Oleh: Win Wan Nur*
Kemarin, sahabat saya, Wiratmadinata, menulis sebuah status reflektif di Facebook tentang gerakan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara—yang lebih dikenal dengan akronim ALA.
Tulisan itu bukan sekadar keluhan, apalagi agitasi politik, melainkan semacam catatan kritis yang lahir dari keprihatinan seorang anak daerah terhadap jalan berliku yang tak kunjung menjadi jalan pulang.
ALA, sejatinya bukanlah wacana baru. Ia bukan gerakan yang muncul pasca-reformasi saja.
Dalam catatan sejarah Aceh modern, nama Mustafa M. Tamy, Bupati Aceh Tengah saat itu, adalah sosok sentral yang mengangkat gagasan ini dari sekadar gumaman warung kopi menjadi narasi politik yang diperjuangkan.
Bersama tokoh lain seperti Armyn Deski dari Aceh Tenggara, ide pemekaran ini mulai menyusuri ruang-ruang administratif dan intelektual sejak awal 2000-an.
Tapi seperti mimpi-mimpi yang dideklarasikan sebelum fajar, ALA kadang terasa seperti mimpi yang terlalu dini. Ia punya gairah, tapi belum punya peta. Ia punya energi, tapi belum punya mesin.
Maka tak mengherankan jika sampai hari ini, ALA lebih sering hadir sebagai wacana musiman yang kembali muncul saat Pemilu, lalu menghilang seperti kabut di Danau Lut Tawar saat mentari naik sepenggalah.
Mengapa ALA muncul? Pertanyaan ini sudah banyak dijawab. Rentang kendali yang terlalu jauh dari Banda Aceh, ketimpangan pembangunan, diskriminasi kultural, hingga luka primordial yang tak pernah betul-betul dijahit.
Status Wiratmadinata menyebut dengan getir bagaimana seorang Gubernur seperti Nova Iriansyah yang merupakan seorang putra Gayo dianggap “bukan Aceh asli” dihantam fitnah dan penolakan. Sebuah bukti betapa identitas masih menjadi hantu dalam politik Aceh.
Namun, jika ditarik lebih dalam, gerakan ALA justru menghadapi problem dari dalam dirinya sendiri.
Pertama, tidak adanya konsep pembangunan yang matang. Apa itu ALA? Provinsi baru? Otonomi khusus seperti Papua? Apakah akan mengadopsi model pembangunan berbasis adat dan budaya seperti Bali? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini belum pernah dijawab secara serius.
Para penggeraknya, dari masa ke masa, lebih sibuk memperdebatkan di mana ibukotanya kelak—daripada bagaimana fondasi politik, ekonomi, dan kulturalnya dibangun.
Kedua, belum ada narasi pemersatu lintas etnis. Wilayah ALA mencakup Gayo, Alas, Singkil, dan bahkan etnis Pakpak. Setiap kelompok memiliki sejarah, bahasa, dan kepentingannya sendiri.
Namun hingga kini, belum ada skema bagaimana perbedaan itu akan dirajut. Di mana posisi Singkil dalam hegemoni budaya Gayo? Apakah Pakpak akan merasa terwakili? Apakah Alas tidak akan merasa direpresi? Apakah narasi ALA akan menjadi sekadar perluasan dominasi satu etnis terhadap yang lain?
Kita ambil contoh Bali, misalnya, provinsi tempat saya berdomisili ini berhasil mempertahankan eksistensinya karena memiliki narasi budaya yang kohesif. Tapi ALA? Ia belum punya itu.
Tidak ada narasi bersama yang bisa dipegang bersama. Yang ada baru sekumpulan keluhan dan dendam sejarah yang belum diolah menjadi proyek masa depan.
Ketiga, kelemahan struktur internal. Seperti yang disebutkan Wiratmadinata, para elit ALA sering kali “bermain di atas angin”.
Mereka memperjuangkan ALA sambil membayangkan posisi gubernur atau ketua DPRD, bukan memperjuangkan masa depan generasi berikutnya. Saat peta baru belum tergambar, mereka sudah berebut lokasi istana.
Bukan berarti ALA tidak mungkin lahir. Bukan pula berarti pemekaran adalah langkah yang salah. Tapi seperti seorang anak yang ingin merantau dari rumahnya, ia harus tahu ke mana ia pergi, bagaimana ia akan hidup, dan siapa yang akan menemaninya.
Tanpa itu, ia hanya akan tersesat dalam euforia kebebasan yang tak pernah siap ia tanggung.
Seperti kata Wiratmadinata dalam statusnya, jika ALA ingin meyakinkan Jakarta, maka yang dibutuhkan bukan sekadar orasi dan bendera. Tapi data, angka, konsep, dan integritas.
Ia harus membuktikan bahwa dengan berpisah, ia akan membawa kebaikan bagi rakyatnya, bukan sekadar membangun dinasti baru dalam peta yang baru.
ALA, pada akhirnya, adalah panggilan. Tapi panggilan itu tidak akan menjelma menjadi provinsi jika tidak ada yang menjawab dengan pikiran jernih, hati bersih, dan rencana yang matang.
Dan sejarah, selalu menunggu mereka yang datang dengan kesungguhan.
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan seorang YouTuber