Puisi Pengawetan Flat Form ‘Prang Sabie’

oleh
Persiapan penampilan teater Hikayat Prang Sabi (Ist)

Oleh : Fachry Ali*

Dengan mata masih sembab, saya tutup zoom dan laptop. Peluncuran buku puisi berjudul ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’ (2020) yang dipimpin penyair Fikar Weda berakhir. Gugusan puisi yang dibukukan ini diprakarsai Pilo Poly dan Murizal Hamzah. Saya diminta menulis pengantar atau prolog. Bintang film dan budayawati Christine Hakim menulis Epilog.

Ketika berbicara, saya mampu menjaga ‘jarak’. Puisi-puisi itu, terutama yang ditulis penyair Aceh, kata saya, kemungkinan besar adalah kontinuitas semangat ‘Hikayat Prang Sabie’.

Kita tahu, ‘Hikayat’ itu digubah Teungku Tjik Pantee Kulu pada akhiir 1880-an, sebagai tanda komando perang Aceh-Belanda yang dimulai pada 1873, telah diambil alih kaum ulama. Yang ada di tangan ulama hanya agama.

Dan nilai agama —yang dirumuskan dalam bentuk puisi Prang Sabie (Perang Di Jalan Allah)— itu menjadi satu-satunya sumberdaya yang bisa dimobilisasikan melawan Belanda. Maka, ‘Hikayat Prang Sabie’, ujar saya, mungkin telah menjadi plat form baku penyair Aceh mengungkapkan rasa dan gagasan dalam bentuk puisi. Konflik berkepanjangan hingga 2005, memberi wadah bagi pengawetan flat form ‘Perang Sabie’ itu.

Alangkah berjarak analisa saya —yang juga belum tentu benar itu. Tetapi, ketika puisi-puisi mulai dibacakan, desau dan lirih suara yang direproduksikannya mulai penetratif dalam struktur emosi saya.

Seorang penyair muda asal Palembang justru lebih bagus menggambarkan tragedi kemanusiaan semasa perang di Aceh. Hanya melalui Mesium Tsunami, penyair Minang berbicara lebih bergemuruh tantang hati orang Aceh. Dan Debra Yatim membuat nafas saya tersendak2 ketika membacakan puisinya.

‘Ketika koran dan majalah bungkam terhadap pelanggaran hak asasi manusia,’ kata Salman Yoga S, ‘sastra, khususnya puisi, tampil menggantikannya.’ Saya terkejut mendengar pernyataan kurator penerbitan kumpulan puisi ini. Bukankah pernyataan itu mengingatkan kita kepada ‘Hikayat Prang Sabie’ yang muncul pada akhir 1880-an ketika senjata dan ekonomi Aceh telah lumpuh terkuras perang melawan Belanda?

Puncaknya adalah kemunculan penyair Bali: Ni Wayan Ida Wati. Sebelum membaca puisinya, penyair ini berkisah bagaimana ia ‘bertemu’ dangan Aceh yang merangkai hubungan emosional dan sejarah Aceh-Bali. Lalu, Ni Wayan Ida Wati membaca puisinya tentang Tsunami yang berjudul ‘Kota dalam Ingatan’:
Ulurkan, ulurkan tanganmu, Dik/Mari rentangkan tangan dan kenangan/Sungguh hanya kata yang kekal dalam cerita.

Kisah dan ingatan dari seberang/antara kapal-kapal yang hilang/Kota yang menyisakan curam bayang/Disapu gelombang. []


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.