Aceh oh Aceh; Kaum Cet Langet Dipandang Keren, Rasionalitas Dicemooh Tapi Berani Bermimpi Besar

oleh

Oleh: Win Wan Nur*

Dalam keseharian, meski tidak kita sadari, sebenarnya perilaku dan arah perkembangan satu kelompok manusia sangat tergantung pada pola prestise yang berkembang di masyarakatnya.

Apa itu pola prestise?

Pola prestise adalah sesuatu yang dianggap keren, dihormati, dan bergengsi dalam lingkungan sosial tertentu. Pola ini membentuk pilihan hidup, ambisi, dan bahkan identitas kolektif sebuah komunitas.

Kita ambil contoh, di Gayo, terutama Aceh Tengah dan Bener Meriah, misalnya, pola prestise sangat terkait dengan status sebagai pegawai negeri, tenaga kesehatan, dan polisi.

Profesi ini dianggap sebagai simbol kesuksesan karena menawarkan stabilitas, kepastian penghasilan, dan status sosial yang tinggi.

Menjadi pegawai negeri adalah bukti keberhasilan dalam pendidikan dan, secara tidak langsung, mengangkat martabat keluarga.

Di kalangan perempuan, menjadi bidan atau perawat juga memiliki gengsi tersendiri, karena profesi ini tidak hanya memberikan penghasilan tetap tetapi juga dihormati di masyarakat.

Sebaliknya, di Bali tempat saya berdiam saat ini, pola prestise berkembang berbeda. Di sini, profesi yang terkait dengan pariwisata, seperti pemandu wisata (guide) dan pekerja kapal pesiar, memiliki nilai gengsi yang tinggi.

Bekerja di kapal pesiar, misalnya, dianggap sebagai pencapaian besar karena memberikan kesempatan untuk bepergian ke luar negeri, mendapatkan penghasilan dalam mata uang asing, dan membawa pulang cerita sukses yang bisa dibanggakan di kampung halaman.

Selain itu, ada kebanggaan tersendiri dalam berkontribusi pada industri yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali.

Lain lagi di Amerika, di komunitas kulit hitam. Di sana, dalam komunitas masyarakat ini, menjadi rapper atau pebasket adalah simbol kesuksesan dan mobilitas sosial yang luar biasa.

Rapper sukses seperti Jay-Z atau Kendrick Lamar, serta pemain basket seperti LeBron James dan Michael Jordan, adalah figur panutan yang menunjukkan bahwa seseorang bisa keluar dari kondisi sosial ekonomi rendah dan mencapai puncak kekayaan serta ketenaran.

Profesi ini dihormati bukan hanya karena penghasilannya yang besar, tetapi juga karena mereka dianggap sebagai ikon budaya yang memiliki pengaruh luas.

Pola prestise ini membentuk arah perkembangan suatu masyarakat. Kita lihat di Gayo, banyak anak bercita-cita menjadi pegawai negeri karena melihat itu sebagai jalan menuju kehormatan sosial.

Di Bali, banyak anak muda belajar bahasa asing dan membangun keterampilan di industri wisata. Sementara di komunitas kulit hitam Amerika, bakat dalam musik atau olahraga bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan dan ketidakadilan sosial.

Setiap masyarakat memiliki pola prestise yang unik, dan pola ini membentuk impian serta ambisi kolektif mereka.

Sekarang kita bahas sejarah, apa itu sejarah dan apa manfaatnya bagi kita untuk memahaminya?

Sejarah adalah cermin yang memungkinkan kita belajar dari masa lalu, seperti kaca spion dalam perjalanan.

Ia menunjukkan jejak keputusan manusia—baik yang membawa kemajuan maupun kehancuran—agar kita bisa menilai apakah ingin mengulanginya atau mencari jalan baru.

Berbicara tentang pola prestise ini, sejarah menunjukkan bahwa kemajuan sebuah peradaban terkait erat dengan bagaimana masyarakatnya mendefinisikan apa yang disebut sebagai sesuatu yang bergengsi.

