Oleh : Yopi Ilhamsyah*
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Aceh mengeluarkan himbauan untuk siaga bencana Hidrometeorologi. Dalam keterangannya, BMKG Aceh menyebutkan bahwa sedang terjadi konvergensi di Selat Malaka yang berimbas terhadap intensitas hujan tinggi di pesisir utara dan timur Aceh.
Apa sebab munculnya konvergensi tersebut?
Setiap tahun di bulan Oktober, Provinsi Aceh memasuki musim peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan. Musim peralihan ini kita kenal dengan sebutan Pancaroba.
Pada musim Pancaroba ini, tekanan udara di Asia dan Australia menjadi seimbang. Akibatnya, sirkulasi udara secara horisontal melemah dan menjadi tidak menentu dalam gerakannya.
Beda halnya dengan gerak angin yang terjadi pada musim barat atau musim timur di Aceh. Gerak angin secara horisontal pada kedua musim ini dalam keadaan mantap.
Pada musim barat yang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus, suhu yang mendingin di Australia menciptakan wilayah bertekanan udara tinggi sebaliknya suhu yang memanas di Asia menciptakan tekanan rendah. Perbedaan tekanan ini mendorong massa udara di permukaan bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah, dari Australia menuju Asia.
Dalam perjalanannya ke Asia, seiring dengan bertambahnya lintang geografis Bumi menuju utara, angin mengalami pembelokan arah ketika melewati Khatulistiwa, tepatnya saat mencapai lepas pantai barat daya Aceh. Pembelokan angin ini dibangkitkan oleh gaya Coriolis, imbas perputaran Bumi pada sumbunya.
Demikian juga pada musim timur yang berlangsung dari bulan Desember hingga Februari. Pada periode ini, suhu yang mendingin di Asia menciptakan wilayah bertekanan tinggi sementara suhu yang memanas di Australia menciptakan wilayah bertekanan rendah. Ingat, angin adalah udara yang bergerak. Udara bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah. Dampaknya, angin bertiup dari Asia ke Australia. Dalam perjalanannya menuju selatan, angin berbelok arah di barat daya perairan Aceh. Penyebabnya sama, akibat Bumi berputar pada sumbunya, kondisi ini menimbulkan istilah “gaya” dalam dunia fisika yang dikenal dengan sebutan gaya Coriolis.
Nah, kembali lagi ke musim Pancaroba. Di Aceh, musim pancaroba berlangsung dua kali dalam setahun. Pancaroba pertama terjadi di bulan Maret dan April sementara pancaroba kedua terjadi pada bulan September dan Oktober.
Karena tekanan di Asia dan Australia menjadi seimbang. Kondisi ini mengakibatkan kecepatan angin secara horisontal melemah berikut juga dengan arah angin pada bulan Pancaroba yang bergerak tidak tentu arah.
Namun demikian, pada bulan-bulan Pancaroba, gerak udara secara vertikal menuju lapisan atas angkasa menjadi lebih dominan.
Ketika suhu memanas di permukaan, massa udara lembab hangat yang tidak rapat dengan cepat melayang ke angkasa. Di lapisan atas, massa udara hangat dan lembab menjadi jenuh untuk kemudian mengembun membentuk awan. Udara yang tidak stabil di lapisan atas diperkuat oleh dorongan vertikal, dengan cepat awan-awan ini berkumpul membentuk awan Kumulonimbus yang membumbung tinggi di angkasa. Sesaat kemudian hujan lebat dibarengi angin kencang turun di permukaan. Kondisi ini yang tengah melanda Aceh dan Indonesia. Sumber panas berasal dari permukaan laut yang menghangat di sekitar Indonesia yang meluas hingga barat daya Sumatera yang terhubung dengan Samudera Hindia.
Di Selat Malaka, gerak udara vertikal ini menguat akibat bertemunya angin darat yang datang dari pantai utara dan timur Aceh dengan angin darat yang berasal dari Semenanjung Malaya. Pertemuan kedua angin darat ini membangkitkan konvergensi atau gerak udara vertikal ke angkasa di Selat Malaka.
Tanda konvergensi ini kita dapat kita kenali dengan munculnya awan Kumulonimbus di sepanjang Selat Malaka. Kondisi ini yang penulis amati terjadi pada bulan Oktober ini melalui Citra Satelit.
Selat Malaka yang tertutup dengan awan Kumulonimbus dari barat laut hingga tenggara jika kita amati dari angkasa menyerupai suatu garis badai besar. Sebagaimana disampaikan di atas bahwa salah faktor pemicunya adalah angin darat yang datang dari pulau Sumatera bagian utara dan timur. Karena angin disebut dari arah datangnya, fenomena ini kemudian kita kenal dengan istilah “Badai Sumatera”. Istilah ini pertama sekali diperkenalkan oleh peneliti Belanda bernama Braak pada tahun 1921.
Dampak dari “Badai Sumatera” ini adalah turunnya hujan lebat pada pagi hingga siang hari di pantai utara dan timur Aceh.
Respons alam dari hutan rusak
Lantas mengapa curah hujan menjadi tinggi dan melanda hampir tiap tahun di pantai utara dan timur Aceh?
Hal ini terkait dengan respons dari alam. Ketika tutupan hutan sudah berkurang, kondisi ini berdampak terhadap perubahan tekanan di wilayah ini. Daerah gersang memantik suhu permukaan yang tinggi sehingga berdampak turunnya tekanan udara di daerah ini. Daerah dengan tutupan hutan minim menjadi pusat tekanan rendah. Akibatnya, massa udara di sekitarnya tertarik menuju pusat tekanan rendah. Ingat, udara bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Ketika “Badai Besar Sumatera” ini terbentuk di Selat Malaka. Wilayah dengan tutupan vegetasi hutan yang mulai berkurang yang kini telah beralih menjadi pusat tekanan udara rendah ibaratnya menjadi magnet yang kemudian menarik “Badai Sumatera” menuju wilayah ini. “Badai Sumatera” ini kemudian menggantung pada wilayah bertekanan udara rendah. Selanjutnya hujan dengan intensitas tinggi diikuti angin kencang menerpa permukaan wilayah ini.
Jika biasanya (normalnya), hujan akan reda pada siang hari. Namun seiring dengan tekanan udara yang terus menurun di wilayah minim vegetasi hutan. Maka, badai Sumatera ini akan terus menempel/menggantung di atas wilayah ini. Akibatnya, hujan dengan intensitas tinggi juga terus turun selama berhari-hari.
Ketika lingkungan hutan di hulu di pegunungan tengah Aceh telah mengalami degradasi parah tentu turut berimbas hingga ke hilir. Dampaknya, genangan yang meluas hingga menimbulkan banjir, ini-lah yang sedang kita alami di pantai utara dan timur Aceh.
Oleh karenanya, mari kita jaga dan kelola hutan kita. Hujan lebat yang turun berhari-hari berdampak banjir hampir di setiap tahun di pesisir timur Aceh sejatinya adalah respons dari alam akibat ulah kita yang tidak menjaga hutan yang telah diamanahkan oleh Allah SWT.
*Dosen Meteorologi Laut, Fakultas Kelautan dan Perikanan USK. Peneliti Sains Atmosfer Pusat Riset STEM USK