Kasus Johnny Depp vs Amber Heard Dalam Persepsi Falsafah Gayo

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Sekitar tahun 1998 di Iboih Sabang, saya berada di sebuah restoran berada di antara dua orang yang berdebat soal hukum dan perundang-undangan di negara-negara barat yang begitu keras melindungi hak perempuan.

Perdebatan ini terjadi antara perempuan paruh baya asal Italia dan seorang laki-laki berusia kurang lebih sama, asal Jerman.

Si laki-laki ini, merasa bahwa perlindungan yang diberikan hukum dan perundang-undangan barat dalam melindungi kaum perempuan sudah terlalu berlebihan.

Si perempuan Italia ini tentu saja tidak sepakat dan perdebatanpun berlangsung panas.

Perdebatan dalam bahasa Inggris dengan masing-masing logat khas ini begitu menarik sampai saya mengutipnya dalam novel saya “Romansa Gayo dan Bordeaux.”

Di hari lain saat kami sama-sama selesai snorkeling, si laki-laki Jerman ini menceritakan kalau dirinya adalah korban dari aturan itu, dia bercerai dengan istrinya, pengadilan memutuskan anak-anak tinggal bersama mantan istrinya tapi dia diwajibkan pengadilan untuk tetap memberi uang bulanan pada mereka.

Sialnya, meski wajib memberikan uang bulanan tanpa kecuali, pengadilan melarangnya bertemu anak-anaknya tanpa seizin mantan istri yang selalu mempersulitnya untuk bertemu anak-anaknya.

Situasi yang dialami oleh laki-laki Jerman ini tentu saja terjadi karena sebagaimana yang dia perdebatkan, hukum dan perundang-undangan di negara-negara barat, begitu ketat melindungi hak-hak perempuan.

Dalam banyak sisi, undang-undang seperti itu tentu saja baik, tapi di sisi lain kadang celah yang diberikan undang-undang itu kadang dimanfaatkan oleh sekalangan perempuan untuk menindas laki-laki. Mantan istri orang Jerman itu mungkin salah satunya.

Situasi seperti ini pernah digambarkan dalam serial televisi populer yang dibintangi oleh Blake Lively, istri dari bintang Green Lantern dan Deadpool, Ryan Reynolds yang ditayangkan stasiun televisi Amerika The CW.

Dalam serial itu digambarkan bagaimana seorang siswi mengancam seorang siswa laki-laki untuk memenuhi keinginannya, kalau tidak dia akan mengatakan dirinya sudah diperkosa, publik dan pengadilan pasti akan berpihak padanya.

Di dunia nyata, situasi seperti ini pernah dialami Mike Tyson, manusia terkuat di atas ring yang pernah ada, saat itu dia dilaporkan seorang perempuan yang mengaku telah diperkosa Tyson.

Meski banyak saksi yang melihat mereka masuk ke kamar hotel dalam posisi suka sama suka, pengadilan tetap lebih mempercayai si perempuan dan menghukum Tyson.

Terakhir yang 6 minggu terakhir menjadi perhatian masyarakat dunia melalui sidang pengadilan yang paling banyak ditonton orang sepanjang sejarah peradaban manusia.

Pengadilan yang digelar atas tuntutan Johnny Depp untuk mengembalikan nama baiknya yang hancur usai dirinya dilaporkan oleh mantan istrinya, perempuan cantik bernama Amber Heard yang mengaku disiksa oleh Johnny.

Akibatnya, Johnny dicap sebagai pelaku KDRT, yang berakibat reputasi hebat dan kerja kerasnya selama 30 tahun hancur seketika, karirnya berantakan karena perusahaan-perusahaan dan dunia hiburan melihatnya seperti orang berpenyakit menular, tak mau mendekat apalagi diajak bekerjasama.

Hasil dari proses peradilan yang panjang itu telah kita ketahui bersama, bahwa ternyata Johnny tidak bersalah, dan bahwa Amber lah orang jahatnya.

***

Persoalan-persolan seperti yang dialami Johnny, Tyson dan orang Jerman yang saya temui di Sabang ini tidaklah terjadi dengan tiba-tiba.

Semua ini terjadi, sebenarnya berawal dari sebuah niat baik, yang diejawantahkan dalam usaha terus-menerus manusia untuk melindungi hak-hak perempuan yang menurut berbagai catatan dimulai sejak manusia mengenal peternakan dan laki-laki menjadi sosok dominan dan mendominasi nilai-nilai di masyarakat, setelah sebelumnya dikuasai perempuan sebagaimana masih kita lihat dalam beberapa kultur seperti di masyarakat Minang dan beberapa suku di kepulauan timur Indonesia.

Di masyarakat barat sendiri, persoalan tentang hak-hak perempuan ini mulai mengemuka dan menjadi pembicaraan publik sejak revolusi di Inggris ketika perempuan yang biasanya dipekerjakan di lahan-lahan pertanian mulai banyak yang kehilangan pekerjaan seiring dengan mekanisasi pertanian dan pabrik-pabrik yang mulai bermunculan lebih suka mempekerjakan laki-laki.

