Oleh : Nanda Winar Sagita*
“Bebuet lagu temuluk, mangan lagu reje,” adalah pepatah yang terdengar akrab di telinga orang Gayo. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih: “Bekerja seperti budak, makan seperti raja.”
Pepatah ini biasanya ditujukan untuk menggambarkan etos kerja dan adab orang Gayo. Orang Gayo dituntut untuk bekerja secara serius dan profesional; tapi saat makan harus dalam keadaan yang paling istimewa dan tidak boleh diusik.
Perihal reje, itu adalah gelar umum untuk menyebut sosok pemimpin. Jika mengacu pada penggunaan sekarang, maka reje adalah sebutan untuk kepala kampung.
Memang ada pergeseran makna yang terjadi di sana. Kedigdayaan reje yang semestinya mengacu pada pemimpin dengan wilayah kekuasaan yang luas, telah dikerdilkan maknanya menjadi pemimpin yang daerah kuasanya hanya sebatas kampung.
Namun dalam tulisan ini, bukan itu yang akan kita bahas.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan konsep temuluk? Kita yakin kata temuluk tidak mungkin muncul begitu saja sebagai simbol pelengkap dari sebuah pepatah. Pasti ada kaitan historis yang melatarbelakanginya.
Jawabannya: sudah jelas ada!
Mengacu pada buku Kebudayaan Gayo (1982) karangan M.J Melalatoa, ada tiga tingkatan sosial dalam masyarakat Gayo. Pertama jema wajeb yang terdiri dari reje, petue, imem, dan rayat genap mupakat.
Kedua adalah sudere atau masyarakat biasa. Nah, temuluk adalah tingkat sosial terendah dan dapat didefinisikan sebagai budak.
Saya pertama kali membaca tentang konsep temuluk secara komprehensif justru dari tulisan orientalis Snouck Hurgronje.
Masalahnya adalah saya tidak menemukan teks lebih tua hasil tulisan para akademisi Gayo atau saya memang belum sempat mendengar langsung tuturan orang-orang tua terdahulu tentang eksistensi temuluk. Jadi sumber itulah yang jadi pijakan utama dalam tulisan ini.
Terlepas dari kepentingan politik yang mendorong Snouck untuk menulis buku Het Gajoland en zijne bewoners (1903), informasi tentang temuluk yang disajikan dalam buku tersebut memang layak untuk dikaji lebih mendalam lagi.
Sekadar informasi: buku itu telah diterjemahkan dua kali. Pertama oleh Budiman S dengan judul Tanah Gayo dan Penduduknya (INIS, 1996) dan kedua oleh Hatta Hasan Aman Asnah dengan judul Gayo: Kebudayaan dan Masyarakatnya pada Awal Abad ke-20 (Balai Pustaka, 1996).
Di buku tersebut, Snouck menyebutkan biasanya temuluk di Gayo Lues berasal dari suku Batak, tapi di daerah Gayo Lut dan Gayo Deret ditemukan juga temuluk yang berasal dari Nias yang diselundupkan dari wilayah Aceh.
Biasanya budak tersebut adalah orang gadaian milik bangsawan Melayu. Orang Gayo membeli mereka sebagai pekerja tanpa gaji sehingga para temuluk itu dibawa ke tanah Gayo dan diharuskan masuk Islam.
Disebutkan bahwa harga budak lelaki antara 30-60 dolar dan budak wanita adalah 40-100 dolar. Adapun standar dolar yang dipakai saat itu, sebagaimana yang disebutkan Snouck, adalah dolar Malaya dan Singapura yang disebut dengan Ringgit.
Budak lelaki biasanya bekerja untuk menggarap sawah dan kebun, sedangkan budak wanita bekerja di rumah sebagai pelayan dan di kebun sebagai pemetik hasil panen. Lantaran dua bidang pekerjaan itulah yang memungkinkan harga mereka lebih mahal.
Nah, pertanyaannya sekarang, kalau temuluk atau perbudakan pernah eksis di Tanah Gayo, lantas kenapa saat ini hal itu sudah tidak ditemukan lagi?
Jika merujuk pada tahun penulisan buku tersebut, sudah bisa dipastikan perbudakan pada akhir 1890-an sampai awal 1900-an memang masih eksis di Tanah Gayo.
Itu jelas terlambat, jika dibandingkan dengan kasus anti-perbudakan paling terkenal di dunia, yakni di Amerika Serikat, saat Presiden Abraham Lincoln mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi pada 1 Januari 1863.
Adapun di Gayo, teks yang dapat kita rujuk untuk kasus yang serupa adalah tulisan Ali Mambang Teruna, cucu dari Reje Maun dari Kejurun Bukit. Naskah itu ditemukan dalam Musyawarah Ulama ke II MPU Aceh Tengah pada 20 November 2008 dan dialihaksarakan oleh Zulfikar.
Disebutkan bahwa Reje Maun adalah orang Gayo pertama yang bersekolah, dan berhasil menghapus perbudakan di Tanah Gayo sekitar tahun 1914.
Adapun sistem yang dia terapkan adalah setiap budak yang telah dibebaskan, oleh harus dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga dari majikan. Dia harus punya tutur: baik itu adik, anak, cucu, atau tutur apa pun yang ada dalam hierarkis keluarga di Gayo.
Saat itu, siapa pun yang mencap seseorang sebagai temuluk maka Reje Maun akan memberi hukuman berat. Tidak disebutkan hukumannya apa, tapi yang jelas sanksi sosial semacam ini adalah salah satu bentuk betapa kaum humanis memang pernah berjuang dan menang di Tanah Gayo.
Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa penyebutan temuluk dalam pepatah “bebuet lagu temuluk, mangan lagu reje” bukan sekadar simbolisme belaka.
Keberadaan temuluk dan sistem perbudakan di Tanah Gayo memang pernah eksis. Kita memang tidak bisa memakai standar moral kontemporer untuk menjelaskan situasi sosial kala itu.
Jadi, untuk saat ini mari kita bersama-sama membuka hati dan pikiran untuk meneliti bagian sejarah yang hilang dari Tanah Gayo, khususnya tentang konsep temuluk dan perbudakan dalam Masyarakat Gayo.
*Pemerhati Sejarah Gayo