Oleh : Win Ruhdi Bathin*
Petani Itu Adalah Dokter. Dokter bagi tanaman.
Setengah hari rasanya tak cukup bersama Aman Tauhid. Apalagi lelaki berputra tiga ini kemana-mana bawa parang yang terasah tajam.
Pakaiannya lusuh dan kotor, memakai sepatu boot. Membawa gunting kopi dan gergaji kecil. Terkadang membawa cangkul dan karung tempat buah-buah kopi merah.
Merengkuh asa dari usaha tani. Selalu bergelut dengan yang kotor-kotor. Betapa tidak, sepanjang hari dan tahun, Aman Tauhid mendedikasikan harinya, bersama tanah, daun, rumput dan pepohonan lainnya.
Aku menyebutnya lelaki hijau. Hijaunya lingkungan keluarga Aman Tauhid, bukan karena teori atau slogan serta kampanye lingkungan.
Mereka tidak pernah tahu teori penghijauan dan penyelamatan lingkungan dengan menanam pohon guna mengurangi resiko Global warming yang ditandai perubahan cuaca ekstrim.
Tapi keluarga hijau Aman Tauhid dan ratusan ribu penduduk Takengon serta Bener Meriah yang merupakan kawasan perkebunan kopi, selalu menanami lahan mereka, tak ada yang kosong atau tersisa dengan tumbuhan, kopi, naungan, sayuran, pohon buah dan penghijauan lain.
Hidup adalah menanam bumi untuk masa depan. Para petani kopi Gayo tidak pernah tahu teori daerah tangkapan air, evaporasi, rain fall dan sejuta teori lingkungan.
Tapi semua itu dilakukan keluarga petani kopi gayo termasuk eco farm, kopi organic, permakultur, deforestasi, dan lain-lain. Apa yang dilakukan Aman Tauhid dan ratusan ribu petani kopi di Dataran Tinggi Gayo, melakukan apa yang disebut kearifan local dalam praktek.
Meski banyak orang, kelompok orang atau pengusaha bahkan eksportir serta konsumen kopi dunia, memanfaatkan kearifan local ini untuk kepentingan keuntungan bagi mereka, umpamanya fee organic, rain forest hingga fair trade. Bagi petani, yang mereka kenal hanyalah kopi sebagai sumber ekonomi utama.
Kopi Diperlakukan layaknya mengasuh dan merawat dan memelihara anak sendiri . Tak kenal berbagai macam hal diluar itu. Cukup sederhana dan simple.
Aman Tauhid nama aslinya adalah Dirum Solahri. Berusia 35 tahun. Di budaya gayo, nama seseorang akan digantikan nama anak sulungnya.
Jika lelaki si anak sulung tersebut, Dirum Solahri bisa dipanggil Aman Win (Win=anak laki-laki) . Atau bisa lebih lengkap disapa Aman Tauhid. Jika anak sulunya perempuan, disapa dengan Aman Ipak .
“Kopi ini sudah berumur 20 tahun. Saya tanam sebelum menikah,” kata Aman Tauhid kepada saya. Kulitnya lebih legam karena dibakar matahari setiap hari.
Tangannya kasar dan tebal karena memegang parang dan cangkul setiap hari .Kopi yang ditanam Aman Tauhid jenisnya adalah Timortimur. Tampak terawat dengan baik. Dipangkas dan selalu mendapat perhatian dari serangan gulma. Dari kebun seluas delapan rante (satu rante 25 X25 meter), Aman tauhid menggantungkan hidup keluarganya.
Di Takengon dan Bener Meriah yang dikenal sentra kopi arabika terbesar di Asia, kopi arabika mendominasi lahan warga. Banyak varietas dari arabika Gayo, seperti Lini S (Jember), Ramung, Bergendal, Ateng Super, Ateng Jaluk, Ateng Janda, Borbo semuar, Timtim, Ateng Ilang Pucuk serta kopi kucak (Robusta).
Saat aku tiba ke rumah Aman Tauhid di Wihni Kuli Kecamatan Kebayakan, Aman Tauhid dan keluarganya baru makan pagi.
Keluarga Aman tauhdi duduk bersila bersama dua anak lelakinya di dapur rumahnya. Si sulung Tauhid, pelajar SMA kelas 1. Fadil , anak bungsunya pelajar kelas 3 SD. Sementara seorang anak perempuannya, Nurma berada di Bireuen di sebuah pasantren. Inen Tauhid membereskan bekas makan paginya.
Masih bisa kulihat Inen Tauhid membereskan legen, tempat membuat cecah (sambal) dari bahan Agur, dicampur terong kertop. Sayurnya tampak ludes, tarukni Jepang. Nikmatnya dalam hatiku.