Di masa inilah, muncul tokoh perempuan bernama Mary Wolstonecraft yang sampai sekarang dipandang sebagai peletak batu pondasi gerakan feminisme dalam masyarakat barat.

Apa yang diperjuangkan Mary Wolstonecraft sebenarnya sederhana, perempuan juga mendapat hak yang setara dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan.

Guncangan yang dibuat Mary Wolstonecraft memang akhirnya sampai ke parlemen di Inggris dan perempuan mulai mendapat beberapa hak yang selama itu hanya dinikmati laki-laki.

Selanjutnya gerakan feminisme berkembang, bukan hanya di Inggris tapi juga di Amerika, negara-negara eropa lain beserta negara jajahannya termasuk Indonesia yang mana kita mengenal sosok Kartini.

Para tokoh feminisme di berbagai negara itu merumuskan persoalan perempuan di tempat masing-masing dan memperjuangkan haknya.

Tokoh-tokoh ini sebut saja Kartini di Jawa yang menggugat ketidakadilan yang dihadapi kaum perempuan yang tak boleh bersekolah tinggi dan tak bisa menjabat jabatan publik meski secara keahlian mereka lebih mampu dari laki-laki.

Lalu di abad ke-20 ada Betty Friedan di Amerika yang melalui bukunya “The Feminine Mystique” memotret persoalan para perempuan yang tinggal di daerah sub urban yang setiap hari ditinggal suami bekerja di kota. Yang menua dengan menyia-nyiakan potensi diri, dengan intelegensia yang terbuang percuma karena tak termanfaatkan secara optimal.

Suara dari kaum perempuan ini memiliki gaung yang kencang dan pembuat undang-undang pun mulai mengakomodir apa yang memang seharusnya menjadi hak perempuan.

Tapi galibnya manusia, ketika apa yang diperjuangkan sudah berhasil, rasanya tetap tidak cukup dan gerakan feminisme pun bergerak ke arah yang lebih ekstrim.

Dari sebelumnya perjuangan untuk kesamaan hak dalam berpartisipasi dalam kehidupan sosial, feminisme mulai menyentuh hal-hal bersifat pribadi dengan kemunculan tokoh-tokoh seperti, Naomi Wolf dan Kate Fillion yang mulai menyuarakan revolusi seksual yang mereka pandang belum cukup bebas karena perempuan yang mengajak laki-laki berhubungan seksual masih dipandang rendah di masyarakat. Mereka juga merayakan dilegalkannya aborsi.

Kemudian muncul Susan Faludi dan Marylin French yang sebagaimana pendahulunya Simone de Beauvoir yang menolak lembaga perkawinan menyatakan kalau kehidupan rumah tangga merupakan ancaman terhadap kebahagiaan perempuan.

Sesuatu yang awalnya baik, menjadi masalah ketika sudah berlebihan.

Situasi berlebihan ini kalau kita perhatikan adalah sesuatu yang dihindari dalam kebudayaan timur. Misalnya di Cina kita mengenal konsep Tao yang mengutamakan keseimbangan, konsep yang sama juga kita temukan dalam falsafah Jawa dan Bali.

Gayo, juga sama.

Sebagai orang Gayo, kita mengenal akhiran “tu” yang pelafalannya sama dengan kata bahasa Inggris “too” yang artinya “berlebihan” sebagaimana lagu yang dinyanyikan oleh gitaris Queen Bryan May pasca meninggalnya Freddie Mercury “Too much loves will kill you.”

Akhiran “tu” dalam bahasa Gayo membuat semua kelebihan, keindahan, kehebatan dan keunggulan berubah menjadi negatif.

Korong tak lagi nikmat ketika mujadi “korongtu,” “lungi” tak lagi sedap ketika telah menjadi “lungitu” bahkan “belangi” menjadi tak lagi indah setelah menjadi “belangitu” dan “jeroh” tak lagi baik ketika menjadi “jerohtu”

Begitulah saya melihat situasi feminisme di barat saat ini, situasinya yang sebenarnya sudah “jeroh olok” untuk perempuan sekarang sudah menjadi “oloktu”

Disadari atau tidak, inilah yang dirayakan banyak orang dengan kemenangan Johnny Depp, apa yang sudah “oloktu” ini dengan kemenangan Johnny Depp dapat kembali menjadi cukup “jeroh olok”

Inilah yang membuat bukan hanya laki-laki, bahkan perempuan dan banyak pejuang hak perempuan pun merayakan kemenangan sang kapten Jack Sparrow.

Kalau sebelumnya Amber Heard dilihat sebagai simbol keberanian perempuan menyuarakan penderitaan, sekarang dia malah dilihat sebagai sosok yang membuat gerakan perjuangan hak perempuan mengalami degradasi.

Sebab pada akhirnya, perjuangan atas diakuinya hak bukanlah perjuangan untuk balik mendominasi, tapi sebagai perjuangan untuk mendapatkan equilibrium alias keseimbangan.

Dan untuk ini, kembali ke Gayo, berbanding terbalik dengan di barat, di Gayo harus kita akui, bicara soal hak-hak perempuan dalam soal kesetaraan, kita masih dalam posisi “kurangtu”. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.