Politik Blah Uluh Haili Yoga

oleh

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Dalam sistem kepemerintahan tradisional masyarakat Gayo, seorang  Reje memegang peran sentral dalam menentukan kebijakan yang berkeadilan melalui musuket sipet.

Kebijakan ini mencakup berbagai hal penting, seperti penetapan besar kecilnya pajak dan retribusi daerah, contohnya pajak hasil hutan (wasil), retribusi rotan (Pancung Alas), retribusi tembakau (mejelis), dan upeti kepada Sultan Aceh (Usur).

Selain itu, Reje juga berwenang untuk memutuskan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat.

Tata kelola pemerintahan tradisional Gayo membagi kewenangan dalam dua ranah utama: edet dan hukum.

Frasa yang sering terdengar adalah Ara edet ara hukum, yang mencerminkan adanya pemisahan kewenangan antara edet dan hukum.

Dalam bahasa Gayo, kata edet memiliki beberapa arti yang bergantung pada konteks penggunaannya.

Ada edet yang berarti adat kebiasaan masyarakat, ada yang merujuk pada pajak atau retribusi, atau yang mengarah pada hukum tata kelola pemerintahan.

Setidaknya ada enam definisi berbeda yang tercakup dalam kata edet tersebut. Lihat https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Edet

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan edet adalah hukum tatanegara yang digunakan oleh Reje dalam menjalankan roda pemerintahannya, yang dikenal dengan frasa *Hukum olah suci, edet olah benar,” frasa ini mencerminkan bahwa hukum agama dianggap suci dan murni, sedangkan hukum edet dianggap benar dan adil sesuai dengan tradisi.

Dalam konteks ini, edet merujuk pada tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, sementara hukum agama berlandaskan pada wahyu atau firman Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Oleh karena itu, hukum agama berada dalam kewenangan seorang Imem, yang berpegang pada Al-Qur’an dan sunah, sementara edet menjadi kewenangan Reje dalam menjalankan pengendaliannya.

Dalam sistem peradilan tradisional Gayo, terdapat beberapa model tata peradilan yang berlaku seperti Hukum Perebe dan Hukum Denang.

Hukum Perebe merupakan penyelesaian hukum secara tertutup, yang bertujuan untuk menghindari publisitas, terutama untuk kasus-kasus sensitif yang berpotensi dampak negatif bagi pelaku maupun masyarakat.

Sebaliknya, Hukum Denang melibatkan diskusi terbuka, di mana keputusan diambil dengan melibatkan seluruh hadirin yang mengikuti proses, bukan hanya pihak yang bersengketa.

Dalam proses ini, masyarakat duduk di atas tikar yang dibentangkan denang, yang mirip dengan model sistem hukum Anglo-Saxon yang dianut oleh negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Lebih lanjut, dalam masyarakat Gayo terdapat beberapa istilah yang merujuk pada jenis-jenis keputusan hukum adat. Misalnya, Hukum Liet, yang menggambarkan proses pengambilan keputusan yang lambat dan sulit.

Ada pula Hukum Salah Terseje, yang merujuk pada proses hukum untuk kesalahan yang tidak disengaja, namun berdampak negatif dan tidak dapat dimaafkan oleh korban.

Yang paling menarik adalah Hukum Blah Uluh, yang mengacu pada keputusan hukum yang dianggap tidak adil.

Istilah Hukum Blah Uluh diambil dari cara membelah batang bambu, setelah dibuat retakan pada salah satu ujung batang bambu, biasanya dengan menggunakan parang, salah satu bagian diinjak (iperjak) dan bagian lainnya diangkat (itatang).

Dalam konteks ini, keputusan yang diambil akan menyebabkan ada pihak yang dirugikan (iperjak) dan ada pihak yang diuntungkan (itatang).

Contoh nyata dari penerapan Hukum Blah Uluh dapat dilihat dalam keputusan yang diambil oleh Bupati Aceh Tengah, Haili Yoga, menjelang akhir Ramadhan lalu, saat pertemuan dengan masyarakat di Mendale.

Dalam kesempatan tersebut, sejumlah masyarakat menyampaikan aspirasi terkait dengan pengelolaan Danau Lut Tawar, salah satunya mengenai masalah cangkul padang, yang diduga menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ikan depik di danau tersebut.

Haili Yoga menanggapi dengan tegas bahwa ia akan melakukan penertiban terhadap penggunaan cangkul padang.

Keputusan ini memunculkan dua respon yang hampir senada.

Respon pertama datang dari hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Muchlisin ZA dkk, yang menyebutkan bahwa berkurangnya populasi ikan depik disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penurunan permukaan danau, pencemaran, penyangkulen, dedesen, serta kehadiran spesies asing.

Baca : https://lintasgayo.co/2017/01/22/danau-lut-tawar-dan-permasalahannya/

Respon kedua datang dari wartawan senior Bahtiar Gayo, yang melakukan analisis jurnalistik dalam media Dialeksis tanggal 25 Maret 2023 dengan tajuk ”Mampukah Bupati Aceh Tengah Menyelamatkan Danau Laut Tawar?”, yang memaparkan kegelisahan masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Mahya dan Aman Rahmida, warga Kala Segi, yang menyatakan bahwa penyebab utama penurunan populasi depik adalah kehadiran ikan cere, grupy, dan kepala timah yang muncul setelah tsunami, dan memangsa jentik ikan, bukan karena cangkul padang.

Masyarakat yang mengandalkan perikanan tangkap dengan cangkul padang ini tentu merasa iperjak jika keputusan penertiban cangkul padang diambil tanpa kajian ilmiah yang memadai, dan jika penyebab penurunan populasi ikan ternyata bukan disebabkan oleh teknik perikanan tangkap mereka.

Sementara itu, Bupati Aceh Tengah sebelumnya, H. Drs. Mutafa Tamy, MM, menerapkan hukum denang, hasilnya, secara berkala melakukan restocking danau untuk meningkatkan populasi ikan dengan benih yang berasal dari pemijahan, baik yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.

Pak Tamy juga menegakkan Perda 5/1998 untuk memberikan rasa aman bagi nelayan tradisional, termasuk mengelola sejumlah reservad di titik-titik tertentu agar proses regenerasi ikan tidak terganggu.

Apabila kebijakan Haili Yoga untuk menertibkan Danau Lut Tawar tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan secara adil tanpa pilih kasih, maka masyarakat Aceh Tengah berisiko menghadapi ketidakadilan dalam bentuk keputusan hukum seperti Hukum Blah Uluh di mana ada yang iperjak dan ada yang itatang.

Semoga politik yang diterapkan Haili Yoga adalah Hukum Denang yang mengakomodir seluruh kepentingan secara berimbang baik secara ekonomi maupun ekosistem Danau Laut Tawar.

*Peneliti Sejarah dan Budaya Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.