Ramalan Tengku Haji Gegarang

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

H. Meden Bin Seben berasal dari Kampung Toweren adalah orang yang pertama membangun Kampung Gegarang, sehingga beliau dijuluki Tengku Haji Gegarang.

Gelar “Tengku Haji” melekat padanya karena akhlaknya yang tinggi dan pengetahuan bidang agama yang luas, serta beliau salah satu dari sedikit orang yang pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji ditempuh dengan kapal laut pada masa silam.

Tengku Haji Gegarang hanya dua bersaudara; bersama Sema Inen Dali binti Seben. Ayahnya Seben dikenal dengan panggilan “Guru Kampung” atau tabib untuk penyembuhan dari penyakit medis maupun non medis.

Di samping gelar “Tengku Haji”, beliau juga dipanggil sebagai “Haji Gegep” karena keseharian kalau berbicara gagap, tetapi kalau sedang mengajar mengaji dan berkhotbah lidahnya sangat lancar.

Pernikahannya dengan istrinya Semog Binti Adam tidak beroleh keturunan. Mereka mengangkat anak adiknya Sulaiman bin Ahmad sebagai anak, yang melahirkan anak cucu, termasuk mantan Gubernur GAM Wilayah Linge, Tengku Husni Jalil.

Sejak muda, hidupnya tidak saja gemar melaksanakan ibadah ritual, tetapi juga senang dengan ibadah sosial dan spiritual. Dalam hal kemampuan mengaji dan dakwah sudah setara dengan ulama, tetapi beliau tidak ingin memformalkannya agar tidak dikultuskan.

Selalu mempermudah kesulitan orang sebagai ibadah sosialnya. Pada tempat-tempat pemberhentian beliau bangun “doyah” atau dangau untuk tempat melepas lelah sepulang dari kebun atau untuk shalat.

Di samping mengisi pengajian, beliau juga sebagai nelayan di Lut Tawar dan hasilnya dijual kepada pedagang ikan atau moge. Para moge itu menakar sendiri ikan tangkapan Tengku Haji Gegarang dan tidak menetapkan harganya.

Hanya saja bagi moge yang berbohong akan mendapat sial sendiri. Walau pun dibohongi, beliau tidak pernah mempersoalkannya. Beliau selalu bersikap baik dan ramah kepada moge itu.

Pengajaran Tengku Haji Gegarang menjaga kesucian tempat, pakaian dan makanan. Dengan hal itu, energi positif akan menyerap ke dalam diri. Baginya do’a yang tertinggi adalah berbuat baik.

Pada masa perjuangan DI/TII; beliau pernah tidur di rumah tokoh DI asal Toweren bernama Abdul Muthalib yang ikut bersama Tengku Ilyas Leube. Beliau ditangkap dan disiksa oleh Mobrig (sekarang Brimob) karena menuduhnya sebagai orang yang bernama Abdul Muthalib.

Pasukan mobrig tidak saja menyiksanya, tetapi juga menembakinya. Setelah mereka yakin Tengku Haji Gegarang wafat, lalu meninggalkannya di dalam sebuah got.

Belum jauh pasukan Mobrig pergi, beliau bangkit dari got dan ternyata masih segar bugar. Tidak ada cedera pada tubuhnya, kecuali pakaiannya yang kotor oleh air comberan.

Banyak orang bertanya apa yang membuat gerangan selamat dan tidak terluka sedikitpun?

“Kalau dipukul dengan senjata, makrifatkan dalam hati bahwa kita anak senjata itu, kalau ditembak sebutkan dalam hati, kita ibu dari peluru itu. Mana mungkin anak dan ibu saling menyakiti atau saling membunuh” demikian jawab Tengku Haji Gegarang logis.

Kesucian hatinya dan selalu berbuat baik membuatnya keramat atau mulia di sisi Allah dan manusia. Selalu “bertazkiatun nafsi” sehingga Allah SWT melebihkan derajatnya dengan kemampuan meramal atau memprediksi masa depan. Bahkan sebelum terjadi gempa beliau sudah memberi tahu kepada orang-orang agar waspada dan selamat dari bencana alam itu.

Pada tahun 1957 beberapa ramalan Tengku Haji Gegarang; pertama, kalau daerah Paya Ilang sudah berdiri bangunan, air di Aceh Tengah berangsur kering. Pada akhirnya nanti tinggal daerah Jagong dan Wih Tenang yang masih punya sumber air. Padahal waktu itu belum ada nama kedua kampung itu.

Sejalan dengan itu, kelak akan ada peraturan yang akibatnya murid tidak segan kepada guru dan anak bisa menuntut orang tuanya ke pengadilan.

Kedua, sekarang sangkar dari batang “sange” tetapi burung tekukur bersuara merdu, kelak nanti burung tekukur berada pada sangkar emas, tetapi suaranya tidak merdu lagi.

Pernyataan tersebut bisa diartikan orang berpakaian mewah, tetapi akhlaknya tidak baik atau orang tinggal di rumah-rumah mewah tetapi masih mengeluhkan keadaan mereka.

Ketiga, kalau orang sudah membangun rumah di sisi Danau Lut Tawar antara Kampung Bom dan Kebayakan (Jalan Lintang sekarang) serta burung bagau sudah mulai pindah, maka pada saat itu, kehidupan orang tidak lagi peduli dengan nasib tetangganya dan kehidupan mereka sudah seperti kerbau (sambil menunjuk se-ekor kerbau yang sedang berkubang).

Ke-empat, kalau sudah ada jalan tembus Lhokseumawe ke Takengon, maka tidak lama akan ada peristiwa menakutkan. Orang-orang meninggalkan rumahnya untuk sembunyi. Bahkan lari jauh untuk menghindar dari rasa takut.

(Mendale, 13 September 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.