Oleh : Nanda Winar Sagita*
Nyak Putih adalah seorang lelaki yang lahir dan besar di Isaq, sebelum pada akhirnya mengembara keliling Aceh.
Bagi Snouck Hurgronje, dia adalah permata; sebab menjadi salah satu informan asal Gayo yang paling penting baginya dalam menyusun buku Het Gajoland en zijn bewoners.
Menurut gambaran Snouck, Nyak Putih adalah orang yang cerdas dan fasih berbahasa Aceh.
Lewat dialah banyak cendekiawan Belanda yang belajar bahasa Gayo. Salah satunya adalah murid terbaik Snouck di Leiden: Godard Arend Johannes Hazeu.
G.A.J Hazeu adalah doktor lulusan Leiden yang sangat ahli dalam memahami kebudayaan Jawa.
Dia, bersama dengan Snouck, adalah penasihat kolonialis yang penting dan staf utama di Kantor Urusan Pribumi.
Sebagaimana Snouck, Hazeu juga mahir dalam berbahasa Arab dan sering mengunjungi masjid-masjid di sekitaran Jawa Barat. Dia ditugaskan untuk meneliti tentang administrasi dan pengelolaan kas masjid.
Di samping itu, pada tahun 1914, atas Hazeu lah orang yang menginisiasi agar sekolah pribumi kelas satu menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.
Namun di sisi lain, dia juga tertarik untuk mendalami bahasa-bahasa pribumi lain; dan salah satunya adalah bahasa Gayo.
Hazeu sendiri belum pernah ke Gayo, tapi di Batavia dia bertemu dengan Nyak Putih dan Aman Ratoes.
Ketika di Kantor Urusan Pribumi ada pembahasan mengenai data linguistik bahasa Gayo agar dapat diakses, Hazeu mengambil peran besar untuk mewujudkannya.
Gayo menjadi populer di kalangan Pemerintah Kolonialis setelah keberhasilan Jenderal Van Daalem dalam ekspedisi yang membunuh ribuan warga di Gayo dan Alas, terutama yang paling terkenal adalah di Kute Reh.
Atas bantuan dan kontribusi kedua orang Gayo itulah Hazeu mulai menyusun Kamus Belanda-Gayo yang kemudian diterbitkan pada 1907.
Sekian itu, Hazeu juga mengambil sumber dari data yang telah dipublikasikan oleh peneliti sebelumnya dan kumpulan kekeberen yang diperoleh dari Nyak Putih dan Aman Ratus.
Di bagian pengantar, Hazeu memuji dan berterima kasih kepada kedua orang tersebut dengan menulis:
“Saya berterima kasih kepada Nyak Putih dan Aman Ratus. Yang mana atas kesabaran mereka yang tak terbatas, meskipun sering menghadapi ujian berat, serta ketekunan mereka dalam memberikan informasi kepada penyusun mengenai keunikan bahasa mereka setiap hari. Tugas ini juga menuntut mereka untuk berpikir dan berinteraksi secara mendalam. Minat mereka yang tak pernah surut terhadap pekerjaan ini, yang mana kehadiran mereka sangat penting dalam penyusunannya, pantas disebut dengan pujian di sini.”
Jika ditinjau dari sudut pandang pribumi, pujian atas kontribusi mereka tentu saja bentuk pengkhianatan. Mengingat saat itu masih banyak pejuang yang bergerilya di Aceh, terutama tanah Gayo.
Sementara Nyak Putih dan Aman Ratus menjadi informan bagi Hazeu, di Tanah Gayo terjadi perjuangan sengit dengan tokoh seperti Aman Nyerang dan Tengku Tapa.
Hal ini menjadi bukti, bahwa etnis dan suku tertentu tidak ada kaitannya dengan pengkhianatan; karena siapa saja bisa berpihak kepada Belanda asalkan ada keuntungan yang bisa mereka peroleh dari keberpihakan itu.
Dengan pendekatan yang ilmiah, karya itu sudah semestinya harus kita hargai. Kamus itu tebal, terdiri dari 1148 halaman yang memuat ratusan ribu kosa kata dalam bahasa Gayo.
Saya telah membaca kamus itu, dan menemukan ada begitu banyak kata lawas yang tidak lagi saya pahami maknanya tanpa membaca penjelasan yang tertera di sana.
Misalnya kata “Rengkenil” yang berarti semacam buah-buahan yang mirip dengan jamblang atau “Krincil” yang artinya kurang-lebih terpeleset.
Selain menyusun rangkaian kosa kata dari A-Z yang berjumlah ratusan ribu itu, pada bagian awal Hazeu juga menjelaskan secara singkat tentang gramatikal dan pelafalan huruf latin yang sudah diselaraskan dengan bahasa Gayo.
Walaupun belum kompleks, tapi kamus ini telah menyumbangkan warisan intelektual yang berharga bagi sumber literasi yang mengkaji tentang linguistik di Gayo.
Setelah kamus yang disusun oleh Hazeu, baru 98 tahun kemudian ada cendekiawan barat yang tertarik mengkaji bahasa Gayo, yaitu Domenyk Eades dengan buku A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra.
Namun jika menilik pada unsur politik pada era tersebut, maka bisa dibilang ada misi orientalisme yang menyertainya.
Penaklukan Gayo dan Alas oleh Jenderal Van Daalem membuka jalan bagi Pemerintah Kolonial untuk masuk lebih jauh ke tanah Gayo. Salah satu upayanya adalah dengan mempelajari bahasa mereka.
Terlepas dari konteks kepentingan kepenulisan itu, kamus itu memang penting dan layak untuk kita jadikan sebagai rujukan dasar dalam meneliti dan mengkaji dinamika bahasa Gayo sejak era kolonial sampai era kontemporer. []