Rumah Aman Tauhid dibangun senilai Rp.88 juta. Memiliki sebuah mobil jenis Carry seharga Rp 44 juta. “Semua ini saya peroleh dari hasil berkebun kopi dan hasil beternak sapi bali,” ujar Aman Tauhid.
Dilingkungannya, Aman Tauhid terbilang petani sukses karena ketekunannya berkebun dibandingkan para tetangganya. Aman Tauhid bekerja di kebun kopi seperti layaknya pegawai di perusahaan swasta tau negeri. Pergi pagi pulang senja hari.
Setelah anak-anak mereka berangkat, Aman Tauhid dan Inen Tauhid berangkat ke kebun. Sama halnya saat hari Minggu aku kesana. Inen Tauhid sama dengan Aman Tauhid. Memakai pakaian bekerja di kebun yang tampak berlepotan getah dan warna aslinya sudah kabur. Inen Tauhid, membawa parang, demikian juga Aman Tauhid, Tauhid dan si bungsu Fadil.
“Hari ini munebes (membabat rumput),” kata Inen Tauhid. Kebun keluarga Aman Tauhid tidak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar 300 meter lebih. Hanya saja lokasi kebun tersebut berada pada lahan miring yang dibawah 40 derajat kemiringannya.
Menempuh jalur ke kebun ini, diperlukan fisik yang prima dan ekstra hati-hati karena licin setelah hujan dan penuh bebatuan.
Setiap pagi, lokasi kebun keluarga Aman Tauhid disapa awan yang kerap turun dan melewati kebun-kebun kopi petani disana. Ini pula yang membuat rasa kopi dari petani kopi gayo menjadi specialty.
Apalagi beberapa kali tes cup di Indonesia, kopi arabika kerap mendapat angka tertinggi.
Kriteria kopi gayo specialty bukan dibuat –buat begitu saja. Tapi dilandasi dasar yang kuat dan ilmiah sebagai pendukungnya. Kopi specialty pertama sekali digunakan pada tahun 1974 oleh Erna Knutsen dalam jurnal perdagangan tentang The dan Kopi.
Knutsen memakai istilah specialty untuk menggambarkan biji dari rasa terbaik yang diproduksi secara khusus. Kata specialty yang dimiliki kopi arabika gayo, didasarkan pada argument lainnya. Seperti, disebutkan Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA). Kopi dengan skor 80 poin atau lebih pada skala poin 100 dinilai sebagai kopi specialty. Kopi specialty memiliki rasa yang khas dan unik.
Rasa ini dihasilkan dari kekhasan sifat karakteristik dan komposisi alam dimana kopi itu tumbuh. Rasa dan aroma ini seperti rasa yang komplek dan body yang kuat.
Cupping test diberbagai tempat regional Indonesia dan peserta asing di Takengon dan Bener Meriah, telah membuktikan rasa dan aroma kopi gayo.
Nama kopi gayo sudah mendunia. Trade mark kopi gayo dihasilkan karena kualitas dan spesipikasi wilayah geograpis yang menghasilkan mutu kopi terbaik di Asia.
Juga merupakan kawasan kebun kopi arabika paling luas di kawasan ini. Aman Tauhid memang menghasilkan kopi lebih banyak dari kebun tetangganya yang semuanya menanam kopi yang sama. Tetangga pekebun Aman Tauhid datang ke kebun tak serajin keluarga Aman tauhid.
Hal ini berpengaruh nyata dengan hasil panen kopi setiap tahunnya. Kebanyakan petani kopi gayo lemah di perawatan kopi. Kopi setelah ditanam, jarang dirawat. Seperti perawatan batang kopi dengan pemangkasan, pemanfaatan naungan, hingga menambahkan pupuk organic serta penyiangan rumput.
“kebanyakan petani datang ke kebun saat panen kopi saja tau menyiangi rumput tanpa perawatan lebih intensif,” jelas Aman Tauhid.
Akibatnya para tetangga Aman Tauhid harus mencari kerjaan tambahan selain menjadi petani kopi. Ada yang menjadi kuli bangunan, abang becak atau malah buruh tani.
Kedatanganku ke kebun Aman Tauhid karena aku ingin belajar berkebun kopi. Cekatan, tangan Aman Tauhid memotong cabang kopi yang dianggap tidak menghasilkan memakai gunting kopi.
Cabang yang agak besar dipotongnya dengan menggunakan gergaji kecil buatannya sendiri. Atau mengambil gulma diseputaran batang kopi.
