Jagong Jeget (Joget), Syari’at Diledek

oleh

Oleh Dr. Johansyah, MA*

Kemarin saya diledek salah seorang teman dari luar Aceh. Katanya; ‘rupanya di wilayah syari’at goyangnya juga jalan ya, hehe’. Saya tidak menjawab ledekan ini, hanya membalas dengan emoji senyum malu.

Ledekan ini terkait dengan kejadian yang kalau boleh saya sebu ‘tragedi syari’at’ pada Hari Ulang Tahun (HUT) Transmigrasi Jagong beberapa hari lalu yang kebetulan juga berdekatan dengan HUT Kota Takengon ke-448.

Sebuah acara hiburan yang menampilkan beberapa biduan wanita dengan mengenakan pakaian ketat tanpa jilbab.

Begitu beritanya beredar di media sosial, sontak saja menimbulkan banyak reaksi. Baik dari luar Aceh seperti ledakan tadi, maupun masyarakat Aceh, khususnya di Gayo yang umumnya mengecam dan menilainya tidak pantas.

Bagaimana pun Aceh adalah tanah Serambi Mekah sebagai wilayah yang menerapkan syari’at Islam. Tapi begitulah, peristiwa ini menjadi isyarat bahwa sesungguhnya syari’at Islam di Aceh, khususnya Gayo begitu rapuh.

Da’i muda Gayo Tengku Irwansyah (TIR) menyebut Jagong Jeget berubah menjadi Jagong Joget. Ini adalah kecelakaan moral yang patut kita sesalkan.

Pepatah mengatakan gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Dalam pepatah bahasa Gayo juga ada istilah, sara si mangan nangka, bewenne kona getah. Yakni disebabkan perilaku tidak pantas segelintir orang, nama baik kota Jagong dipelesetkan dan seperti tercoreng arang.

Sebab di balik ini semua, perlu kita ketahui bahwa sebenarnya perkembangan pendidikan keagamaan di Kecamatan Jagong itu juga cukup baik.

Pesantren Al-Huda misalnya, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Mereka mampu melahirkan Sumber Daya Insani (SDI) yang berkualitas.

Hal ini dibuktikan dalam kemampuan mereka bersaing pada even Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Kabupaten Aceh Tengah, terutama di bidang hifzil (menghafal) Qur’an, banyak santri dari sana yang memperoleh peringkat terbaik.

Bahkan diantara mereka ada yang menjadi delegasi Kafilah Aceh Tengah pada MTQ tingkat Provinsi Aceh. Tapi, semuanya seolah terhapus ketika video joget tadi viral di media sosial.

Akademisi Gayo, Dr. Joni, yang merupakan dosen Pascasarjana di INISNU Temanggung, memberikan tanggapannya pada rubrik opini Lintasgayo.co (17/02/25), bahwa dalam perspektif budaya Gayo, norma adat “Mukemel”, yang mengajarkan rasa malu jika tidak berbuat baik.

Perilaku berjoget tanpa jilbab di tempat umum dianggap tidak pantas dan bertentangan dengan norma-norma yang telah lama diajarkan. Hal ini jelas bertentangan dengan norma adat, dan yang pasti melanggar syari’at.

Dalam tulisan lain, Dr. Salman Yoga merespon peristiwa ini dalam satu tulisan bertajuk ‘Seni Erotis, Pornoaksi dan Pornografi (Bagian I)’ di Lintasgayo.co (18/02/25).

Dalam ulasannya dosen UIN Ar-Raniry ini menjelaskan aspek sejarah berkembangnya pornografi dan pornoaksi dalam peradaban manusia, disamping issue pornografi dan pornoaksi sendiri dalam ketatanegaraan sudah menjadi regulasi dan sudah dirumuskan sehingga menjadi sebuah Undang-Undang (UU).

Tulisan ini baru bagian pertamanya, tapi sekilas saya coba memahami ending dari uraian pada bagian selanjutnya nanti mengarah pada kesimpulan bahwa pada intinya kebebasan berekspresi itu harus terikat dengan nilai (value bond), tidak boleh bebas nilai (value free).

Kebebasan itu dibolehkan selama tidak merusak tatanan nilai dan berakibat buruk bagi kehidupan manusia.

Banyak Yang Tersembunyi

Kasus Jagong Jeget yang dinilai melanggar norma adat dan syari’at hanyalah salah satu bentuk pelanggaran yang tampak ke permukaan.

Di sisi lain, sebenarnya begitu banyak tragedi syari’at yang tersembunyi, dan kita semua mengetahuinya. Tentu saja, karena setiap perilaku penyimpangan dalam aspek apa pun dalam kehidupan, itu merupakan wujud nyata pelanggaran syari’at.

Maka inilah mungkin momen yang tepat untuk melihat secara jeli fenomena yang berkembang di sekitar kita.

Tidak usah jauh, adat Gayo saja yang notabene satu nafas dengan syari’at Islam, banyak yang sudah kita abaikan.

