisi, Kempees menulis sebuah catatan perjalanan yang diberi judul De Tochr Van Overste Van Daalen Door dek Gajo-Alas EN Bataklanden.
Catatan itu diterbitkan pada 1905, dan menjadi informasi penting bagi Belanda untuk menyelami kehidupan masyarakat dan geografis Gayo.
Baca Juga : Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Perlukah?
Dalam catatan itu, Kempees juga membahas tentang bawar (gambarnya ada di atas) yang mana dia mendapatkan sumber tentang senjata tersebut dari warga Gayo setempat. Kira-kira, berikut ini yang dia tulis tentang bawar yang dibahas dari halaman 89 sampai 91:
Menurut tradisi, bawar biasanya adalah milik kepala keluarga dan harus diwariskan dari ayah ke anak tertua. Jika keluarga punah atau tidak memiliki ahli waris langsung, maka barang tersebut masuk ke tangan kerabat terdekat atau kepada seseorang yang ditunjuk sebagai ahli waris. Ini adalah senjata-senjata yang memiliki nilai tradisi tertentu.
Senjata ini mirip dengn keris-keris Jawa, tetapi telah mengalami perubahan bentuk. Bilahnya lebih lebar dan lebih panjang. Biasanya sarung dan gagangnya terbuat dari emas atau perak, dihias dengan ukiran atau permata.
Baca Juga : Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Perlukah?
Keris-keris semacam itu sangat jarang dimiliki, dan hanya segelintir orang terpandang yang memilikinya. Banyak di antaranya berasal dari masa lalu, peninggalan dari raja atau pemimpin terdahulu, dan dianggap sebagai lambang status.
Orang-orang Gayo tidak pernah memproduksi senjata seperti itu sendiri. Mereka mendapatkannya dari luar, atau melalui warisan.
Yang lebih umum adalah semacam pedang lebar dan berat, yang digunakan untuk berperang. Kadang-kadang, senjata itu dinamai menurut tempat asalnya, seperti misalnya “pedang Reneng” atau “keris Keluang.”
Namun, nama-nama ini tidak selalu merujuk pada tempat sebenarnya, melainkan lebih kepada gaya atau bentuk tertentu.
Orang-orang yang memiliki bawar semacam itu adalah bangsawan atau keturunan raja. Mereka menyimpannya sebagai simbol kehormatan keluarga.
Misalnya, dalam kisah tentang seorang bangsawan tua bernama Tengku Senebel, disebutkan bahwa ia memiliki bawar dari emas, yang konon berasal dari masa ketika Gayo masih diperintah oleh raja-raja keturunan Malaka.
Tengku Sebebel adalah pria yang bijaksana, sangat dihormati, dan pada masa mudanya ia memimpin banyak pertempuran. Kerisnya disimpan dalam peti khusus, dan hanya dikeluarkan pada saat-saat istimewa seperti pernikahan atau upacara resmi. Saat orang-orang melihat bawar itu, mereka menunjukkan sikap hormat yang dalam.
Dalam satu upacara, seorang pemuda bernama Tengku Meut mengunjungi Gayo Lues dan meminjam bawar itu untuk prosesi pernikahannya. Ini adalah suatu kehormatan besar.
Tengku Senebel memberikannya, dengan pesan agar dijaga baik-baik. Upacara berjalan dengan khidmat, dan bawar tersebut dikembalikan dengan selamat.
Hal-hal seperti ini menunjukkan betapa pentingnya senjata-senjata pusaka dalam masyarakat Gayo. Mereka bukan sekadar alat perang, tetapi lambang status dan warisan leluhur. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa senjata-senjata ini selalu dijaga dengan penuh rasa hormat.
Namun, tidak semua orang dapat menjaga benda-benda pusaka itu dengan baik. Dalam beberapa kasus, karena perang atau perampokan, senjata-senjata ini hilang atau jatuh ke tangan orang asing. Hal ini dianggap sebagai kehilangan besar, bukan hanya secara materiil, tapi juga secara spiritual.
Ada juga kisah tentang seorang bangsawan dari Linge yang melarikan diri dari daerahnya karena perselisihan internal. Ia membawa serta bawarnya, dan mengungsi ke Gayo, tempat ia mendapat perlindungan dari seorang kepala suku.
Baca Juga : Misi Orientalisme di Balik Penyusunan Kamus Bahasa Gayo-Belanda Pertama
Bawar tersebut kemudian diwariskan kepada anaknya, yang akhirnya menikah dengan perempuan dari Gayo Lues.
Dengan cara seperti inilah senjata-senjata pusaka bisa berpindah tangan dan menjadi bagian dari sejarah keluarga baru.
Dalam situasi tertentu, senjata-senjata ini bahkan dijadikan alat politik. Seorang pemimpin dapat memberikan bawarnya kepada seseorang sebagai tanda pengangkatan atau pengakuan.
Namun, ini jarang terjadi, karena bawar biasanya hanya berpindah melalui garis keturunan. []