(Catatan Akhir Pekan) ; Cegah “Malam Para Jahanam” Meneror Aceh Tengah

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

PADA 1965, Lurah Desa Winongo, sebuah kampung di Madiun, Jawa Timur, meninggal dunia secara tidak wajar. Di sekujur tubuh terdapat luka bekas bacokan. Sepertinya dibunuh. Namun pelakunya tidak dikenal.

Ketika jasad lurah dimandikan dalam bilik khusus, sekumpulan orang yang melayat saling curiga satu sama lain. Terutama dua kelompok yang berbeda idiologi; yaitu Kyai Malik sebagai tokoh agama dan Bachtiar yang keukeuh dengan ideologi komunisnya.

Mereka saling tatap penuh kecurigaan dan berbicara saling sindir. Di otak mereka, satu sama lain, saling tuduh. Masing-masing menganggap pihak lawan yang membunuh si lurah.

Dalam suasana tegang itu, tiba-tiba seseorang bertopeng kain sarung melempar obor ke rumah duka. Sontak suasana menjadi panik. Pelayat bingung dari mana asal lemparan obor itu. Tak lama, obor kedua dilemparkan.

Warga yang mengetahui asal lemparan obor itupun bergegas mengejar pelaku dan menangkapnya. Pelaku yang tak berdaya lantas diinterogasi. Tapi pelaku tidak mau menjawab apa pun. Bahtiar langsung menikam pelempar obor hingga tewas.

Saat itu suhu politik di Jakarta memanas. Imbasnya sampai ke Madiun. Kedua kelompok berbeda ideologi itu saling serang dan saling bunuh. Bahkan dalam tingkatan yang lebih parah. Malik dan Bahtiar serta puluhan pengikutnya mati.

Sebenarnya permusuhan yang berujung pada pembantaian itu tidak serta merta terjadi. Jauh sebelumnya seorang penyusup yang berpura-pura menjadi wartawan menghasut dua kelompok itu. Agar mudah diterima warga, si penyusup menikahi anak gadis Kyai Malik.

Penyusup juga membunuh kaki tangannya untuk menghapus jejak adu domba. Sehingga peristiwa berdarah di Desa Winongo tidak ada saksi dan tidak ada lagi orang yang bisa menceritakan latar belakang si penyusup yang sebenarnya.

Kisah itu dilukiskan dengan baik dalam film Malam Para Jahanam. Film yang disutradarai oleh Sugeng Wahyudi dan Indra Gunawan itu mengambil tempat gambar di Madiun dengan latar belakangan tahun 1965, seperti kejadian nyatanya.

Tulisan singkat ini tidak bermaksud bercerita tentang detail film bergenre horor yang tayang perdana di bioskop pada 7 Desember 2023 itu. Ini adalah peringatan kepada kita semua agar sesama warga, khususnya warga Aceh Tengah, bersikap waspada terhadap hasutan kelompok pengadu domba, seperti pesan moral dalam film itu.

Mirip Malam Para Jahanam, kisah penghasutan dan pembunuhan karena hasutan itu berulang kali terjadi di negeri kita. Berdasarkan pengalaman itu, sepatutnya segala potensi ancaman dari para penyusup ke negeri kita, dengan maksud mengadu domba, memecah belah, harus segera diantipasi.

Akhir-akhir ini, grafiti di tembok-tembok pembatas jalan yang bermaksud membuat perpecahan sudah meresahkan. Berpotensi memantik perpecahan antaranggota Forkopimda.

Seharusnya pemerintah, lewat Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia melakukan kanalisasi setiap gerakan kelompok. Ada kelompok sebatas proyek, ada kelompok ingin masuk ke dalam sistem. Sedangkan yang tidak masuk dalam kanalisasi besar kemungkinan penyusup dengan target lebih besar, biasanya mengorbankan jabatan dan mengancaman nyawa.

Penulis skenario dan sutradara merekam kenyataan sosial dan alam lewat film. Pasti ada pesan yang disampaikan lewat sinematografi. Sebagai penonton, kita harus bijak mengambil hikmah dari rangkaian cerita yang disuguhkan lewat gambar hidup itu. Dan Malam Para Jahanam adalah peringatan kepada kita agar tidak ada hantu penyusup di negeri kita.

(Mendale, Juli 5, 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.