Entah Kenapa, Membaca Berawang Kenil, Teringat Subandi

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

ADA pameo: sejelek-jelek wartawan harus menjadi kawan, siapapun wartawan itu. Ada wartawan bodrex, wartawan tanpa suratkabar (WTS), buzzer, penarasi sesat atau wartawan medsos. Sangat disarankan agar mereka tidak dimusuhi.

Sesalah-salah dan sejahat-jahat mereka pasti ada benarnya. Ada kawan wartawan yang mengetahui jadwal pencairan dana BOS. Ketika waktunya tiba, mereka mendatangi setiap sekolah seolah-olah kepala sekolah telah menilap bantuan negara untuk sekolah itu.

Kita jangan berasumsi negatif dulu terhadap wartawan itu. Tanpa kehadiran mereka, semacam pengawasan melekat dari wartawan, bisa-bisa kepala sekolah bertindak sesuka hati menggunakan bantuan itu.

Tuhan melebihkan rata-rata isi otak wartawan. Kebenaran atau kitab suci tidak sampai kepada kita tanpa pewarta. Bahkan lestari dan kiamatnya negeri ini ada di tangan mereka. Wartawan itu biasa berkawan dengan seorang jongos di kantor, tapi mereka juga tidak kagok saat berhadapan dengan seorang presiden.

Terkait : No Perfect Crime di Berawang Kenil

Banyak orang besar lahir dengan bekerja sebagai wartawan, mengumpulkan wartawan, dan menjadikan profesi itu sebagai batu loncatan. Donald Trump dan Surya Paloh adalah contoh. Mereka membangun kerajaan bisnis berawal dari mengumpulkan para wartawan.

Di Aceh, banyak wartawan hebat meski tidak semua bisa menulis. Ada yang digunakan untuk melancarkan lobi, mungkin karena kemampuan wartawan itu di atas rata-rata. Subandi sangat faham kehebatan wartawan dan dia melakukan politik pecah belah ala Christiaan Snouck Hurgronje.

Dia mengutus seorang wartawan untuk menyempurnakan hasrat untuk mendapatkan posisi penting. Wartawan itu diperintahkan untuk membungkam wartawan dan media lain yang tidak mendukung usaha majikannya. Sangat ambisius memang.

Yah…soal ambisi jangan ditanya, itu sangat manusiawi. Yang namanya manusia, kalau dikasih satu gunung emas, pasti ingin dapat satu gunung emas lagi. Begitu seterusnya. Seperti menenggak air laut. Semakin banyak diminum, semakin kering kerongkongan.

Sejak gagal sebagai seorang penjabat bupati, Subandi mencoba mendaki gunung cita-cita. Kali ini dia berkolaborasi dengan seorang Ketua DPRK. Usaha yang pantas dicoba. Lantas dia mencoba kembali peruntungan. Mana tahu kali ini berhasil.

Terkait : (Catatan Akhir Pekan) ; Peluru Itu Bernama “Berawang Kenil”

Tentu saja, setiap orang berhak punya cita-cita. Tidak terkecuali menjadi seorang penjabat bupati. Tapi memobilisasi para pejabat ke Jakarta, itu adalah sebuah langkah yang cacat. Mereka berusaha meyakinkan pusat bahwa evaluasi triwulan Penjabat Bupati Teuku Mirzuan bernilai buruk.

Mereka berharap Mirzuan tidak diperpanjang lagi sebagai penjabat bupati pada 25 September 2023 ini. Usaha boleh saja, tapi etika juga tidak boleh luntur.

Rasa kecewa tidak menjadi penjabat bupati dilampiaskan Subandi dengan sering mangkir rapat. Pergi keluar daerah tanpa sepengetahuan dan persetujuan atasan. Bahkan mendorong kepala dinas untuk ikut-ikutan mangkir. Itu jelas tidak beretika.

Pada saat RS Datu Beru membludak pasien, justru Gusnarwin ikut dengan Subandy tanpa sepengetahuan PJ Mirzuan. Kadis kesehatan, Yunasri juga dijadwalkan berangkat, hari ini.

Sebagai pengetahuan bersama, TPA sebagai penjabat kepala daerah adalah pertimbangan BIN dan KPK. Semula intelijen negara sangat mendukung Subandi, namun beberapa hari terakhir keadaan berbalik. Dua lembaga itu mulai mendapati hal-hal tidak wajar terkait Subandi. Bahkan KPK juga menerima laporan berkaitan dengan Subandi.

Terakhir entah kenapa di pikiran saya, setiap kali mendengar ungkapan Berawang Kenil, saya teringat dengan Subandi Sebaliknya, ketika mendengar atau membaca nama Subandi saya teringat Berawang Kenil. Barangkali, itu panggilan suci dari Berawang Kenil. Mungkin.

(Mendale, September 23, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.