Oleh: Win Wan Nur*
Beberapa waktu lalu, saat berselancar di dunia maya, saya kembali melihat status Facebook Mirza Ardi, intelektual muda Aceh yang sekarang menempuh pendidikan doktoral di Singapura.
Status-status anak muda ini seringkali membuat kita tergelitik untuk membahasnya secara mendalam, contohnya ketika dia menulis status yang saya bahas di tulisan ini ketika dia mengatakan, “Maqam tertinggi dari ilmu adalah Saya tidak tahu“.
Status ini bukan hanya tepat, tapi faktanya ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berkembang dan akhirnya sangat maju seperti sekarang, semua berawal dari pengakuan kolektif umat manusia yang menyatakan “Saya tidak tahu”.
Bagaimana ceritanya?
Semua kita tarik kembali ke masa puncak kejayaan peradaban Islam di masa Kekhalifahan Abbasiyah dengan Baghdad sebagai ibu kota yang bukan hanya sebagai ibukota peradaban Islam, melainkan juga pusat peradaban dunia.
Saat itu di Baghdad secara khusus dan di dunia Islam secara umum, Ilmu pengetahuan berkembang pesat, didorong oleh semangat pencarian kebenaran yang didukung oleh para khalifah, ilmuwan, dan filsuf.
Baitul Hikmah menjadi simbol kejayaan intelektual, tempat di mana teks-teks Yunani, Persia, dan India diterjemahkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir-pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Ilmu matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat mengalami lompatan besar karena adanya kebebasan berpikir dan keyakinan bahwa akal manusia adalah alat utama untuk memahami realitas.
Namun, mengapa peradaban yang pernah begitu maju ini kemudian mengalami kemunduran? Mengapa ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Islam justru mengalami stagnasi, sementara di Eropa mulai tumbuh dengan pesat?
Jawabannya terletak pada bagaimana peradaban Islam menangani perdebatan intelektual yang muncul di dalamnya.
Ketika filsafat mulai berkembang dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang realitas, manusia, dan Tuhan, muncullah perdebatan tajam antara para filsuf dan para teolog.
Al-Ghazali, dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, menyerang pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi yang ia anggap terlalu jauh dalam membangun spekulasi rasional tentang Tuhan dan alam semesta.
Ia menegaskan bahwa ada batasan bagi akal manusia dan bahwa ada kebenaran yang hanya bisa dijangkau melalui wahyu.
Perdebatan ini mengarah pada delegitimasi filsafat dan rasionalisme dalam dunia Islam, yang akhirnya berdampak pada melambatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Belakangan, di saat peradaban Islam yang sedang menuju kemunduran, Eropa yang lama tenggelam dalam kegelapan justru mulai bangkit dengan bertumpu pada pemikiran Islam.
Peradaban Barat/Eropa dibangkitkan melalui penerjemahan karya-karya para filsuf Muslim ke dalam bahasa Latin. Persis sebagaimana dulu Khalifah Abbasiyah menerjemahkan filsafat Yunani, ilmu pengetahuan Persia dan India ke dalam bahasa Arab.
Di Toledo, Spanyol, yang merupakan pusat penerjemahan karya-karya filsuf muslim, mereka melakukan penerjemahan besar-besaran, dilakukan oleh para cendekiawan Eropa yang bekerja sama dengan sarjana Muslim dan Yahudi, membawa pemikiran Ibnu Sina, Al-Farabi, serta terutama Ibnu Rusyd ke dunia Barat.
Ironisnya, Ibnu Rusyd, sendiri menjadi besar justru karena menulis Tahafut al-Tahafut sebagai sanggahan terhadap Tahafut Al Falasifah-nya Al-Ghazali
Dari menulis sanggahan atas pemikiran Al-Ghazali, dia menjadi tokoh kunci dalam membentuk pemikiran rasional di Eropa. Dari sinilah berkembang tradisi intelektual yang pada akhirnya melahirkan Renaissance, lalu Revolusi Ilmiah, yang melahirkan ilmuwan paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia Sir Isaac Newton.
Tapi bahkan Newton yang secerdas itupun belum bisa berbuat banyak dalam menjadikan pemikirannya sebagai sandaran kebenaran ilmiah yang tak bisa diperdebatkan.
Sejarah mencatat, Newton terlibat debat intelektual panas dan tak terselesaikan dengan Leibniz. Perdebatan ini mencapai puncaknya dalam perdebatan Newton dan Leibniz tentang realitas.
Newton meyakini bahwa ruang dan waktu adalah entitas absolut yang ada dengan sendirinya, sementara Leibniz menolak gagasan ini dan berpendapat bahwa ruang dan waktu hanyalah relasi antara objek-objek dalam semesta. Keduanya terjebak dalam pencarian kebenaran mutlak.
Perdebatan ini akhirnya diselesaikan oleh Immanuel Kant melalui bukunya “Critique of Pure Reason,” yang memperkenalkan gagasan fenomena dan noumena.
Kant menegaskan bahwa manusia tidak bisa memahami segala sesuatu secara absolut, karena ada batasan dalam cara kita menyusun pengalaman.
Kita hanya bisa memahami dunia sejauh yang dapat dijangkau oleh indera dan akal kita—di luar itu, kita harus mengakui keterbatasan kita dan menerima bahwa ada hal-hal yang “kita tidak tahu”.
Pemikiran Kant ini mengubah dunia. Pasca Kant manusia menyadari bahwa ada batasan dalam pemahamannya.
Gagasan Kant ini membuat Ilmu pengetahuan modern tidak lagi peduli pada noumena, yaitu realitas yang tak bisa kita akses, tetapi hanya fokus pada fenomena, yaitu apa yang bisa kita amati dan uji secara empiris.
Ini adalah revolusi dalam cara berpikir: manusia berhenti berpura-pura tahu segalanya dan mulai menerima keterbatasannya.
Hasilnya, ilmu pengetahuan pun berkembang pesat dengan meninggalkan spekulasi metafisik yang tak terjangkau. Tema perdebatan yang dulu menghabiskan energi para filsuf Muslim dan Al-Ghazali.
Kant membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami ilmu pengetahuan—bukan lagi mencari kebenaran absolut, tetapi mengakui keterbatasan akal dan berfokus pada apa yang bisa diuji dan diamati.
Akhirnya kita hanya bisa berandai-andai, jika peradaban Islam saat itu mampu menyadari bahwa ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan “Saya tidak tahu”, mungkin kemundurannya tidak akan terjadi.
Andai saat itu baik para filsuf maupun Al Ghazali menyadari kalau jawaban paling memuaskan dari topik-topik yang menjadi inti dari perdebatan-perdebatan panas mereka itu hanyalah sebuah kalimat sederhana “saya tidak tahu” peradaban Islam takkan pernah mengalami kemunduran.
Namun, begitulah, takdir memang tak dapat diubah dan faktanya, butuh berabad-abad bagi manusia sejak zaman Mu’tazillah dan Al-Ghazali, melalui aneka pergulatan pemikiran untuk bisa sampai pada kesimpulan bahwa “Saya Tidak Tahu”
Dan terbukti segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita nikmati hari ini tak akan pernah ada kalau manusia tidak secara kolektif mengaku “Saya Tidak Tahu” segala kemajuan ini takkan pernah terjadi kalau manusia masih sibuk menghabiskan energi untuk memahami Noumena yang tak mungkin bisa kita pahami.
Kembali, status Mirza yang saya kutip di awal tulisan ini, terbukti tanpa bantahan “Maqam ilmu yang paling tinggi adalah ‘saya tidak tahu'”
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber