Oleh : Salman Yoga S*
Pemaknaan umum yang kerap diterjemahkan dari kata “kearifan lokal” adalah “pandangan hidup” masyarakat yang ditransformasikan melalui berbagai bentuk dan jenis kreatifitas, salah satunya adalah melalui karya sastra baik lisan/verbal maupun tulisan yang teralihkan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal ini dapat ditilik dari isi cerita-cerita rakyat, peribasahasa, lagu, hingga permainan rakyat, ritus-ritus adat dan lain sebagainya.
Teknologi komunikasi dan informasi yang telah mencapai tingkat kebutuhan yang vital telah menempatkan sumber-sumber kearifan tersebut seperti tercerabut.
Eksistensi dan itensitasnya semakin langka kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam kaitan tentu ada unsur kebudayaan yang dapat mengumpulkan mereka dalam satu momen bersama dan menyatukan mereka dalam ekspresi sebagai potensi membangun karakter bangsa.
Melalui media inilah masyarakat saling berinteraksi dan saling berkomunikasi dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial.
Berbagai bentuk dan jenis tradisi masyarakat yang syarat dengan kearifan namun dalam perkembangan teknologi dan peradaban justru menjadi tidak arif.
Yang lebih parah sebahagiannya justru dilarang dengan konsekwensi hukum tertentu. Hal ini bukan saja berlaku pada beberapa ritual, norma tetapi juga pada bidang kuliner dan rempah-rempah.
Minsalnya, prodak hasil permentasi, ganja sebagai ramuan, terapi, bumbu dapur dan lain sebagainya.
Sastra (cerpen) sebagai sebuah genre yang menyimpan kearifan sekaligus menjadi media transformasi dalam buku ini diharapkan dapat menjadi perantaranya.
Mulai dari media komunikasi, media pendidikan massa, media kritik sosial, politik, ekonomi, budaya, agama bahkan sampai kepada persoalan-persoalan kemanusiaan, pertanian dan segala bentuk sumber penghidupan masyarakat hingga kepada persoalan rumah tangga.
Bagaimana tidak, segala sesuatu yang terjadi dan menjadi bagian dari dinamika masyarakatnya kerap ditumpahkan.
Baik yang terjadi dalam lingkup mereka sendiri sampai kepada hal-hal yang berpengaruh ditingkat regional, nasional dan internasional sekalipun melalui the unique simplicity of cultural expression dan aesthetic artistic appearance.
Jadi tidak heran jika kesenian secara lebih luas adalah satu-satunya media yang mampu mengendors hampir semua sisi adiluhungnya budaya dari segala perspektif.
Kesenian sebagai bagian dari unsur kebudayaan kerap dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui tingkat peradaban suatu komunitas sosial manusia, menjadi media terjadi dan terjalinnya interaksi serta transfer pemikiran, penanaman keyakinan, wawasan, pengaruh dan lain sebagainya yang bersifat memberi pemahaman dengan nilai estetika tersendiri.
Tujuh unsur kebudayaan yang antara lain terdiri dari 1). Sistem bahasa, 2). Sistem pengetahuan, 3). Sistem organisasi kemasyarakatan, 4). Sistem teknologi, 5). Sistem ekonomi, 6). Sistem religi dan, 7). Sistem kesenian.
Unsur terakhir berupa kesenian yang umunya berbasis pada syair, baik dalam bentuk teks maupun dalam bentuk lisan (folklore) dan nyanyian yang dimanfaatkan sebagai media ekspresi sekaligus media komunikasi dalam penyampaian pesan kepada publik.
Dalam Islam bentuk-bentuk ini sesungguhnya telah berkembang di dunia Arab sebelum agama Islam disyiarkan secara luas.
Pesan moral menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, mulai yang bersifat sosial, budaya, ilmu pengetahuan, informasi komunikasi, politik hingga menyangkut hal-hal yang bersifat ketuhanan.
Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo dalam buku yang ditulis Amri Jahi dengan judul “Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga” mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan, tulisan dan visual yang dikenal atau diakrabi masyarakat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar dan mendidik.
Menurut Nuruddin media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari kearifan lokal dengan memakai media tradisional.
Media tradisional sering disebut juga sebagai bentuk folklor. Seperti: 1. Cerita prosa rakyat, 2. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah), 3. Puisi rakyat, 4. Nyayian rakyat, 5. Gerak isyarat, 6. Alat bunyi-bunyian.
Sedang dalam pandangan Compton media-media tersebut mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya.
Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan.
Sebagian dari media ekspresi, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya.
Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak. Menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial.
Dalam kaitan ini dalam pandangan Yusuf Al-Qardlawy erat hubungannya dengan perasaan, hati serta pikiran. Namun ternyata hiburan dan seni inilah yang telah terkontaminasi oleh kemewahan hedonoisme dari pada sisi estetika dan lurus.
Pesan budaya dan muatan kearifan lokal yang berkaitan langsung dengan pikiran. Karena berasal dari pikiran dan perenungan yang diuji oleh waktu kemudian terwarisi menjadi bagian dari wawasan dan kekayaan batin dari satu generasi kegenerasi berikutnya yang lebih langsung dan dapat difahami dibandingkan penjelasan ilmiah semata.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan khusus tentang upaya dimaksud dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Adapun petikan dari Peraturan Menteri (Permen).
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelestarian Tradisi yang berisi tentang:
1. Pelestarian tradisi sebagai upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat pendukung kebudayaan yang penyebaran dan pewarisannya berlangsung secara turun-temurun.
2. Upaya perlindungan, pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan yang berkaitan dengan bidang tradisi berupa ide/gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat martabat serta hak budaya yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam.
3. Pengembangan adalah upaya dalam berkarya, yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan ide/gagasan, perilaku, dan karya budaya berupa perubahan, penambahan atau penggantian sesuai aturan dan norma yang berlaku pada komunitas pemiliknya tanpa mengorbankan orisinalitasnya.
4. Pemanfaatan sebagai upaya penggunaan karya budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan itu sendiri.
5. Meningkatkan peran aktif Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Pelestarian Tradisi.
6. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam pelestarian tradisi.
7. Memfasilitasi pelaksanaan pelestarian tradisi yang berkembang di tengah masyarakat; dan membantu penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pelestarian tradisi.
Peraturan Menteri (Permen) ini meliputi objek berupa: cerita rakyat yang disebarluaskan dan diwariskan secara lisan yang merupakan cerminan keperibadian dan karakter budaya, serta berfungsi sebagai pemelihara hubungan, ungkapan yang dapat difahami oleh para pemakainya secara lisan dimana terkandung nilai-nilai kehidupan dan pandangan hidup masyarakat.
Hal yang terpenting dalam kaitan ini adalah tanggungjawab dunia akademik pada pasal 6 ayat 2 yang menyatakan kegiatan pelestarian dengan upaya mencatat, menghimpun, mengolah dan menata sistem informasi serta melakukan pengkajian sebagai bagian dari nilai-nilai dalam membangun jati diri dan karakter bangsa. []
*Dipetik dari Buku “Cerita-Cerita Senja, Kumpulan Cerita Pendek Tentang Kearifan Lokal Karya Alumni MUNSI III”. Bandung: Siliwangi Berkah Abadi, 2023. Hal.ix-xiii.