Si Netuk “Koro Jamu” Akhire Nemeng Bebasahen

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Secara syariat roh manusia itu diciptakan. Tapi pada hakikatnya roh itu dibagikan. Artinya kita diadakan dari yang ada menjadi ada. Roh dari dirinya tajalli pada setiap manusia di bumi ini. Roh itu sendiri singkatan dari rasa, otak dan hayat.

Kejadian diri itulah, kita tidak boleh menanam kebencian. Pada intinya, membenci orang lain sama dengan membenci diri sendiri karena semua kita datang dan akan pulang ke sumber asal yang sama.

Orang-orang tua dulu menyebut asal usul kejadian manusia dengan istilah “diri terdiri” bisa diibaratkan kapas, kemudian kapas dipintal menjadi benang, jadilah “diri terperi”, lalu benang ditenun menjadi kain yang disebut “diri terpari”.

Setelah tiga tahapan kejadian diri menjadi sempurna, maka bentuk terima kasih kita kembali kepada darimana kita berasal, kepadanyalah kita berbakti. Kita lahir dari sebab bapak ibu, maka kita harus berbakti kepada mereka. Tuhan meniupkan roh kepada raga kita, karenanya kita beribadah kepada-Nya.

Faham tentang kerja diri, semesta dan Tuhan akan menutup bata-bata bangunan kebencian di antara kita. Kebencian yang menembus tembok diri akan menjadi akar masalah terjadinya kekacauan di dunia ini.

Kebencian itu sendiri lahir dari rasa paling berhak sebagai pemilik wilayah, jabatan dan seuatu lainnya. Sehingga menjustifikasi orang lain sebagai “koro jamu.” Sebuah istilah untuk pendatang yang menjadi pejabat di wilayah tengah.

Padahal jabatan, rezeki, kebahagiaan itu berlaku hukum tarik menarik. Setiap materi di dunia ini, termasuk kita adalah energi. Kalau tidak menjadi pejabat padahal sudah diperjuangkan setengah mati berarti kita belum menjadi magnet untuk semesta.

Tidak salah berjuang menjadi pejabat. Tapi jangan jadikan kepala bawahan sebagai tangga. Sinyal elektromagnetik yang dipancarkan melemah kalau kita menzalimi orang lain. Semesta tidak rela terhadap orang yang berbuat zalim.

Afirmasi, scripting dan visualisasi tidak cukup untuk menjadi magnet jabatan. Butuh sinyal kuat untuk menarik semesta mendukung cita-cita kita.

Sayangnya, ada orang kita, apapun yang dia makan, minumannya tetap menelan ludahnya sendiri. Dia selalu kampanye “koro jamu” tidak pantas menjadi pemimpin negeri ini. Tapi demi posisinya tidak tergeser, sekarang dia tidak malu, “nemeng bebasahan.”

(Mendale, Pebruari 28, 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.