Stiker BBM Subsidi, Aceh Hebat Atau Aceh Heboh

oleh

Oleh : Johansyah*

Ada-ada saja Aceh. Saya agak lucu juga mengamati stiker BBM subsidi di mobil-mobil yang berbunyi; ‘kendaraan pengguna premium bukan untuk masyarakat yang pura-pura tidak mampu’, dan ‘kendaraan pengguna solar bersubsidi, subsidi untuk rakyat, bukan para penimbun jahat’.

Menurut pemerintah Aceh program stiker BBM ini bersubsidi tidak menambah aturan baru. Program ini memperkuat Perpres Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Menurut catatan di koran Serambi (19/08) stiker ini hanya ditempel pada mobil Labi-labi dan Pikap L300. Artinya mereka saja yang medapatkan hak BBM subsidi, sementara mobil pribadi tidak. Lebih kurang begitu pernyataan Asisten II Setda Aceh, H.T. Ahmad Dadek setelah melakukan penempelan stiker secara simbolis ke beberapa mobil.

Kelihatannya ini juga merupakan bagian dari salah satu program Aceh hebat. Entahlah, kalau dalam amatan saya sepertinya bukan Aceh hebat, tapi Aceh heboh. Soalnya stiker menjadi perbincangan hangat dan lelucon. Bahkan banyak yang mengkaji dan melihat berbagai sisi kelemahan dari kebijakan ini yang intinya mengatakan kurang efektif.

Sebagian pihak ada yang berpendapat bahasa di stiker tersebut tidak beretika dan kehilangan logika. Begitulah berbagai keanehan yang dirasakan sejak stiker 25×10 cm bermunculan di mobil-mobil.

Beberapa hari lalu, saat melintasi jalan Aceh Tengah dan Bener Meriah, saya memang banyak melihat mobil yang ditempeli stiker ini. Hanya saja bukan seperti pernyataan asisten II di atas; stiker hanya untuk labi-labi dan pikap L300, mobil pribadi tidak boleh. Tapi ada mobil dengan berbagai merk ada stiker ini, mulai dari Avanza, Innova, Pajero, Fortuner, dan mobil lainnya.

Makanya jadi heboh. Entahlah, orang sekarang sepertinya kurang rasa malu. Padahal jelas-jelas sudah dimaklumatkan dalam stiker tersebut bahwa BBM bersubsidi hanya untuk masyarakat miskin, bukan bagi masyarakat yang pura-pura miskin. Tapi banyak yang tidak peduli dengan bunyi stiker tersebut, tanpa malu menempel stiker tersebut di mobilnya.

Jika dilihat mendalam, memang ada yang aneh dengan kalimat di stiker tersebut. Di sana dikatakan BBM bersubsidi untuk masyarakat yang kurang mampu. Lalu orang pun berpikir, kalau orang sudah punya mobil, bagaimana mengkategorikannya pada orang yang kurang mampu? Dia punya mobil itu karena dia mampu. Mana ada orang miskin punya mobil. Jangankan mobil, sepeda motor saja tidak punya.

Lagi pula, labi-labi atau pikap L300, kenapa dijadikan sebagai kriteria masyarakat tidak mampu sehingga mereka yang berhak menerimanya? Kalau saya lihat, justru pemilik mobil pikap L300 banyak yang berprofesi sebagai agen atau toke. Toko-toko bangunan minsalnya, mereka semua memiliki jenis mobil ini. Digunakan untuk mengantar barang pesanan ke pelanggan.

Bagaimana mengkategorikan mereka sebagai masyarakat yang tidak mampu dan berhak menerima subsidi BBM? Sementara untuk labi-labi, mana ada lagi jenis mobil ini jaman sekarang. Kalau pun ada jumlahnya sangat sedikit. Makanya banyak yang bilang, apakah pemerintah Aceh sudah mempelajarinya dengan cermat?

Hal lain yang menurut saya juga perlu dikoreksi bersama, ketika ada kalimat di stiker tersebut; ‘subsidi untuk rakyat, bukan penimbun jahat’. Persoalannya penimbun jahat itu juga rakyat. Siapa bilang mereka bukan rakyat. KTP-nya jelas warga negara Indonesia.

