Melacak Jejak Sejarah, Tari Guel, dan Warisan Budaya Gayo
Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Pernahkah Anda mendengar nama Biram Sattani, gajah putih legendaris dari Linge yang dinobatkan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar?
Kisahnya penuh keagungan dan misteri, menjadi simbol kebesaran Kesultanan Aceh sekaligus titik awal tradisi Tari Guel, yang pertama kali ditarikan pada 10 Muharam 1548/1549. Kisah ini mengundang kita untuk menggali lebih dalam jejak budaya Gayo yang luar biasa.
Dalam sebuah percakapan di ruang kerjanya, Syukur Kobat, mantan Rektor Universitas Gajah Putih, bertanya, “Tahukah kamu nama asli Gajah Putih itu?” Saya menggeleng. Beliau menjawab dengan yakin, “Namanya Biram Sattani.”
Nama itu lama membekas, hingga akhirnya saya menemukannya dalam sebuah buku karya M. Junus Jamil, yang diterbitkan pada tahun 1958.
Tari Guel dan perjuangan Sengeda
Sebelum Iskandar Muda memimpin Kesultanan Aceh (1607–1636), Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar (1537–1571) menjadi figur yang memperkuat diplomasi Aceh, termasuk hubungan dengan Turki Utsmani.
Pada masa itu, pertemuan tahunan dengan raja-raja bawahan diadakan pada bulan Rabiul Awal. Dalam salah satu pertemuan tahun 1548/1549, Reje Linge ke-14 hadir bersama Cik Serule, yang ditemani seorang pemuda bernama Sengeda.
Sengeda adalah adik tiri Reje Linge ke-14, yang sebelumnya difitnah membunuh ayah mereka, Reje Linge ke-13.
Perintah hukuman mati untuk Sengeda dilaksanakan oleh Cik Serule, namun Cik Serule memilih menyembunyikannya. Bertahun-tahun Sengeda hidup dalam persembunyian, hingga ia dianggap anak angkat oleh Cik Serule.
Pada pertemuan tahunan itu, Sengeda mengukir gambar gajah putih pada daun upih betung, menarik perhatian putri Sultan. Ketika ditanya, ia menyebut itu adalah gajah putih dari Linge.
Putri Sultan kemudian meminta ayahnya untuk menangkap gajah itu. Sultan pun mengumumkan sayembara: barang siapa yang mampu membawa gajah putih ke Istana Darul Dunia akan diberi hadiah besar.
Semua pihak, termasuk Reje Linge ke-14, ikut berburu, namun tidak ada yang berhasil hingga hampir setahun berlalu.
Sengeda kemudian meminta izin Cik Serule untuk mengadakan kenduri dan doa di makam kakaknya, Bener Meriah, pada 10 Muharam.
Dalam suasana syahdu, Sengeda menari dengan iringan musik sedih yang dikenal sebagai Tari Guel. Tarian ini menggambarkan pengorbanan, keagungan, dan tuntutan keadilan.
Secara ajaib, gajah putih muncul dari hutan belantara dan mendekati Sengeda. Gajah itu jinak, namun menolak didekati oleh Reje Linge ke-14.
Upacara Penyerahan Gajah Putih
Sengeda membawa gajah putih itu ke Istana Darul Dunia. Upacara megah dipimpin oleh panglima pasukan gajah, Meugat Sookma Meureudam.
Gajah dihias dengan kain sutera berwarna kuning, bertepi biru, dengan rumbai-rumbai kuning tua, serta aksesoris emas dan permata di kepala dan belalainya.
Sengeda menyerahkan tali kendali gajah kepada Sultan di podium Tangga Kencana. Sultan memberi nama gajah itu Biram Sattani, lambang kebahagiaan.
Upacara berlanjut dengan arak-arakan keliling kota. Pawai terdiri dari barisan genderang dan serunai, pasukan berkuda dengan perhiasan emas, suasa, dan perak, serta pasukan gajah yang dihias megah.
Pusat perhatian adalah gajah putih Biram Sattani, diiringi oleh Sultan yang menaiki gajah besar lainnya. Rute pawai melewati jalan-jalan utama, termasuk Masjid Raya, Kampung Keudah, dan berakhir kembali di Keraton Darul Dunia.
Misteri Biram Sattani dan Tari Guel
Nama Biram Sattani akhirnya terkonfirmasi sebagai nama gajah putih legendaris dari Linge. Namun, banyak detail menarik yang masih menanti untuk diteliti lebih dalam, termasuk kronologi pasti peristiwa ini dan hubungan antara Tari Guel dengan sejarah Kesultanan Aceh.
Tari Guel, yang pertama kali ditarikan pada 10 Muharam 1548/1549, menjadi bagian dari ritual sakral yang melibatkan doa, seni, dan spiritualitas.
Kisah ini membuka peluang penelitian yang lebih luas, baik dalam bidang sejarah, antropologi, maupun seni budaya.
Bagaimana pengaruh tradisi ini terhadap perkembangan budaya Gayo? Apakah Tari Guel mengalami transformasi makna seiring waktu? Mari bersama menggali lebih dalam jejak warisan budaya yang luar biasa ini.
________________________________________
Dikutip dan disarikan dari buku “Gajah Putih Iskandar Muda” karya M. Junus Jamil (1958), terbitan Lembaga Kebudayaan Aceh, Kuta Radja.