Oleh : Johansyah*
Murah senyum, penyabar bersahaja, dan memotivasi yang muda, itulah sosok Ama Tgk. M. Isa Umar, S.Ag. Semasa kecil orangtua juga pernah bercerita tentang beliau sebagai salah satu sosok qari Gayo yang hebat. Beliau termasuk qari pioner di dataran tinggi Gayo bersama Ama Tgk. H. Ramli Aman Tawardi.
Usia keduanya pun tidak jauh terpaut.
Pertemuan dengan beliau yakni usai studi S1 di IAIN Banda Aceh (saat ini UIN), saat saya mengabdikan diri di STAI Gajah Putih Takengon (sekarang IAIN Takengon) pada tahun 2003.
Saat itu beliau mengampu mata kuliah Tafsir, dan saya sendiri mengampu mata kuliah Bahasa Arab. Di semester selanjutnya, beliau meminta saya untuk membantunya mengampu mata kuliah tersebut karena ada beberapa ruang yang beliau pegang.
Saya sendiri sangat senang karena dipercaya mengampu mata kuliah yang dipegangnya. Semenjak itu, kami sering bertemu dan membahas berbagai hal.Interaksi yang cukup inten dan rutin dengan beliau adalah dalam aktivitas permusabaqahan.
Pada tahun 2003 saya mulai aktif menjadi peserta MTQ tingkat provinsi Aceh, cabang khattil qur’an bersama kanda Herman Luthfi, S.Ag dan kanda Ikmal, S.Pd.I. Waktu itu MTQ provinsi diselenggarakan di Kabupaten Singkil, sehingga otomatis bergabung dengan beliau yang posisinya waktu itu adalah official bidang tilawah, dan bidang khat sendiri ditangani oleh Ama Drs. Alwi Umar.
Demikian pula pada MTQ Provinsi tahun 2005 di kota Langsa, MTQ provinsi tahun 2007 di kabupaten Bireuen. Kami masih berada dalam satu kafilah. Kecuali pada tahun 2009, waktu itu saya menjadi peserta qiraat sab’ah dari kabupaten Gayo Lues.
Saya masih ingat, kebetulan ada sebuah acara di pesantren Quba Bebesen, dan beliau berada di sana. Beliau tanya tentang keikutsertaan saya kabarnya mewakili Gayo Lues. Saya pun mengatakan bahwa hal tersebut benar.
Beliau sama sekali tidak mengkritisi atau menunjukkan sikap kurang setuju, malah sebaliknya menyemangati saya. Kata beliau, sama saja yang penting niatkan sebagai ibadah, bukan karena yang lain.
Pada MTQ provinsi 2011 di Tamiang dan MTQ provinsi 2013 di Subulussalam saya absen karena sedang fokus pada studi S3 di UIN Ar-Raniry. Tapi sesekali ada juga bertemu dengan beliau. Biasanya kalau sudah jumpa beliau selalu katakan; ‘saya baca tulisan ananda di Serambi Indonesia kemarin’.
Memang waktu itu cukup aktif juga menulis di koran ini dan rupanya beliau selalu membaca tulisan saya. Hingga pesan beliau yang selalu saya ingat; ‘jangan berhenti menulis’, kata beliau.
Pada tahun 2014, yakni MTQ kabupaten Aceh Tengah di kecamatan Celala, saya bergabung kembali dengan beliau. Kali ini saya tidak lagi menjadi peserta, tetapi menjadi dewan hakim bidang Menulis Makalah Ilmiah Al-Qur’an (M2IQ) bersama kanda Walid, S.Ag, M.Pd, Drs. Zulfan, MM, dan Sodikin, MA.
Beliau sendiri memang sudah dari dulunya di bidang tilawah dan qiraah sab’ah. Adapun pada MTQ tingkat kabupaten Aceh Tengah tahun 2016 di kecamatan Ketol, saya dipercaya sebagai dewan Hakim dan satu bidang dengan beliau, yakni bidang tilawah.
Setelah menyelesaikan studi S3, pertemuan dengan beliau termasuk juga sering, terutama pada tahun 2017 setelah aktif di Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah. Apalagi kemudian saya ditempatkan di bidang dakwah dan peribadatan yang salah satunya membidangi masalah permusabaqahan sehingga sering bertemu dengan beliau.
