Oleh : Marah Halim*
Pendekatan hukum untuk menertibkan cangkul padang dan cangkul dedem di Dalau Laut Tawar menandakan masalah itu tidak bisa lagi diselesaikan secara persuasif, pendekatan informal.
Dalam mewujudkan ketertiban sosial, penggunaan hukum sesungguhnya adalah jalan terakhir setelah 3 norma lainnya tidak bisa lagi diandalkan; yaitu norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
Norma agama dan norma kesusilaan yang bersifat intrinsik, menyasar kesadaran yang seharusnya hidup dalam jiwa setiap individu masyarakat yang mencegahnya dari berlaku zalim dan curang dalam mencari rezeki. Kedua norma ini bersifat suka rela.
Sedangkan norma adat dan norma hukum adalah norma yang bersifat ekstrinsik di luar diri setiap orang. Kedua jenis norma ini bersifat memaksa dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.
Intinya, dari norma agama dan kesusilaan yang ditunggu dan diharapkan dari setiap orang adalah kesadaran atau sadar diri, namun jika ini tidak muncul juga tentu harus ‘disadarkan’ atau ‘dipaksa untuk sadar’.
Pendekatan hukum adalah ‘dipaksa untuk sadar”, walaupun subyek hukumnya tidak sadar-sadar.
Dengan norma agama diharapkan orang takut kepada Tuhan jika dia berbuat zalim dan curang. Dengan norma kesusilaan orang diharapkan malu dengan orang lain jika ketahuan melakukan sesuatu yang zalim kepada manusia sesamanya.
Dengan norma adat diharapkan seseorang akan takut dihukum oleh komunitasnya karena melanggar ketentuan adat, sedangkan dengan norma hukum diharapkan orang takut dihukum oleh komunitas yang lebih luas dan formal, yaitu negara.
Monopoli alias “Murengom”
Salah satu karakter yang paling dibenci orang Gayo adalah karakter “murengom”, perilaku mengambil sebanyak mungkin tanpa peduli pada kerugian orang lain. Dalam praktik ekonomi istilah ini sepadan dengan istilah monopoli, istilah yang di dalamnya tercakup juga karakter curang, rakus dan tamak.
Dari bentuknya saja cangkul padang dan cangkul dedem sudah sangat monopolis. Betapa tidak, cara kerjanya yang mirip pukat harimau di laut lepas itu menyebabkan pupolasi ikan dengan cepat berkurang. Ikan-ikan yang terjaring bukan hanya satu jenis dan satu ukuran, tetapi beragam jenis dan berbagai ukuran.
Dari bentuknya yang menetap ibarat “buka lapak” di tengah danau menyebabkan terganggunya akses orang lain untuk mencari ikan dengan bebas dan tanpa rasa rikuh apalagi merasa bersalah; seolah sudah melanggar lapak orang lain.
Padahal seluas permukaan danau seharusnya menjadi area bebas yang bisa diarungi dan layari siapapun tanpa kapling-kaplingan.
Selain itu, praktik ‘monopoli’ penangkapan seperti itu membuat nelayan lain akan iri. Bagaimana tidak? Penggunaan alat tangkap seperti ini jauh dari prinsip “fair competition”.
Cara menangkap ikan seperti ini adalah kecurangan. Seharusnya menangkap ikan di DLT hanya boleh dengan cara tangkap alami seperti memakai jaring bentang (doran), alat pancing, bubu (seruwe), mata air (didisen) dan lain-lain.
Pembiaran penggunaan cangkul padang dan cangkul dedem selama bertahun-tahun menyebabkan kompetisi tersembunyi. Nelayan yang belum menggunakan pasti akan terpancing untuk melakukan hal yang sama.
“Better late than never”
Penertiban cara curang menangkap ikan dengan cangkul padang dan cangkul dedem memang telah terlambat karena sudah merusak ekosistem DLT, namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sebagai warga masyarakat kita jangan lantas menyerahkan sepenuhnya kepada pendekatan hukum yang tidak mengaktifkan sama sekali sekali tiga norma lainnya.
Apalagi dalam konteks Aceh, setiap norma telah memiliki institusi masing-masing.
Mungkin juga bukan berarti ketiga norma selain norma hukum yang diterapkan ini tidak efektif lagi bagi masyarakat Aceh Tengah.
Penulis yakin ketiganya juga masih hidup tetapi efektivitasnya membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan berbagai pendekatan.
Namun demikian, keempat norma ini bisa saling mengisi. Bisa saja karena kondisinya sudah parah, maka yang tampil duluan adalah pendekatan hukum.
Jika cangkul padang dan cangkul dedem nantinya sudah bisa ditertibkan, maka untuk mencegahnya menjamur lagi maka harus mengedepankan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
Norma hukum ibarat pasukan marinir yang bertugas membebaskan pantai agar pasukan infanteri dan artileri dapat diturunkan ke daerah pertempuran.
Dengan cirinya yang memaksa dan keras memang norma hukum efektif, tetapi tidak efisien.
Ketidakefisienan itu bisa kita lihat harus membentuk Satuan Tugas penertiban yang bersifat lintas instansi dan lintas sektor. Tentu saja biaya yang diperlukan sangat besar.
Karena itulah setelah digebrak dengan pendekatan hukum, maka untuk mempertahankannya harus diserahkan dan dikerahkan pada lembaga-lembaga yang berfokus pada penguatan norma agama, kesusialaan, dan adat.
Lembaga-lembaga daerah seperti MPU, MAG, MPD dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat digandeng agar eksistensi dan fungsinya dapat lebih dirasakan dalam menyelesaikan problematika pembangunan daerah. []