Mengapa Gagal Saleh?

oleh

Oleh : Zarkasyi Yusuf, S. Sos, M. Pd*

Ramadhan akan mengucapkan “selamat tinggal”, tahun depan ia akan kembali lagi. Namun, belum ada jaminan kita akan dapat bertemu kembali dengannya, semoga saja Ramadhan ini bukan Ramadhan terakhir bagi kita, Allah anugerahkan Kembali perjumpaan pada tahun-tahun yang akan datang.

Salah satu harapan Ketika Ramadhan berlalu adalah pribadi manusia yang ditempa dalam Pendidikan Ramadhan menjadi saleh dan bertaqwa, meskipun dalam kenyataanya tidak sesuai harapan, Ramadhan berlalu manusia masih tetap gagal saleh.

Saleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua pengertian Pertama, “saleh” adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Kedua, “saleh” adalah suci dan beriman.

Salah satu ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesalehan terdapat Surat An-Nisa ayat 69 Artinya, “Siapa saja yang menaati (ketentuan) Allah dan rasul-Nya, niscaya mereka kelak akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya, yaitu para nabi, kalangan shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.

Mereka adalah sebaik-baik sahabat,” Dari berbagai kitab tafsir, ditemukan beragam pemaknaan yang diberikan ulama untuk menjelaskan kata “As-Shalihin”.

Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, menfasirkan bahwa orang saleh adalah orang yang menghabiskan usianya untuk menaati Allah dan mengerahkan hartanya di jalan yang diridhai-Nya.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengartikan orang saleh sebagai orang yang baik amal lahir dan amal batinnya.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir mengatakan bahwa orang saleh itu bukan berarti orang suci yang tidak memiliki kesalahan, orang saleh adalah orang yang baik batinnya dan kebaikannya lebih dominan daripada keburukannya.

Syekh Thahir bin Asyur dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir menafsirkan makna saleh sebagai adalah orang (beriman) yang menjaga istiqamah.

Sedangkan Tafsir An-Nasafi menyebut orang saleh sebagai orang yang baik lahir dan batinnya. Adapun Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menafsirkannya dengan makna orang saleh adalah mereka yang memenuhi hak Allah dan hak para hamba-Nya (terkait muamalah, munakahah, jinayah, wathaniyah, dan hak-hak lainnya).

Penyebab Gagal Saleh

Dari ragam makna yang diuraikan di atas, jika disederhanakan makna saleh adalah orang yang baik hubungannya dengan Allah, manusia dan juga lingkungannya. Gagal saleh dapat dipahami bahwa gagal menjadi orang baik, sehingga kegagalan ini akan berdampak besar dan mempengaruhi kehidupan ummat manusia.

Tidak dapat dibayangkan andai penduduk dalam satu kampung adalah mereka yang gagal saleh, tentu kesemrautan dan ketidakteraturan akan hadir menjadi hal biasa dalam kampung tersebut.

Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan lima penyebab manusia gagal saleh.

Pertama, Qana’ah dalam kebodohan. Qana’ah adalah sifat terpuji dalam menerima pemberian Allah, orang yang memiliki sifat qana’an akan selalu merasa cukup dengan karunia dari Allah, sehingga ia selalu menjadi hamba yang bersyukur.

Tetapi, qana’ah dalam kebodohan maksudnya adalah tidak mau belajar dan memperbaiki diri, ini adalah sifat yang sangat dicela dalam Islam. Jika seseorang telah menderita penyakit malas belajar, dirinya akan buta kebenaran dan kebaikan.

Sebab, ilmu adalah alat ukur yang akan memberikan informasi kepada manusia mana yang benar dan mana yang salah. Bertahan dalam kebodohan adalah penyakit yang sangat merusak dalam kehidupan.

Jika pemimpin bertahan dalam kebodohan, dapat dipastikan rakyatnya akan menderita dan sengsara. Jika seorang Ibu tidak lagi mau belajar, anaknya pasti tidak selamat dari kebodohan.

Sahabat Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa “Belajarlah ilmu, sebab mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan, menuntutnya adalah ibadah, mengkajinya seperti tasbih, menyelidikinya seperti jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan memberikan kepada ahlinya adalah pendekatan diri kepada Allah.

Ilmu adalah penghibur kesepian, teman dalam kesendirian, petunjuk dikala senang dan susah. Ilmu adalah penolong dan teman yang baik dan penerang jalan ke surga”.

Demikian dikutip Imam Al-Ghazali dalam Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Jelas dan terang bahwa ilmu adalah penerang jalan gelap kehidupan, mencukupkan diri untuk tidak lagi belajar pilihan sesat.

Kedua, rakus terhadap kehidupan dunia. Dunia dan akhirat dua hal yang pasti dilalui manusia. Dunia adalah segala sesuatu yang terjadi sebelum mati, sedangkan akhirat adalah sesuatu yang terjadi setelah mati.

Manusia yang bijak pasti akan mementingkan sesuatu yang lebih penting dan abadi dibandingkan sesuatu yang mamfaatnya hana sesaat saja.

Allah telah memberikan gambaran tentang dunia diantaranya terdapat dalam surat al-Hadid ayat 20, “ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan diantara kamu serta berbangga-banggaan dalam banyak harta dan anak”.

Dalam sebuah hadist Rasulullah telah memberikan penjelasan tentang dunia, Rasulullah memberikan penjelasan tentang dunia dengan perumpamaan seseorang yang berjalan di atas air, ia tidak mungkin menghindari kakinya basah.

