Nesu Neges (Genap Gere Genap, Pues Gere Pues)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

KALAU terjadi perang nuklir, katanya hanya kecoa yang bisa selamat. Hewan itu mempunyai toleransi tinggi terhadap radiasi. Begitupun kalau sudah mulai perang antikorupsi mungkin hanya satu orang yang selamat dari jerat hukum. Apakah “Si kecoa” itu orangnya?

Aceh Tengah dan Bener Meriah kini dalam keadaan darurat korupsi. Berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme terjadi. Penyeleweng uang negara dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mengalihkan dana umat hingga korupsi sistematis. Berita tentang itu menghiasi media online dan media sosial.

Korupsi pejabat mengaburkan mata masyarakat melalui praktik pencucian uang. Ada yang memanfaatkan uang hasil korupsi untuk membeli mobil yang disewakan untuk instansi di bawah kewenangannya. Ada pula yang mencuci uang lewat mesin bisnis jual beli kopi. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan uang hasil rampokan itu untuk membangun bisnis homestay yang kini menjamur.

Sementara yang terduga koruptor tanpa rasa malu melenggang kangkung di depan hidung masyarakat miskin yang jatahnya dikorup. Miris memang. Akses informasi masyarakat dibatasi terhadap hal-hal yang seharusnya dibuka untuk mempermudah pengawasan. Tinggallah masyarakat yang tidak punya cukup pengetahuan untuk melaporkan dugaan kejahatan rasuah itu.

Sulit mencari padanan kata korupsi dalam bahasa Gayo. Apakah sebab itu pejabat di negeri Malem Dewa ini merasa tidak bersalah melakukan muslihat itu. Apa mungkin mereka tidak ada “perasin kotek” atau sebutan negatif bagi penggelapan dana di negeri kita. Sehingga pejabat kita dengan mudah mengambil jalan pintas untuk memperoleh kekayaan.

Kita patut berterima kasih kepada Saudara Kamarudin, Aspala Banta Cut dan Karmiadi Arinos yang menyusun buku “Jirim Jisim; aneka sifat manusia dalam perspektif Gayo.” Ternyata padanan kata yang cocok untuk korupsi adalah “nesu neges”. Kata-kata itu merujuk pada prilaku dalam mencari rezeki; cukup tidak cukup, puas tidak puas. Akhirnya pelaku terjerat masalah hukum.

Istilah nesu neges sebutan bagi koruptor, menurut Kamarudin lahir dari kekeberen. Konon pada zaman dahulu kala ibunda dari eges akan pergi mencari rezeki, dia ditanya oleh seorang anaknya.

“Ine kusi male (ibu hendak ke mana)?”

“Ine male merah rejeki aku anaku (Ibu akan mencari rejeki, nak),” jawab ibu Eges meyakinkan anaknya.

“Oh, tir ulak ine boh (oh, cepat pulang ya ibu),” pinta si anak.

“Bohmi anaku, ike gere tuhi rantingni gelime, ike tuhi ranting kase gere ulak neh ine, anaku! (Baik anaku, mudah-mudahan ibu tidak tertimpa ranting jambu, kalau tertimpa ibu tidak kembali lagi, nak),” jawab ibunda eges dengan perasaan sedih.

Waktu demi waktu si anak menunggu, tapi ibunya tidak kunjung pulang. Ternyata apa yang dikhawatirkan terhadap ibunya terjadi. Si ibu tidak tertimpa ranting jambu, tapi kesambet ekor kerbau akibat keserakahanya.

Dia menghisap darah dari punggung kerbau. Padahal perutnya kekenyangan. Cukup tidak cukup, puas tidak puas, si ibu menghisap darah kerbau. Kerbau pun merasa gatal dan mengibaskan ekornya dan mengenai si ibu. Si ibu pun mati.

Semoga dengan adanya asal usul istilah “nesu neges” menjadi hikmah kepada kita bahwa tahanlah nafsu untuk keselamatan diri. Bahwa prilaku korupsi adalah perilaku binatang eges yang harus dihindari. Tak apa dapat sekadarnya, tapi kita selamat, daripada dapat banyak tapi berujung di penjara.

(Mendale, Oktober 23, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.