Kalau boleh ambil contoh terkait kebebasan dalam seni berekspresi, salah satunya adalah didong jalu.

Meski tidak semua, tapi banyak didong jalu yang ceh (vokalis)-nya saling membuka aib antara satu dengan yang lainnya. Penonton sama sekali tidak mempersoalkan, justru menyorakinya.

Kalau ada didong jalu yang tidak ‘saling serang’, penonton banyak yang bubar, karena menurut mereka tidak menarik. Apakah ini syar’i?

Masalah lainnya yang juga minim dari perhatian kita adalah Pre-wedding. Meski Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan fatwa bahwa hal tersebut melanggar syari’at.

Calon pengantin tidak boleh bersentuhan sebelum akad nikah karena mereka bukan mahram. Tapi seolah persetan dengan fatwa MPU, pre-wedding dengan saling bersentuhan begitu bebas dilakukan oleh calon pengantin meski tidak sesuai dengan tuntunan syari’at.

Saat ini juga pacuan kuda sedang berlangsung. Saya banyak mendengar cerita bahwa dalam even ini banyak praktik perjudian dan taruhan.

Jika kuda yang dipegangnya menang, maka lawan taruhannya harus menyerahkan sesuatu kepadanya sesuai kesepakatan. Demikian sebaliknya, kalau kalah, dialah yang harus menyerahkan sesuatu itu kepada lawan taruhannya.

Begitu banyak perilaku penyimpangan sosial di sekitar yang tidak mungkin diuraikan satu persatu dalam tulisan ini.

Kenakalan remaja yang terjebak pada beberapa perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas, tawuran, narkoba dan lain sebagainya adalah problematika sosial yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah. Belum lagi persoalan-persoalan di ranah struktural oleh aparatur Negara, yang salah satunya adalah perselingkuhan.

Jangan Sampai Terulang

Kita menghendaki kasus-kasus seperti ini jangan sampai terulang. Kita ingin masyarakat Gayo tetap menjaga marwah dan nama baiknya.

Demikian halnya Jagong Jeget sebagaimana yang ditegaskan oleh Kakankemenag Aceh Tengah, dirintis oleh para ulama yang pastinya menekankan pentingnya hidup berlandaskan syari’at. Jagong Jeget sejatinya menjadi Jagong zikir, bukan Jagong joget.

Benar adanya bahwa secara kelembagaan di Aceh telah berdiri Dinas Syari’at Islam, maupun Wilayatul Hisbah (WH). Di sisi lain, dari aspek yuridis kita juga telah memiliki qanun jinayat.

Tapi semua itu belum bisa menjadi jaminan bahwa syari’at Islam berjalan mulus. Dibutuhkan upaya sinergi dari semua pihak, termasuk aparat penegak hukum.

Terlebih soal pelanggaran syari’at, yang menjadi garda terdepan adalah penegak hukum karena mereka memiliki kewenangan dan perangkat yang memadai untuk melakukan itu.

Ke depan juga jajaran pemerintah daerah perlu memastikan setiap kegiatan itu harus memperhatikan aspek syar’inya. Seperti halnya HUT Jagong Jeget, silahkan mengundang penyanyi dari luar daerah, tapi harus ditekankan bahwa mereka harus mengenakan busana sesuai syari’at.

Kalau bisa panitia penyelengga harus membuat pernyataan dalam setiap kegiatan seperti ini bahwa mereka bersedia memenuhi ketentuan syari’at, dan jika melanggar maka bersedia menerima sanksi.

Di sisi lain, kita juga terus mendorong untuk setiap kampung agar dapat terus menyiapkan qanun kampung untuk memperkuat pelaksanaan syari’at dan adat. Bagaimana pun sempurnanya regulasi yang dibuat di tingkat kabupaten, eksekusinya tetap di kampung.

Oleh karena itu, regulasi di semua kampung harus kuat sehingga dapat dijadikan dasar untuk melarang atau mengizinkan sebuah aktivitas di kampung tersebut.

Terakhir kita berharap ada perubahan ke arah yang lebih baik untuk Gayo, terutama dalam upaya menegakkan syari’at.

Pidato Haili Yoga pada pelantikannya sebagai Bupati Aceh Tengah kemarin (18/02/25), yang menegaskan akan memulai pembangunan Aceh Tengah dari masjid diharapkan betul-betul membawa nuansa baru penegakan syari’at Islam di Aceh Tengah.

Negeri antara yang juga dijuluki negeri seribu aulia ini, sejatinya menjadikan nilai-nilai syari’at dan adat sebagai landasan dan mesin penggerak pembangunan.

Mari kita jadikan kasus Jagong Jeget sebagai pelajaran untuk membenahi Gayo menuju tanah beradat dan bersyari’at, sehingga tidak menjadi bahan ledekan lagi. Amin Ya Rabbal Alamin.

*Penulis adalah Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah.

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.