Perlombaan yang tidak pernah mengenal garis finisnya adalah perlombaan mengejar gelamornya dunia, manusia pasti akan digiring untuk terus saja tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya, nafsunya akan terus mendorong untuk selalu berusaha memenuhi dan mengejar Impiannya, walaupun kadang ia melalaikan perintah Allah yang akan memberikan kemudharatan bagi dirinya di akhirat kelak.

Sifat rakus pada manusia akan menjerumuskannya dalam kompetisi hedonisme yang tidak mengenal aturan halal dan haram. Jika ini dilakoni oleh manusia, dapat dipastikan ia akan gagal menjadi orang baik.

Ketiga, kikir dengan kelebihan yang dimiliki. Dikisahkan ketika seseorang laki-laki bertemu Rasulullah dan bertanya kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, kenapa diriku tidak suka mati?”. Rasulullah berkata, “Apakah engkau punya harta?”.

Lelaki itu menjawab “Ya” dan Rasulullah berkata, “Nafkahkanlah hartamu, sebab hati seorang mukmin itu bersama hartanya. Jika hartanya dinafkahkan, ia akan menyusulnya. Jika hartanya ditinggalkan, ia ingin tinggal bersamanya”.

Meskipun Rasulullah bukan orang kaya tetapi Beliau adalah manusia paling dermawan di muka bumi ini. Tidak hanya itu, Rasulullah telah mewariskan sifat kedermawanannya itu kepada para sahabat-sahabat beliau, sehingga tidak satu orang pun sahabat Rasulullah yang tidak memiliki sifat pemurah.

Sekarang sifat pemurah mulai terkikis oleh egoisme manusia, manusia sekarang lebih tenang dengan gaya hidup YOLO (You Only Live One), gaya hidup ini akan menjadikan manusia semakin tidak peduli dengan orang lain, kikir dan masa bodoh dengan berbagi sesama.

Akibatnya, si kaya semakin kaya, sedangkan orang miskin semakin hari semakin jatuh miskin. Padahal, kehidupan ini akan selalu nyaman dan seimbang, andai yang kaya menjalankan peran dan fungsinya untuk membantu saudaranya yang miskin. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S Al-Hasyr ayat 9).

Keempat, riya dalam beramal. Secara sederhana, riya dapat dimaknai dengan beramal bukan karena Allah, amal yang dikerjakan diperlihatkan kepada manusia lain agar disanjung dan dipuji.

Riya adalah penyakit hati, ia tidak akan terbaca kasat mata, hanya pemilik amal dan Allah yang tahu apakah amalannya tulus karena Allah atau hanya pencitraan dan mengharapkan sanjungan, riya digolongkan dalam syirik kecil.

Diceritakan bahwa pada suatu hari ada beberapa orang yang berjalan mengikuti Ubay bin Ka’ab, tiba-tiba Amirul Mukminin Umar bin Khatab melihat dan memukul Ubay bin Ka’ab dengan cemeti.

Maka Ubay bin Ka’ab berkata, “Apa yang Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?”, Umar bin Khatab menjawab “ini menimbulkan kehinaan bagi pengikut dan fitnah bagi pemimpin”.

Kisah serupa terjadi pada Ibnu Mas’ud saat beliau keluar dari rumahnya, ia diikuti oleh beberapa orang dan ia melihat orang yang mengikutinya dari belakang seraya berkata, “kenapa kalian ikuti Aku?” Demi Allah, andai saja kalian tahu aku menutup pintu rumahku, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersedia mengikuti aku”.

Dua kisah di atas memberikan Pelajaran penting (lesson learn) bahwa popularitas menjadi salah satu media yang dapat berpotensi menjerumuskan manusia beramal karena riya.

Riya adalah perbuatan tercela yang pelakunya dikecam oleh Allah SWT sebagaimana terdapat dalam surat Al-Ma’un ayat 4-6, “Maka celakalah bagi orang orang yang mengerjakan shalat, (yaitu) orang orang yang lalai dari shalatnya, mereka itulah orang orang riya”.

Oleh karena itu, orang yang berakal sehat seharusnya menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya kedalam penyakit riya.

Kelima, Takjub dengan pemikiran sendiri. Dalam hadist Rasulullah menyebutkan bahwa“Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) tamak lagi kikir, (2) mengikuti hawa nafsu (yang selalu mengajak pada kejelekan), dan ujub (takjub pada diri sendiri).” (H.R. Abdur Razaq, hadist hasan).

Bangga pada diri sendiri adalah sifat tercela yang diancam oleh Allah dalam Al-Qur’an tepatnya pada surat Luqman ayat 18, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi suka membanggakan diri”.

Salah satu sebab yang dapat menjerumuskan manusia dalam jurang ‘ujub adalah merasa bangga dan kagum dengan pengetahuannya, serta merasa lebih pintar atau lebih berilmu dari orang lain, ini berdampak munculnya sikap meremehkan orang lain dan menyombongkan diri.

Dalam kitabnya, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary menyebutkan bahwa akar dari segala maksiat, syahwat, dan kelalaian adalah rasa puas terhadap diri sendiri. Dampak negatif dari ujub adalah merusak amal ibadah, merasa sombong dan merusak hubungan sosial sesama manusia.

Salah satu cara agar rasa ujub ini sirna adalah perenungan mendalam bahwa diri kita tidak lebih baik dari orang lain. Jika ada kelebihan yang kita miliki, itu adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri dan ditempatkan pada tempat yang dikehendaki oleh Allah.

Semoga Allah memberikan kekuatan Taufiq dan hidayah agar terhindar dari lima sifat yang akan mengantarkan kita menjadi manusia yang gagal saleh.

Zarkasyi Yusuf, S. Sos, M. Pd

*ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.