Mengenang 26 Desember 2004 ; Ketika Manusia, Lintas Agama, Etnis dan Bangsa Bersatu Atas Nama Kemanusiaan

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

26 Desember 2004, saya masih dalam suasana bahagia atas kelahiran anak pertama saya yang lahir 19 hari sebelumnya. Waktu itu saya, istri dan bayi kami yang baru lahir baru saja pindah dari kamar kost ke rumah yang kami sewa di Pemogan Denpasar Selatan.

Rumah yang baru kami sewa benar-benar kosong, prioritas pertama kami waktu itu membeli perlengkapan tidur, kami belum punya televisi, internet juga belum seperti sekarang, ada dalam genggaman dan wifi di mana-mana. Waktu itu, kalau mau menikmati internet, kami harus pergi ke warnet.

Dari tetangga yang punya televisi, kami mendapat kabar kalau Aceh dilanda gempa dan tsunami. Saya kaget dan berdoa, semoga keluarga dan teman-teman yang ada di sana tidak mendapat celaka. Saya sama sekali tidak pernah membayangkan sebesar apa skala bencananya.

Baru keesokan harinya, ketika saya membaca koran, saya kaget melihat foto-foto di koran, ternyata skala bencananya besar luar biasa. Saya menelpon keluarga di Takengen, mereka kabarkan Banda Aceh tak bisa dihubungi. Saya langsung terbayang, teman-teman di Banda Aceh, anak-anak Leuser dan juga kerabat serta teman-teman di Lamprit. Bagaimana keadaan mereka.

Apa yang terjadi dengan Meulaboh, Tapak Tuan, Blang Pidie dan tentu saja Simeulue yang paling dekat dengan titik episentrum gempa. Semua tempat itu sudah pernah saya kunjungi dan punya beberapa teman yang tinggal di sana. Tak ada berita, yang ada hanya rasa cemas dan berdoa untuk keselamatan semua orang yang saya kenal.

Beberapa hari kemudian, mulailah beredar foto-foto dan gambar video amatir tentang kedahsyatan tsunami. Barulah pada saat itu saya sadar, sebesar apa skala bencana ini. Belakangan barulah dunia sadar kalau bencana yang terjadi di Aceh, dilihat dari segi jumlah korban, adalah bencana alam terbesar dan terburuk sepanjang sejarah peradaban manusia modern.

Di Bali, di provinsi yang mayoritas penduduknya beragama hindu ini, pada saat itu saya menyaksikan fenomena bagaimana masyarakatnya bahu membahu mengumpulkan apapun yang bisa disumbangkan untuk Aceh, entah itu uang, pakaian, apapun dan tentu saja tidak ketinggalan sukarelawan.

Bukan sekedar sumbangan untuk dikirimkan ke Aceh, bahkan teman saya yang lahir dan besar di Jawa tapi punya darah Gayo dari bapaknya, hanya karena memberi nama Cut pada anaknya, digratiskan segala biaya oleh sekolahnya, sebagai simpati pada saudara-saudaranya di Aceh yang tertimpa musibah. Padahal sekolahnya itu sekolah swasta, yang hidup dari uang yang dibayarkan murid-muridnya.

Tidak hanya penduduk asli Bali yang ikut menyumbang, para turis dan orang asing yang menetap di Bali pun tak kalah sibuknya, mereka memobilisasi segala bentuk bantuan yang bisa disalurkan ke Aceh. Bukan hanya dari apa yang mereka miliki di Bali, tapi juga menjalin kontak dengan negara asal mereka untuk segera turun memberikan bantuan ke Aceh.

Dan inilah yang kita saksikan di hari-hari berikutnya, dunia larut dalam empati, bahu membahu membantu Aceh yang dilanda musibah besar. Bisa dikatakan, tak ada yang menanyakan apa agama orang Aceh saat datang membantu. Propaganda anti Aceh yang dikesankan sebagai pengkhianat negara pada saat itu, hilang lenyap oleh luapan rasa empati atas nama kemanusiaan.

Yang namanya orang beragama Kristen, Buddha, Hindu, Yahudi, Islam (tentu saja) bahkan atheis bahu membahu membantu rakyat Aceh yang saat itu benar-benar membutuhkan pertolongan.

Aceh akhirnya bisa bangkit kembali berkat bantuan dana, tenaga, ilmu, sampai diplomasi dari hampir seluruh negara yang ada di dunia.

Konflik menahun antara Aceh dan Jakarta yang seolah tak ada ujungnya, berakhir dengan damai.

Kini 16 tahun kemudian, wajah Aceh sudah benar-benar berbeda, jauh lebih baik dibandingkan saat hancur akibat tsunami, bahkan dibandingkan dengan sebelum tsunami melanda.

Semoga, kita generasi Aceh yang selamat dari bencana besar ini tidak lupa bahwa apa yang kita nikmati hari ini adalah berkat jasa mereka, orang-orang tulus dari seluruh dunia, individu-individu lintas etnis, bangsa, agama dan kepercayaan.

Meskipun dari tahun ke tahun di setiap peringatan tsunami 26 Desember, dari semua negara, lembaga dan individu yang dulu datang membantu Aceh atas nama kemanusiaan itu, hanya ada satu partai politik dan satu ormas yang secara rutin mengingatkan orang Aceh akan jasa-jasa partai dan ormasnya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.