Katanya juga BBM bersubsidi itu tidak untuk mobil pribadi, tapi hanya itu mobil yang disebutkan di atas. Ini juga menimbulkan multi tafsir dan peluang. Siapa bilang mobil pikap itu bukan mobil pribadi? Lagi pula yang kita tau, mobil yang bukan pribadi itu adalah mobil dinas. Lagi-lagi, sulit untuk dipahami dan diterapkan dengan benar.

Kita bisa baca, mungkin program stiker tersebut bertujuan baik, tapi caranya penetapan kriteria kiranya perlu pengkajian kritis sehingga tidak terkesan konyol. Pembacaan masyarakat dengan beragam model pasti bermunculan. Minsalnya; jangan-jangan itu proyek stiker’ alias PACU (Proyek Cari Untung).

Membangun Kesadaran Diri

Tapi sudahlah, toh programnya sudah jalan. Paling kita bisa numpang saran mohon diperbaiki kelemahannya. Nah, yang penting kita sebagai masyarakat Aceh yang bersyari’at, mari bersama untuk membangun kesadaran tinggi. Program seperti ini kembali pada sikap dan perilaku manusiawi kita.

Kalau memang kita punya mobil walaupun bukan mobil mewah, logikanya kita orang mampu. Aneh kalau kita merasa kurang mampu kalau punya mobil. Lagi pula, mana mungkin orang bisa beli sapi tapi tidak bisa membeli talinya? Mikir! Jangan akal-akalan, tapi jernihkanlah akal.

Dalam situasi seperti inilah kita perlu membuktikan Aceh sebagai masyarakat dan wilayah yang bersyari’at. Kita tunjukkan dan buktikan diri dapat bersikap dan berperilaku Islami. Dalam hal ini kejujuran dan malu yang paling utama. Jujur bahwa kita mampu membeli BBM non subsidi, dan malu menyatakan diri sebagai orang tidak mampu.

Tanda Aceh bersyari’at itu bukan sekedar hukum cambuknya, dinas syari’at Islamnya, atau nama kantor yang ditulis dengan huruf Arab-Jawi. Kita benar-benar menerapkan syari’at Islam ketika sudah menjalankan dan menerapkan nilai-nilai Islami itu dalam kehidupan sehari-hari; jujur, bertanggung jawab, malu, kreatif, inovatif, menolong sesama, peduli, dan sebagainya.

Kesadaran diri inilah yang perlu kita pupuk. Jangan terlena dan terjebak dalam perilaku-perilaku kurang terpuji, sementara kita mengaku bersyari’at dan tinggal di wilayah syari’at. Bahkan kita harus memupuk kesadaran diri sebagai masyarakat Aceh, bahwa kita dipantau oleh provinsi lain dan dijadikan teladan. Bagaimana kalau mereka menyaksikan kehebohan-kehebohan seperti soal stiker ini, apa tidak malu?

Sebenarnya kalau mau Aceh hebat, inilah yang harus menjadi perhatian utama. Yakni pemerintah harus berupaya keras merancang strategi pembangunan yang berorientasi pada penguatan perilaku bersyari’at. Soal Qanun saya angkat topi. Tapi marilah kita sadari syari’at Islam itu bukan hanya soal hukum semata, tapi soal bagaimana orang Aceh menyadari eksistensi dirinya sebagai muslim, dan dia harus mampu menunjukkan perilaku Islami.

Bagaimana agar si kaya tidak menumpuk harta dan membiarkan si miskin merana. Jika ada program pemerintah seperti stiker BBM, salurkan pada mereka yang berhak menerimanya. Jangan diakal-akali. Jika membangun proyek jalan, jangan kurangi takaran. Jika diserahi jabatan, gunakan untuk menolong rakyat dan Islam.

Program-program yang tidak bermuara pada penyadaran perilaku bersyari’at secara serius, akhirnya bukan membuat Aceh hebat, tapi Aceh heboh karena suka bikin yang heboh. Wallahu a’lam bishawab!

*Pegawai Dinas Syari’at islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.