Legenda Tanah Gayo dalam Catatan Kolonialis Belanda

oleh
Nanda Winar Sagita

Oleh : Nanda Winar Sagita*

J.J Sporrij, seorang ahli topografi Belanda, pernah menulis laporan tentang Gayo. Laporan itu diterbitkan pada 1918 dengan judul Het N.W Gajoland (Het Meergebied) atau yang diterjemahkan secara bebas sebagai Tanah Gayo (Wilayah Danau).

Banyak informasi yang bisa kita jadikan rujukan dari laporan tersebut, dan J.J Sporrij mengambil sumber dari kekeberen yang dia dengar langsung dari Orang Gayo.

Salah satu yang menarik adalah tentang pertikaian antara pribumi di Tanah Gayo dengan orang Batak.

Berikut ini adalah terjemahan dari teks asli Bahasa Belanda, yang saya coba terjemahkan lewat bantuan AI:

“Di masa silam, banyak orang Batak yang datang ke Tanah Gayo. Keturunan mereka nyaris tidak dapat dibedakan dari orang Gayo asli. Cerita tentang asal-usul mereka terutama masih bertahan di antara keturunan Reje Cik, yaitu penduduk yang berasal dari kampung induk mereka di Bebesen.

Mereka kemudian bermukim di sebelah barat, di daerah sekitar danau, termasuk Pegasing, Celala, Ketol, dan lainnya. Salah satu keluarga paling terkemuka di antara Kejurun Gayo adalah keluarga Reje Linge, yang tinggal di wilayah timur. Tepatnya di daerah aliran Sungai Jemer.

Orang Gayo di bagian barat laut sering kali bertikai dengan kelompok lain, terutama dengan Batak Bebesen dan Batak Dua Puluh. Sebuah legenda tentang asal-usul mereka diceritakan dalam kekeberen.

Sejak lama orang Gayo sudah beragama Islam dan begitu setia kepada Kerajaan Aceh. Suatu ketika, tujuh orang Batak yang dipimpin oleh Lebe Kader melakukan perjalanan dari Alas dan Tanah Gayo menuju Aceh untuk mendalami ajaran Islam.

Beberapa waktu kemudian, dua puluh orang Batak lain yang telah masuk Islam mengikuti mereka untuk menuntut ilmu dan kembali ke kampung halaman mereka guna menyebarkan agama Islam.

Namun, ketika mereka kembali, mereka ditahan oleh Reje Bukit. Kejurun ini sangat tamak dan merampas harta mereka melalui perjudian.

Sayangnya Reje Bukit kalah dan kehilangan seluruh kekayaannya di meja judi. Karena terbakar amarah, dia memenggal kepala salah satu orang Batak itu dan menggantung kepalanya dengan tiang bambu di daerah Bebesen dan Kebayakan. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Pegantongen.

Orang Batak yang tersisa melarikan diri ke Aceh dan meminta bantuan kepada Sultan untuk melawan Kejurun Reje Bukit yang tiran.

Sultan mengirim mereka kembali ke Tanah Gayo dengan syarat jika mereka berhasil menggulingkan Reje Bukit, maka mereka tidak boleh merampas harta reje.

Dalam perjalan ke Gayo, mereka disergap oleh musuh di Beruksah. Dari sana, mereka melarikan diri ke Ketol.

Setelah mencapai Gayo, mereka mendirikan benteng pertahanan di suatu tempat yang disebut Kute Malaka. Sementara itu, kelompok lain berkumpul di tempat yang disebut Ujung Bebulen.

Orang Batak terus maju, membangun benteng tambahan, dan menjalin hubungan dengan temuluk milik Reje Bukit. Dengan bantuan para temuluk, mereka merencanakan siasat untuk mengalahkan Reje Bukit tanpa harus membunuhnya.

Mereka akan mengibarkan bendera putih (pepanyi) di puncak gunung yang memisahkan benteng mereka dari sekitar danau.

Melihat bendera itu, para temuluk Reje Bukit akan sangat takut, mengira pasukan besar dari pasukan mereka sedang bergerak maju. Ketakutan itu membuat Reje Bukit melarikan diri.

Jika rencana ini gagal, mereka akan menyelinap dan membuka gerbang benteng Reje Bukit secara diam-diam.

Nantinya mereka akan mengeklaim bahwa ini terjadi karena kekuatan gaib yang dimiliki oleh para temuluk dari Batak itu. Bendera itu pun akhirnya dikibarkan, dan tempat itu disebut sebagai Bur Ni Pepanyi.

Pertempuran tak terelakkan, dan sesuai dengan adat; maka orang Gayo dan Batak harus bertarung di medan terbuka. Di Paya Tumpi, kedua belah pihak saling berhadapan.

Namun orang-orang Batang mengisi senapan mereka bukan dengan peluru timah, tapi dengan biji terong merah yang menyebabkan rasa gatal.

Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran terhadap larangan Sultan Aceh agar tidak membunuh Reje Bukit.

Dalam pertempuran itu, orang-orang Gayo merasa kalah dan mencari perlindungan kepada Sultan Aceh. Sementara itu Reje Bukit melarikan diri ke tengah rawa di sekitaran Kebanyakan, yang mana tempat itu kemudian disebut dengan Paya Reje.

Sebagian besar pasukannya tenggelam atau hilang dalam perjalanan. Beberapa orang Batak yang selamat kemudian kembali dan mengusulkan perjanjian damai. Tempat mereka mengungsi selama perjalanan disebut Ponok Balek.

Di sini kita bisa lihat bagaimana legenda populer yang berkembang secara alami bisa menggantikan tradisi yang hilang. Alih-alih mencoba mengumpulkan fakta, mereka membiarkan imajinasi mengisi kekosongan dengan menghubungkan suatu peristiwa dengan pemberian nama terhadap tempat tertentu.”

Dari terjemahan tersebut bisa kita lihat bahwa J.J Sporrij sama orientalisnya dengan Snouck Hurgronje ihwal mengomentari legenda di tanah Gayo.

Meskipun dia mengaku mendapatkan kisah legenda tersebut dari kekeberen, tapi dia masih menyelipkan komentar miring terhadap kepribadian orang Gayo, terutama Reje Bukit. Ada bias sejarah yang tidak terelakkan, dan itu sebenarnya bisa kita maklumi.

Walaupun begitu, teks-teks hasil telaah orientalis semacam ini memang bisa kita temukan dengan mudah di perpustakaan online seperti Delpher.

Secara perlahan kita akan berusaha menerjemahkan, mengkaji, dan merekonstruksi kembali catatan dan informasi tentang Gayo di masa lalu dari sudut pandang kolonialis Belanda untuk kemudian diperkenalkan kepada orang Gayo sendiri.

Usaha ini tentu membutuhkan waktu, dan kita berharap bisa melaksanakannya demi memperkaya literasi historis di Tanah Gayo. []

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.