Asap mengepul dari mulutnya. Dia merokok rokok kretek tanpa filter bermerek “angka’ yang harga perbungkusnya Rp.10.000,. Aman Tauhid memangkas kopinya dengan bagian atasnya lapang dari cabang dan daun.
Mirip kepala botak. Meski telah 20 tahun, Aman Tauhid belum mengganti kopi arabika varietas Timtimnya.
“Sayang kalau diganti karena masih menghasilkan”, ujar Aman Tauhid. Aku cemburu melihat kehidupan Aman Tauhid dan keluarganya. Mengisi hari dan waktu dengan menjadi dokter bagi tanaman. Sahabat kopi dan sayuran.
Anak istri Aman Tauhid juga sudah sepaham. Tiap hari sudah terjadwal menuju ke kebun dengan berbagai agenda kegiatan sesuai kebutuhan tanaman. Meski tak mampu menerangkan secara ilmiah, tapi menurut Aman Tauhid kopi-kopi secara psikologis mampu berbicara.
Setiap pertumbuhan dari kopi memunculkan bahasa yang harus dipahami. Tentang kekurangan unsure hara, tentang persaingan merebut sinar matahari atau persaingan dengan gulma. “Jika ada yang salah, kopi akan merajuk dengan tidak berbuah”, sebut Aman Tauhid.
Persoalan kopi lainnya menurut bapak petani ini, ditandai dengan perubahan warna pada daun kopi.
Meski begitu, Aman Tauhid lebih menyukai memakai pupuk organic bagi kopinya yang dihasilkan dari kotoran sapi miliknya.
“Kopi adalah mahluk hidup. Semakin sering kita bersentuhan dengan kopi, kopi akan semakin banyak menghasilkan.
Terjadi komunikasi secara tidak langsung”, papar Aman Tauhid kepadaku.
Aku tampak seperti orang bodoh dengan penjelasan ini. Di kebun, Aman Tauhid memiliki sebuah Jamur (rumah darurat) yang biasanya berukuran lebih kecil dari rumah tinggal.
Disini tersedia air yang bersumber dari air hujan atau dari sumber mata air. Tersedia juga sajadah dan kain sarung untuk shalat.
Meski tidak jauh letak kebun dari rumahnya, Aman Tauhid lebih suka membawa nasi dari rumah sehingga tidak repot lagi memasak di kebun. Hanya untuk kopi , Aman Tauhid dan keluarganya biasanya membuatnya di kebun.
Caranya, air dan kopi dimasak bersamaan menggunakan kayu bakar . setelah mendidih, kopi yang berbuih dan berwarna coklat kehitaman ini kemudian diberi gula. Ah nikmatnya.
Setengah hari rasanya tak cukup bersama keluarga Aman Tauhid. Begitu banyak kisah yang seharusnya ditulis, tapi kubiarkan tak kutulis dan hanya mengisi memoriku saja.
Tentang sebuah dunia yang indah dan dilakoni hampir dua ratusan ribu penduduk gayo. Sebuah dunia nyata dan bukan khayal.
Kopi-kopi yang dihasilkan petani gayo yang diakui dunia. Berasal dari hasil karya Aman Tahud salah satunya.
Secara tidak sengaja atau angsung, Aman Tauhid sesungguhnya sedang menyelamatkan bumi. Bersama ratusan ribu penduduk gayo yang berada di Dataran Tinggi di Aceh.
Dalam kawasan kebun kopinya, Aman Nuwin ini menanam aneka tumbuhan. Kopi, petai atau lamtoro, jeruk, alpukat, dan sejumlah hortikultura.
Meski lahannya miring, namun perkebunan kopi ini tidak pernah longsor. Ini mengindikasikan ekosistim kopi sangat terbukti menyelamatkan lingkungan.
Tanaman kopi memiliki tajuk batang yang berlapis. Kopi mampu melindungi tanah dari tetesan air hujan secara langsung, dan tentu hal itu mampu mencegah terjadinya erosi.
Menanam kopi sama halnya dengan menghutankan kembali lahan hutan yang ditebang. Hanya mengganti jenis pohonnya saja. Namun hasil dan efektipitasnya jauh lebih baik.
Ekosistim baru dimana lingkungan sehat dan hijau. Tapi bagi petani kopi mendapat penghargaan menyuburkan lingkungan berupa nilai ekonomi kopi yang tinggi.
Sebagai napas ekonomi. Itulah sebabnya petani kopi gayo menganggap pohon kopi seperti mahluk hidup. Bukan saja tanaman biasa. Pohon kopi, seperti anak sendiri. Dirawat dan dipelihara.
Adakah penyelamat lingkungan seperti Petani kopi di Gayo?
Sadaqallahuladzim
(Paya Tumpi 28 November 2023)