Uang Suami Untuk Istri dan Uang Istri Untuk Istri

oleh

Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*

Ungkapan “uang suami untuk istri dan uang istri untuk istri” bukanlah tidak mempunyai alasan logika yang mendasar, karena di dalam pemahaman fiqih (hukum Islam) para ulama berpendapat bahwa tanggungjawab nafkah mutlak berada di tangan laki-laki, baik laki-laki sebagai ayah, sebagai wali atau juga sebagai suami.

Bila perempuan berkedudukan sebagai anak maka tidak banyak pembahasan tentang harta, sebab anak yang berada di bawah perlindungan orang semua yang anak miliki adalah milik orang tua, terkecuali orang tua (ayah) meninggal dunia sebelum anak dilahirkan.

Ketika perempuan menjadi istri maka tanggungjawab yang sebelumnya berada pada ayah maka berpindah kepada suami, pada saat ini suamilah yang bertanggungjawab terhadap semua kebutuhan istri, tidak hanya kebutuhan nafkah tetapi juga kebutuhan istri terhadap pembantu rumah tangga yang akan mengurus seluruh kebutuhan istri menjadi tanggungjawab suami.

Artinya bila istri membutuhkan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan suami mempunyai kemampuan membayar upah (biaya) maka suami berkewajiban memnarikan pembantu untuk istri. Tetapi apabila suami tidak mempunyai kemampuan untuk membayar maka suami tidak berkewajiban.

Karena kuatnya perlindungan suami kepada istri dan tingginya kasing saying suami kepada istri dalam perkawinan, ulama fiqh menetapkan bahwa kebutuhan istri terhadap nafkah harus dipernuhi secara baik (ma’ruf) yakni disesuaikan dengan kebutuhan istri dengan tetap mempertimbangkan kemampuan suami.

Dalam fiqih Suafi’I disebutkan bila suami mempunyai kemampuan maka suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri setiap harinya sebanyak 2 (dua) mud, stndar beras 1 mudnya sebanyak 675 gram, dan apabila sumai mempunyai kemapuan sedang sebanyak 1,5 mud dan kalua suami tidak mempunyai kemampuan maka suami berkewajiban memberi sebanyak s mud.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, kewajiban secara makruf dimaknai dengan kemapuan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan ada yang berlaku di suatu tempat.

Di samping kebutuhan istri terhadap pembantu dan makanan ulama menyebutkan bahwa pakaian yang disiapkan oleh suami untuk istri sesuai dengan kebutuhan istri dan juga dengan pertimbangan kemampuann suami. Suami yang mempunyai kemampuan hendaknya membeli pakaian untuk istri sebanyak dua pasang dalam setahun dan bila tidak mempunyai kemampaun maka memadai dengan satu pasang.

Sedangkan untuk tempat tinggal tidak ada keharusan bagi suami untuk menyiapkannya karena istri akan tinggal bersama suami dimana suami bertempat tinggal.

Buku-buku atau kitab-kita fiqh ulama ditulis oleh para Fuqaha pada saat orang-orang hidup dalam masyarakat agraris, dimana pada masa ini orang yang bekerja mencari kehidupan atau memenuhi kebutuhan hidup sangat diperlukan orang-orang yang mempunyai kekuatan otot (fisik).

Potensi tersebut pada saat itu hanya dimiliki oleh laki-laki dan potensi ahliyah (kemampuan) yang dimiliki perempuan belum terlatih. Sehingga beban yang mampu ditanggung oleh perempuan hanya bersifat hak dan tidak adanya kewajiban.

Kendati masa berubah menjadi zaman industry (mesin) namun pola pikir yang dimiliki oleh masyarakat tetap belum berubah. Sebagai contoh apa yang menjadi focus kajian dalam tulisan ini.

Ketika perempuan tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dan potensi ahliyah mereka belum terlatih, pada saat itu perempuan sebagai istri menjadi tanggungan laki-laki sebagai suami secara penuh.

Ketika saat ini perempuan sebagai istri mempunyai kesempatan bekerja dan potensi (keahliyahan) mereka sudah terlati maka seharusnya perempuan sebagai istri dan laki-laki mempunya kahliyahan yang seimbang.
Arti keseimbangan dalam makna hukum Islam adalah keseimbangan dalam menanggung beban taklif dan beban hak dan kewajiban.

Selama ini seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama karena hanya laki-laki yang mempunyai potensi dan kesempatan dalam mencari harta maka tanggungjawab hanya berada di tangan laki-laki sebagai suami, namun pada masa sekarang dalam zaman industri dimana potensi yang dimiliki perempuan telah telah terlatih dan mempunyai kesempatan dalam berusaha seharusnya tanggungjawab juga menjadi seimbang, bahkan lebih dari itu ketika kesempatan hanya dimiliki perempuan dan tidak dimiliki oleh laki-laki maka beban dan tanggungjawab berada di tangan perempuan.

Dalam era kemajuan industri dan globalisasi dunia pada saat ini memberi ciri kepada pola pikir masyarakat bahwasanya tidak ada lagi yang nama dan perbedaan, tidak ada lagi batas yang membedakan antara tempat yang jauh dan tempat yang dekat, tidak ada batas yang membedakan antara lama dan sebentar.

Dalam bidang hukum Islam tidak ada pembatas antara keahliyahan laki-laki dan perempuan, semua menjadi sama. Pekerjaan yang selama ini hanya mampu dilakukan oleh laki-laki kini menjadi pekerjaan yang mudah bagi perempuan, nafkah yang selama ini menjadi nilai tawar lebih bagi laki-laki kini sudah menjadi nilai penyeimbang bagi perempaun.

Ketika beban taklif menjadi penyeimbang di dalam hidup berkeluarga, maka tidak ada lagi pembatasan kepemilikan dalam pemenuhan kebutuhan dalam keluarga.

Tidak ada lagi tanggungjawab mutlak pada laki-laki dan juga tidak ada lagi hak mutlak bagi istri, yang ada adalah sama-sama bertanggungjawab dan sama-sama berhak, sehingga melahirkan kesatuan dalam tangungjawab. Tujuan akhir tidak ada lagi alasan nafkah sebagai akasn terjadi perceraian.

*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.