Oleh : Nanda Winar Sagita*
“100 Tokoh Paling Berpengaruh” adalah tren sejarah populer yang sudah diminati sejak Michael H. Hart menulis buku “100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah”. Buku itu dipuji sekaligus ditentang.
Dipuji karena pendekatannya yang mudah dimengerti oleh orang awam maupun akademisi. Ditentang (khususnya di dunia Barat) karena keberaniannya menempatkan Nabi Muhammad sebagai urutan pertama; dan itu artinya pengaruhnya melampaui Yesus Kristus atau Isaac Newton sekalipun.
Buku itu jadi “best seller” dan imbasnya banyak yang mengikuti jejak Michael H. Hart untuk membuat daftar serupa, seperti “100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah” karya Muhammad Maljum Khan atau “100 Foto yang Mengubah Dunia” dari Majalah Life.
Bukan hanya sekadar buku, majalah dunia sekelas Forbes bahkan setiap tahun mengeluarkan daftar serupa untuk 100 Tokoh Masih Hidup yang Paling Berpengaruh atau majalah Guardian yang mengeluarkan daftar 100 Buku Paling Berpengaruh Sepanjang Masa.
Dalam konteks Indonesia, ada buku serupa karya Floriberta Aning dengan judul “100 Tokoh yang Mengubah Indonesia” yang menempatkan urutan nama tokoh berdasarkan abjad, alih-alih pengaruh secara pribadi.
Pertanyaan yang perlu kita ajukan dalam konteks Gayo adalah: “Perlukah kita menyusun daftar 100 tokoh Gayo paling berpengaruh? “
Saya sudah membayangkan tanggapan yang akan muncul. Pertama, sudah pasti bakalan ada dua kubu yang saling bertentangan antara menjawab “setuju” dan “tidak”, dan; kedua, siapa pun tokoh yang tidak terpilih nanti pasti akan menyisakan kesan tidak menyenangkan bagi keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan.
Benar, kanonisasi adalah politik paling sensitif, terlebih lagi menyangkut dengan eksistensi ketokohan. Ambil contoh misalnya, beberapa bulan lalu Lintas Gayo pernah membuat daftar-daftar tokoh berpengaruh di bidang masing-masing.
Tulisan itu berjudul “Seniman Gayo Paling Dinamis” yang mana dari empat tokoh yang ada terdapat nama Sakdiah. Sontak tulisan itu diserang netizen secara membabi-buta, bahkan ada yang mempermasalahan gendernya sebagai perempuan.
Mungkin ini adalah bukti bahwa kita orang Gayo memang belum bisa sepenuhnya terlepas dari budaya patriarkis, yang malah lebih ekstrem lagi jatuh terlalu dalam pada taraf misoginis.
Kembali ke pertanyaan awal, kalau memang 100 tokoh Gayo perlu untuk kita tuliskan; maka kita harus memikirkan metodenya. Metode yang saya maksud misalnya tentang apa yang menjadi tolak ukur bahwa tokoh itu berpengaruh? Lalu bagaimana pengaruhnya bisa lebih besar ketimbang tokoh-tokoh lain di bidang yang sama.
Selain itu, bakalan ada juga permasalahan yang menyangkut tentang nilai historis. Misalnya membandingkan pengaruh tokoh era sebelum kemerdekaan seperti Meurah Johan, Datu Beru, dan Genali dengan tokoh era perjuangan seperti Muhammad Hasan Gayo, Aman Nyerang, atau Teungku Ilyas Leube. Atau juga dengan tokoh yang berkiprah di era setelah kemerdekaan seperti M.J Melalatoa, A.R Moese, dan Iwan Gayo.
Tentu itu butuh pendalaman materi yang butuh waktu lama untuk mewujudkan daftar semacam itu. Bakal ada bias dari penyusuan, dan juga bakal ada ketidakpuasan dari berbagai pihak.
Untuk cari aman, kita bisa membuat daftar secara alfabetis, atau menggolongkan tiap tokoh di bidang masing-masing; dan bukannya membuat daftar sesuai dengan urutan kuatnya pengaruh. Tapi yang jelas, tokoh yang masuk ke dalam daftar itu harus sudah wafat. Itu dimaksudkan agar tidak ada istilah mengkultuskan tokoh yang masih hidup sehingga menjadi semacam propaganda yang berujung pada politik.
Begitulah, ada begitu banyak tokoh Gayo di sepanjang sejarah; dan kita baru bisa memilih 100 tokoh yang benar-benar berpengaruh melalui metode ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan secara historis. []