Oleh : Win Wan Nur*
Di dataran tinggi Gayo, kopi bukan sekadar tanaman. Ia adalah darah yang mengalir lewat akar, harapan yang menguap bersama aroma.
Tapi di tahun 2025 ini, harapan itu diguncang oleh satu keputusan dari Gedung Putih: 32 persen tarif impor untuk semua produk Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat, yang tentu saja di dalamnya termasuk KOPI.
Tarif itu bukan hanya angka. Ia seperti kabut pekat yang turun tanpa peringatan, menutupi harapan para petani yang selama ini menggantungkan hidup pada ekspor ke negeri Paman Sam.
Amerika adalah pembeli utama, tempat di mana lebih dari 60 persen kopi Gayo mendarat. Ketika jalan itu ditutup dengan dinding tarif, maka yang terdengar hanyalah denting panik dari koperasi ke koperasi, dari gudang ke gudang.
Negara lain seperti Kolombia, Brasil, Kenya, dan Yaman hanya dikenai tarif 10 persen. Mereka tetap bisa berdansa dalam pasar.
Sementara Vietnam—yang kena tarif lebih besar—masih punya tameng: Robusta murah yang tetap diburu karena harga. Gayo tak punya kemewahan itu.
Gayo adalah Arabika spesialti, kopi berkualitas tinggi yang tak bisa bersaing dalam perang harga.
Dan kini, ketika harga jual kopi Gayo di pasar AS berpotensi turun hingga 25 persen, permintaan pun sudah jatuh 15 persen hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Yang lebih menyesakkan: para pesaing justru bersorak. Kolombia dan Brasil mencatat kenaikan ekspor sebesar 8 persen di saat kita panik menatap grafik merah. Ini bukan sekadar ketimpangan dagang. Ini adalah alarm kematian yang tak dihiraukan.
Tapi tragedi terbesar justru tak datang dari luar. Ia datang dari dalam. Dari Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Terkait persoalan ini terus terang, Aceh Tengah adalah yang paling mengkhawartirkan, pemerintah kabupaten ini seperti tak punya imajinasi, terus terang saya khawatir kalau pemerintah kabupaten ini sudah punya gambaran, apa yang harus diklakukan dalam menghadapi pukulan telak yang tiba-tiba datang ini.
Di saat krisis mengetuk pintu, yang kita lihat pemerintah daerah masih sibuk dengan rutinitas administrasi. Tak ada tanggap darurat.
Tak ada satgas. Tak ada koordinasi lintas kabupaten. Yang ada hanyalah tumpukan SPJ dan rapat tentang dana kegiatan. Tidak terlihat kecemasan atas ancaman besar yang sudah ada di depan mata ini.
Di tanah tempat kopi terbaik tumbuh, kini hanya tumbuh kebingungan dan keheningan birokratis. Padahal ini bukan sekadar gangguan ekspor.
Ini adalah ancaman terhadap urat nadi ekonomi rakyat. Bila harga jatuh dan permintaan menghilang, stabilitas sosial pun bisa runtuh seperti domino yang dijatuhkan satu per satu.
Bener Meriah lebih beruntung. Di sana ada Bang Armia, wakil bupati sekaligus pemain ekspor kopi besar. Ia tahu langsung bagaimana kerasnya pukulan tarif 32 persen. Kalau ada harapan, mungkin ia datang dari sana.
Tapi harapan itu harus disambut, bukan dibiarkan sendiri. Saatnya bupati Aceh Tengah dan seluruh elemen pemerintahan berhenti menunggu. Ini waktunya menyusun langkah konkret.
Segera buat satuan tugas lintas kabupaten. Libatkan eksportir, koperasi, aktivis, dan akademisi. Buat roadmap penyelamatan ekspor.
Ajukan kebijakan strategis ke pemerintah Aceh dan pusat. Minta insentif pajak, subsidi logistik, dan saluran diplomasi. Karena tanpa itu, Gayo akan ditinggalkan.
Pasar baru harus segera digarap. Rusia, dengan pertumbuhan konsumsi kopi yang melonjak 12% sejak 2023, adalah harapan jangka panjang. Tapi Rusia bukan mimpi instan.
Kita butuh jalur pasok baru, mitra lokal, strategi logistik, dan diplomasi. Timur Tengah, Jepang, Korea Selatan—semua adalah ladang yang harus dicangkul mulai sekarang.
Dan di balik semua ini, satu pertanyaan menggantung di udara yang disesaki aroma cemas: mau dibawa ke mana kopi ini? Jika pemerintah masih tak bisa menjawab, maka rakyat sendiri yang akan mencari jalannya. Dengan caranya sendiri.
Aroma kopi Gayo tak pernah berbohong. Ia adalah wangi yang datang dari kerja keras, dari tanah yang curam dan tangan yang kasar. Tapi kini, wangi itu terancam jadi asap.
Dan bila tak ada yang bertindak, maka sejarah akan mencatat bahwa di saat kopi Gayo butuh perlindungan, yang terdengar dari pemerintah hanyalah bunyi lembaran kertas anggaran yang dibolak-balik.
Kita sedang berpacu dengan waktu. Jika bukan sekarang, maka besok sudah terlambat. Apa yang dimulai sekarang tidak akan langsung berbuah esok hari.
Bisa jadi butuh waktu bertahun-tahun, dengan kerja keras dan konsistensi. Tapi justru karena itulah, kita harus mulai hari ini. Karena menunda adalah cara lain untuk menyerah.
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan seorang YouTuber