Di Yunani Kuno yang menjadi pusat peradaban dunia di masanya, filsafat menjadi tren di kalangan elite intelektual, dan hasilnya adalah munculnya pemikir-pemikir besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Mereka bukan hanya orang-orang yang berpikir dalam ruang tertutup, tetapi figur publik yang dihormati, bahkan diikuti oleh murid-murid yang ingin mendapatkan kebijaksanaan mereka.

Selain filsafat, di masa Yunani kuno, olahraga juga memiliki nilai prestise tinggi, yang melahirkan ajang seperti Olimpiade, menunjukkan bagaimana pola prestise bisa bersifat multidimensi, tidak hanya terbatas pada intelektualisme murni.

Di era Abbasiyah, kekhalifahan Islam yang menggantikan Yunani sebagai pusat peradaban dunia, mencari ilmu, menerjemahkan buku, dan berdiskusi tentang filsafat dan sains dianggap sebagai hal yang prestisius.

Khalifah Al-Ma’mun, misalnya, bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang pencari ilmu yang mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan riset ilmu pengetahuan.

Yang dihormati pada masa itu bukan hanya jenderal atau penguasa, tetapi juga ilmuwan seperti Al-Khwarizmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Jabir ibn Hayyan, Al-Hunayn ibn Ishaq, Al-Razi, Al-Haytham, Al-Biruni dan yang lain.

Kota-kota seperti Baghdad dan Cordoba memiliki budaya intelektual yang begitu hidup sehingga masyarakat dari berbagai kelas sosial bisa terlibat dalam diskusi ilmiah.

Ketika Eropa mulai bangkit dari Abad Kegelapan dan menggantikan Islam dalam memimpin peradaban, mereka tidak serta-merta menemukan kebenaran sendiri, tetapi pertama-tama mereka mengubah persepsi tentang apa yang disebut keren, mendefinisikan ulang, apa yang disebut BERGENGSI di masyarakatnya.

Para pemikir Renaisans memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang bergengsi, dan ini membuat mereka menerjemahkan serta mengkaji ulang pemikiran filsuf Muslim seperti Ibnu Rusyd.

Mereka mendirikan akademi-akademi ilmiah, menggelar perlombaan intelektual, dan memberikan patronase kepada para ilmuwan.

Revolusi sains yang kemudian terjadi tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi karena masyarakat mulai melihat ilmu sebagai sesuatu yang bernilai tinggi.

Persamaan di antara ketiga peradaban maju ini jelas: masyarakatnya menganggap penguasaan ilmu pengetahuan itu keren, berpikir itu keren, memiliki wawasan itu keren.

Orang-orang yang dihormati bukan sekadar mereka yang berkuasa, tetapi mereka yang memahami dunia dan bisa menjelaskannya.

Namun, pola prestise ini tidak selalu stabil. Ketika filsafat mulai diserang dalam dunia Islam, terutama setelah Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali yang mengkritik para filsuf, pola prestise di dunia Islam mulai bergeser.

Jika sebelumnya, menjadi ilmuwan atau filsuf adalah puncak kebanggaan intelektual. Ilmu pengetahuan, filsafat, dan rasionalitas bukan hanya dihargai, tetapi juga dianggap sebagai bagian dari kejayaan Islam.

Tetapi ketika oleh Al-Ghazali dalam Tahafut Al Falasifah mulai mengaitkan pemikiran rasional dengan penyimpangan akidah, mereka yang dulu dipandang tinggi tiba-tiba menjadi pesakitan—dicap sebagai ancaman bagi keimanan.

Dampaknya sangat nyata. Anak-anak Muslim yang tadinya berambisi menjadi ilmuwan atau filsuf tiba-tiba kehilangan dorongan itu.

Tak ada lagi kebanggaan dalam menekuni filsafat, matematika, atau sains, karena mereka tak ingin diasosiasikan dengan sesuatu yang dianggap sesat.

Pola prestise yang bergeser ini perlahan tapi pasti membuat umat Islam menjauhi ilmu yang dulu mengangkat mereka ke puncak peradaban dan kegemilangan peradaban seperti di masa Abassiyah.

Kegemilangan yang saat ini hanya menjadi semacam dogma tapi tak pernah lagi bisa dicapai oleh umat Islam hingga saat ini, satu milenium setelah terbitnya Tahafut Al Falasifah.

Sekarang kita lihat Aceh, kenapa Aceh seperti sekarang? Kenapa kita tidak bisa maju pesat dengan guyuran sebegitu banyaknya uang?

Kenapa orang-orang berkemampuan yang paham betul apa yang harus dilakukan tidak diterima dan dihargai? (Saat menulis ini saya teringat sosok Tarmizi Karim).

Dikaitkan dengan konsep pola prestise ini, jawabannya jelas. Itu karena pola prestise yang berkembang di masyarakat Aceh tidak melihat orang yang mampu berpikir dan memahami persoalan itu sebagai sesuatu yang keren dan bergengsi.

Apa yang dianggap prestise di sini? Bukan kecerdasan, bukan wawasan, tetapi keberanian berbicara keras, meskipun tanpa substansi.

Kita sering melihat orang-orang yang di masa lalu aktif sebagai aktivis bangga memperlihatkan foto mereka saat dipukuli polisi dalam aksi demonstrasi, seolah-olah itu adalah pencapaian besar. Tetapi, ketika ditanya solusi konkret, jawabannya sering kali nihil.

Di sisi lain, ketika seseorang berbicara dengan argumentasi yang berbasis data dan logika, tanggapan yang muncul justru sinis:

“Meunyoe peugah haba mantong, aneuk miet pih jeut.” (Kalau cuma bicara, anak kecil pun bisa).

“Apa yang sudah kamu perbuat untuk Aceh?”

Yang terjadi di Aceh, orang yang mampu menawarkan gagasan kongkrit dan bisa dieksekusi dianggap sebagai orang yang kebanyakan teori.

Orang yang memiliki kapasitas berpikir, yang bisa menawarkan solusi, justru diremehkan dan dijauhkan dari pengaruh.

Sebaliknya para penjual omong kosong dan cet langet, yang berani bersuara vokal merekalah yang dielu-elukan.

Akibatnya, Aceh kehilangan banyak individu cerdas yang sebenarnya bisa membawa perubahan. Mereka memilih untuk tidak terlibat atau bahkan pergi ke tempat yang lebih menghargai kompetensi dan pemikiran rasional.

Yang dianggap bergengsi oleh orang Aceh adalah orang yang berani bicara keras tanpa substansi.

Makanya kita lihat seringkali orang yang sempat dikategorikan aktivis di masa lalu, bolak-balik memamerkan fotonya saat dipukuli polisi ketika demo. Teriak tolak ini dan itu tanpa dilengkapi dasar argumen yang mantap.

Kembali kepada tulisan saya edisi Ramadhan sebelum ini yang mengutip status Mirza Ardi yang mengatakan “Semoga 5 tahun lagi rakyat Aceh sadar bahwa ‘memimpin itu butuh ilmu'”—itu hanyalah harapan kosong, karena tidak ada landasannya.

Kesadaran seperti itu tidak mungkin tumbuh dalam masyarakat yang pola prestisenya tidak memberi nilai tinggi pada pemikiran rasional, orang yang punya wawasan.

Kesadaran seperti itu tidak mungkin tumbuh dalam masyarakat yang melihat sosok keren dan bergengsi itu adalah orang yang berani berbicara vokal tanpa substansi.

Inilah sebabnya di seri tulisan sebelumnya saya selalu mendorong dan mendesak kaum intelektual Aceh turun dan bertarung menguasai narasi publik.

Cela dan hina narasi kosong, vokal tanpa substansi. Supaya masyarakat melihat itu sebagai sesuatu yang keren dan bergengsi. Buat para politisi yang mengoceh tanpa dasar itu layaknya badut untuk bahan tertawaan.

Jangan biarkan narasi-narasi Cet Langet menguasai wacana publik yang akhirnya menciptakan pola prestise yang tak mungkin membawa Aceh kepada kemajuan.

Minimal, kalaupun Anda tak percaya diri menulis dalam sebuah artikel, lawanlah dengan menulis status atau berkomentar di status-status orang di media sosial.

Karena perubahan harus dimulai dari perlawanan terhadap pola prestise yang salah, dan itu tidak bisa dilakukan hanya dengan diam dan mengamati dari jauh.

*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.