Antara Kepentingan dan Keadilan

oleh

Oleh : Agung Pangeran Bungsu S.Sos*

Masyarakat Indonesia kian dibuat resah dengan pemberitaan yang beragam oleh media sosial maupun media konvensional. Pasalnya keadaan di Indonesia yang sempat mengalami keterpurukan semenjak kontestasi pilpres 2019 silam hingga sampai detik ini benar-benar sangat memperihatinkan.

Masyarakat yang menjadi korban dibalik kepentingan elit-elit politik negeri ini harus menerima kebohongan-kebohongan yang ada, meskipun sebenarnya masyarakat sudah cukup paham dengan strategi-strategi yang diinginkan oleh segelintir orang.

Kepentingan korporasi yang mengatasnamakan pemerintah seolah memaksakan publik untuk tunduk dan patuh seperti apa yang dimau dan diperlu, dengan tidak mempertimbangkan suara dan aspirasi masyarakat. Agenda demi agenda yang terjadi seolah menjadi sebuah keharusan yang mengikat sehingga tak ada alasan untuk memilih jalan berpikir alternatif lain yang seharusnya dapat ditempuh.

Bermula dari istilah cebong dan kampret yang menjadi slogan bagi kedua kubu yang berseteru dalam khalayak. Tak memperdulikan sanak saudara, karib kerabat semua dijadikan musuh dan juga lawan.

Pada akhirnya semuanya menjadi baik-baik saja dengan jalan tengah satu kelompok menjadi bagian dari kelompok yang lainnya. Fanatisme terhadap suatu kelompok dan golongan tertentu menjadi akar dari permasalahan yang melandasi hal ini.

Merasa bahwa diri atau bahkan kelompoknya jauh lebih baik dari satu kelompok yang lain serta sulit untuk menerima kebenaran yang datang dari perbedaan yang ada.

Dalam Al-Quran Allah berfirman
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim (QS. Al Hujurat:11)”

Belum berhenti disana, setelah perhelatan pilpres selesai yang tentu saja masih meninggalkan luka mendalam, kini Indonesia bahkan dunia dilanda masalah yang besar yakni pandemi COVID-19. Usia rezim yang belum genap satu tahun membuat segala kebijakan yang diambil terkesan belum benar-benar matang.

Koordinasi antara satu lembaga dengan lembaga terkait, antara kementerian dengan kementerian yang lain terlihat kacau lagi berantakan. Keputusan yang diambil kerap menimbulkan kontrofersi. Keadilan seakan menjadi prioritas dalam menanggulangi sektor-sektor yang terdampak.

Tatkala ekonomi rakyat yang katanya diperjuangkan ternyata menambah keterpurukan kondisi kesehatan nasional. Angka penularan meningkat drastis sehingga pemerintah berupaya mencari berbagai solusi untuk mengatasi hal ini.

Penetapan RUU cipta kerja di waktu yang sangat tidak tepat membuat publik trust mengalami krisis yang cukup signifikan. Dalil yang selalu diutarakan adalah untuk meningkatkan angka investasi di dalam negeri sehingga seluruh regulasi yang dinggap rumit menjadi lebih mudah.

Akan tetapi hal ini tentu saja tidak adil, ada kepentingan korporasi yang diperjuangan dalam pengesahan RUU cipta kerja. Sedangkan ada hak buruh dan juga pekerja yang dikorbankan. Hal ini berbanding lurus dengan hasil statatistika BPS terhadap angka penduduk miskin di Indonesia sejak Maret 2020 sebanyak 26,42 juta orang (9,78 persen), yang meningkat 1,63 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2019 sebanyak 24,79 juta orang (9,22 persen). (Data Sosial Ekonomi BPS: Edisi November 2020)

Lantas apa yang bisa diperbuat setelah menilik kondisi pemerintah saat ini? Kekacauan yang terjadi beberapa hari yang silam juga membuat luka baru di hati sebagian umat muslim yang ada. Pasalnya pernyataan kontrofersi yang disampaikan oleh Mayjen TNI Dudung Abdurachman selaku Pangdam Jaya untuk membubarkan salah satu ormas yang dianggap sering menimbulkan kekacauan di masyarakat tentu saja telah merampas hak asasi manusia.

Hal ini tentu saja tidak elok dan pantas, seorang jenderal TNI yang seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menentukan sikap akhirnya menjadi sorotan karena apa yang telah disampaikan didepan khalayak dianggap bukan menjadi ranah dan fungsi yang dimiliki oleh seorang prajurit TNI. Tentu saja ini telah mencoreng cita-cita reformasi yang pernah digagas pasca orde baru silam.

Adapun dalam menghadapi gangguan keamanan di dalam negeri penggunaaan kekuatan pertahanan negara akan dititikberatkan pada hal-hal yang mengganggu “kedaulatan negara” dan “hubungan internasional.” Jadi dalam hubungan inilah penggunaan kekuatan pertahanan negara untuk kepentingan selain perang dilakukan (bukan seperti dwifungsi ABRI yang pernah kita kenal). (Konflik & Reformasi TNI di Era SBY: 60)

Siapakah yang mampu menegakkan keadilan dalam perseteruan yang melibatkan banyak pihak diatas? Apakah ada aparat penegak hukum lainnya yang mampu meluruskan perselisihan ini? Tentu saja pemerintah dalam hal ini adalah Presiden memiliki kekuasaan tertinggi untuk menyelesaikan perseteruan yang ada. Tidak mendahulukan kepentingan kelompok yang dimiliki, dengan demikian sudah seharusnya keadilan bagi masyarakat menjadi prioritas dalam mengambil setiap keputusan dan kebijakan dalam menegakkan hukum.

*Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.