Kalau sebelumnya pertemuan dengan beliau saat menjadi peserta maupun dewan hakim, kali ini posisi saya adalah sebagai pengelola kegiatan maupun panitia. Baik di MTQ kabupaten Aceh Tengah tahun 2018 di Pegasing, di MTQ Keluarga, maupun pada MTQ tingkat provinsi Aceh di Kabupaten Pidie pada tahun 2019. Inilah momen kebersamaan terakhir kalinya dengan beliau pada even MTQ tingkat provinsi Aceh.
Secara keorganisasian, saya juga sering berinteraksi dengan beliau terutama ketika dipercaya sebagai ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Takengon (STIT Al-Washliyah Aceh Tengah). Posisi beliau adalah penasehat Pengurus Daerah (PD) Al-Washliyah Aceh Tengah.
Kegiatan jenis apa pun itu yang di adakan di Al-Washliyah (Jamek), beliau senantiasa hadir bersama Ketua PD Al-Washliyah Aceh Tengah Drs. Amri Jalaluddin.
Terakhir, beliau berkunjung ke Al-Washliyah yakni pada acara maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh MIS Al-Washliyah lebih kurang dua bulan yang lalu. Waktu itu beliau diberikan kesempatan untuk bercerita tentang sejarah perjalanan Al-Washliyah Aceh Tengah. Tanpa sengaja juga, saya merekam pembicaraannya saat itu.
Beliau bercerita tentang banyak hal tentang Al-Washliyah di Aceh Tengah dan keterlibatannya di organisasi ini. Seingat saya, itulah pertemuan terakhir dengan beliau, sebelum pada akhirnya kami melihat berita duka cita dari keponakannya Yusradi Usman Al-Gayoni di lini masa facebooknya bahwa Ama Tgk. M. Isa Umar berpulang.
Kepergian beliau adalah kehilangan dan duka yang mendalam bagi masyarakat Aceh, Gayo pada khususnya. Bagaimana pun beliau adalah salah satu sosok ulama teladan yang patut ditiru. Beliau bukanlah tipe orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain.
Jika pun mengkritisi, caranya sangat halus sehingga tidak menyinggung perasaan. Ketika berjumpa, ceritanya pasti tentang seputar permusabaqahan, pendidikan, masa depan Gayo, dan hal-hal positif lainnya. Tentu saja, sikap dan perilaku beliau yang tidak pernah membuat orang lain tersinggung apalagi marah, pantas untuk diteladani.
Di samping itu, beliau juga dikenal sebagai sosok mediator yang mampu mendamaikan secara sejuk pihak-pihak yang bertikai karena berbagai pesoalan.
Posisi beliau yang menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tengah untuk kedua kalinya pada awal tahun 2021 ini mengisyaratkan bahwa beliau adalah sosok yang masih dipercaya mampu membawa salah satu lembaga keistimewaan Aceh ini ke arah yang lebih baik. Tapi Allah SWT berkehendak lain. Belum genap menjabat dua bulan, beliau telah dipanggil oleh Allah SWT.
Pesan lain beliau yang masih saya ingat juga, dan hampir di setiap kali pertemuan beliau mengatakannya; ‘jangan tanyakan apa yang Al-Washliyah berikan kepadamu, tapi bertanyanyalah pada diri kamu, apa yang kamu dapat berikan kepada al-Washliyah’. Intinya beliau menekankan bertapa pentingnya pengabdian di mana pun kita berada.
Sudah tiada baru terasa. Inilah yang terlintas dalam benak kita. Padahal beberapa minggu sebelum kepergian beliau, saya memang berencana bertemu. Tujuannya tentu saja bersilaturrahmi, dan selanjutnya kebetulan mau berbincang-bincang dengan beliau terkait salah seorang tokoh yang saya rencanakan menulis biografinya, yakni Tgk Saleh Adri.
Sebab pada saat pertemuan terakhir di Al-Washliyah beliau sempat bercerita sedikit tentang kiprah Tgk. Saleh Adri di Al-Washliyah.
Satu hal yang membuat kita sedih; ketika kehilangan pejabat, begitu banyak yang antri dan siap menjadi pengganti.
Namun ketika kehilangan seorang ulama, umat inilah yang antri, menunggu sosok yang hadir menjadi pengganti, dan itu sulit sekali. Akhirnya, Selamat jalan Ama, Insya Allah surga menantimu. Amin Ya Rabbal Alamin.
*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah