Aceh Lon Sayang : Intelektual Dibuang, Ustadz Politik Berkuasa, Triliunan Dana Otsus Menguap Tak Jadi Apa-Apa

oleh

Oleh: Win Wan Nur*

Beberapa hari yang lalu, saya membaca status Facebook Mirza Ardi, seorang intelektual Aceh yang kini sedang menempuh pendidikan doktoral di Singapura. Statusnya singkat, tapi menghantam keras:

“Adoe meutuah, kalaupun Aceh merdeka, lalu dipimpin medioker, engga akan kemana-mana kita.”

Mirza melihat realitas pahit: Aceh memiliki dana besar, tetapi tanpa pemimpin yang berilmu, hasilnya nol besar.

Di statusnya yang lain di hari berikutnya dia menulis “Lima tahun ke depan, kita berharap rakyat sadar bahwa “memimpin itu butuh ilmu.” Tapi melihat kondisi sekarang, harapan itu terdengar seperti mimpi di siang bolong.

Di kolom komentar, para intelektual lain ikut berbagi kegelisahan.

Alkaf, seorang dosen IAIN Langsa, merespons dengan nada satir:

“Adoe meutuah sekarang gak minta merdeka lagi, malah kini yang minta merdeka malah adun meutuah.”

Teuku Alfian Castro, aktivis 98 alumnus fakultas hukum Unsyiah, menambahkan dengan pesimis:

“Merdeka adalah pasti, cuma waktunya yg tdk pnh bisa diprasasti.”

Sementara Sri Wahyuni, seorang aktivis perempuan dari suku minoritas Gayo, melontarkan kekhawatiran yang lebih dalam:

“Puji dan syukur ngak merdeka, bayangkan kami suku minoritas jadi apa.”

Lalu Fuad Marhathillah, intelektual senior UIN Ar-Raniry, menutup dengan refleksi religius:

“Za, disitulah kiranya mjd bukti, bhw Allah lebih syg pd orang Aceh. Klo dibiarkan kita pisah dan berdiri sendiri, mgkin akan lebih mnyedihkn dr yg skrg dirasakan rakyat Aceh…”

Percakapan ini bukan sekadar diskusi di media sosial. Ini adalah cermin kekalahan kaum intelektual di Aceh dalam perang narasi publik.

Percakapan di beranda Facebook Mirza Ardi ini adalah potret nyata betapa mirisnya kondisi Aceh hari ini—sebuah realitas di mana kaum intelektual yang berbicara berdasarkan analisis dan fakta justru terpinggirkan, suara mereka tak lebih dari sekadar bisikan samar di tengah hiruk-pikuk narasi publik yang didominasi ustaz politik.

Dalam pertarungan opini merebut hati publik ini, mereka kalah telak, seperti McGregor yang terkunci di leher oleh Khabib—tak berdaya, tercekik, dan akhirnya tersingkir dengan tragis.

Yang tersisa hanyalah gerutuan lirih dari sudut yang nyaris tak terlihat, suara yang tenggelam di lautan opini berbaju agama.

Dua dekade setelah damai, Aceh punya banyak anak muda pintar yang dikirim belajar ke luar negeri. Tapi, ketika mereka pulang, Aceh tak tahu harus berbuat apa dengan mereka.

Yang diangkat jadi pemimpin bukan mereka yang punya visi, tapi mereka yang pandai bersilat lidah dengan membungkus segala sesuatu dalam narasi Syariat Islam.

Bicara soal kepemimpinan? “Yang penting agamanya baik.”

Bicara soal korupsi? “Jangan hujat sesama Muslim, doakan saja.”

Bicara soal ekonomi? “Kita harus kembali ke sistem ekonomi Islam, bukan kapitalisme.”

Sementara itu, mereka yang bicara dengan pendekatan berbasis realita malah dicap “liberal”, “sekuler”, atau bahkan “anti-Islam”.

Akibatnya? Aceh tak kemana-mana.

Dana Triliunan, Kemajuan Nol Besar

Sejak damai, Aceh sudah menerima lebih dari Rp 100 triliun dalam Dana Otsus. Uang yang seharusnya bisa mengubah Aceh jadi daerah maju, malah menguap entah ke mana.

Faktanya?

Tingkat kemiskinan tetap tinggi, ekonomi lesu hanya bergantung pada belanja pemerintah, korupsi merajalela, pendidikan tertinggal dari provinsi lain.

Ketika rakyat bertanya “Ke mana uang itu?”, mereka tidak mendapat jawaban. Yang ada justru serangan moralitas berbasis agama:

“Jangan suuzan, kita harus husnuzan.”

“Rezeki sudah diatur oleh Allah, jangan terlalu memikirkan dunia.”

“Yang penting kita tetap menjalankan Syariat Islam.”

Ketika agama dijadikan tameng untuk menutupi ketidakmampuan dan korupsi, siapa yang berani melawan?

Brain Drain: Generasi Cerdas Pergi, Aceh Kehilangan Harapan

Setelah damai, Aceh mengirim ribuan anak muda berbakat ke luar negeri. Harapannya, mereka akan kembali dan membangun Aceh.

Tapi apa yang terjadi?

Sebagian besar memilih tinggal di luar negeri.

Mereka yang pulang malah dianggap terlalu liberal.

Birokrasi lebih menghargai loyalitas politik dibanding kompetensi.

Aceh kehilangan generasi emasnya. Yang tersisa adalah mereka yang tahu cara bermain dalam sistem, bukan mereka yang bisa membawa perubahan.

Apa Aceh Akan Terus Seperti Ini?

Selama kaum intelektual tersingkir dan narasi publik dikendalikan oleh kelompok konservatif, Aceh akan terus jalan di tempat.

Dana Otsus tidak akan bertahan selamanya. Aceh harus mulai membangun ekonomi yang berkelanjutan.

Saat ini, Aceh seperti kapal tanpa nahkoda. Narasi publik dikuasai kelompok yang lebih sibuk menghakimi moral orang lain dibanding membangun daerah.

Dan selama kondisi ini berlanjut, triliunan rupiah akan terus mengalir, tapi Aceh tetap tak akan ke mana-mana.

*Penulis adalah anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.