Pendapatan Daerah di Tengah Covid-19

oleh

Oleh : Dr. Irham Iskandar, SE, M.Si*

Dalam proses pengenaan pajak terkandung unsur kebijakan publik yang memiliki implikasi luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Musgrave dan Musgrave (1989) menyebutkan bahwa dalam pengambilan kebijakan publik terdapat tiga fungsi yang harus diperhatikan, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.

Fungsi alokasi, yaitu alokasi sumber daya yang lebih efesien di antara penggunaan maupun alokasi dalam ketersediaan barang-barang sosial. Artinya tidak semua barang dapat disediakan oleh sektor swasta, maka perlu menjaga ketersediaan barang dan jasa publik, pemerintah perlu mengalokasikannya secara merata kepada masyarakat.

Fungsi distribusi, yaitu distribusi pendapatan yang merata dan adil di antara masyarakat. Hal ini terkait dengan kepemilikan atas faktor produksi yang menentukan penguasaan suatu sumber daya ekonomi oleh sekelompok masyarakat dan menyebabkan distibusi pendapatan (kekayaan) yang tidak merata dalam kehidupan.

Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah untuk dapat menciptakan dan menjaga distribusi pendapatan (kekayaan) yang adil dan merata kepada masyarakat, misalnya melalui pengenaan pajak progresif atas pendapatan (kekayaan) yang dimiliki seseorang.

Fungsi stabilitas, yaitu stabilitas dalam makro ekonomi seperti pengangguran dan inflasi yang terganggu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sebagainya. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjaga agar dampak negatif dari gejolak perekonomian tersebut tidak meluas kepada aspek kehidupan masyarakat lain.

Kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian suatu negara melalui aspek penerimaan dan pengeluaran negara. Secara teoretis, dampak kebijakan fiskal tersebut dapat dijelaskan dengan mekanisme multiplier.

Menurut Lindauer (1971) multiplier menunjukkan perubahan tingkat keseimbangan ekonomi sebagai akibat perubahan dalam salah satu komponen yang mempengaruhinya yaitu pengeluaran pemerintah, transfer, pajak dan pinjaman uang.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa indikator terkini ekonomi makro yang dikeluarkan badan kebijakan fiskal sampai dengan 20 Mei 2020 menunjukkan adanya penurunan laju pertumbuhan ekonomi dari Q1 (2019) sebesar 5,07 persen menjadi Q1 (2020) sebesar 2,97.

Hal ini bila dibiarkan akan berdampak pada variabel indikator makro lainnya seperti kemiskinan, gini ratio, inflasi, dan faktor terikat lainnya.

Lebih lanjut, pandemi covid-19 telah menjadi krisis ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia sehingga berakibat pada penurunan penerimaan pajak. Vissaro (2020) mengemukakan bahwa kuartal pertama atau hingga akhir Maret mengalami sebesar – 2,5%, dan diprediksi untuk tahun ini (penerimaan pajak) akan turun 5,9% dibandingkan tahun 2019.

Adapun instrumen pajak yang minus setelah digunakan untuk penanganan COVID-19 adalah PPh Badan dan Pajak dalam rangka Impor (PDRI) terdiri beberapa jenis, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor, PPh pasal 22 ekspor, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Sedangkan, penerimaan pajak yang pertumbuhannya masih positif adalah pajak pertambahan nilai (PPN).

Berdasarkan uraian teori dan kondisi saat ini serta keterkaitan dengan kebijaksanaan fiskal, yaitu pajak. Pandemi covid-19 sangat berdampak pada penerimaan pajak dan hal tersebut telah diantisipasi dengan sejumlah langkah stimulis fiskal dan insentif yang dikeluarkan pemerintah demi menangkal perlambatan ekonomi akibat virus corona.

Hal ini sejalan dengan studi empiris yang dilakukan oleh Vedder dan Gallawaay (1999) yang menganalisis dampak dari penurunan pajak terhadap kesejahteraan masyarakat di USA. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan tarif pajak akan dapat mengurangi beban masyarakat. Penurunan beban masyarakat beban ini pada akhirnya dapat mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

DDTC Fiscal Research (2020) juga melakukan studi penggunaan instrumen pajak daerah dalam menghadapi dampak Covid-19 di Indonesia. Khusus di kabupaten/kota, relaksasi berupa pembebasan pajak paling banyak dipilih. Dari survei yang dilakukan, terdapat 71 dari 514 kabupaten/kota yang merilis relaksasi pajak daerah dalam menghadapi dampak Covid-19. Artinya, hanya 14% dari seluruh pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) yang merespons melalui instrumen pajak.

Bentuk respons yang paling banyak digunakan berupa pembebasan pajak (45%), diikuti dengan pemutihan denda atau sanksi keterlambatan pembayaran (19%) dan pengurangan pembayaran (13%).

Ditinjau dari jenisnya, relaksasi pajak yang dilakukan pemkab/pemkot paling banyak diterapkan pada pajak hotel (28%), pajak restoran (25%), dan pajak hiburan (17%). Hal ini tidak mengherankan mengingat sektor wisata, konsumsi, dan jasa menjadi sektor usaha paling terdampak Covid-19.

Sebagai salah satu penerimaan bagi negara, pajak mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting untuk proses pembangunan. Dalam hal ini pajak selain berfungsi sebagai budgetair yaitu alat untuk mengumpulkan dana yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik pengeluaran-pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan atau transfer ke daerah.

Pajak juga dapat berfungsi sebagai regulerend yaitu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan antara lain sebagai alat pemerataan distribusi pendapatan.

Dapat disimpulkan, dengan uraian diatas ada beberapa hal menarik dapat kita pahami, pertama pemerintah kabupaten/kota harus mampu mengidentifikasi sektor-sektor usaha paling terdampak Covid-19, dan kedua, meskipun adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar PSBB dan gerakan social distancing yang semakin memukul sektor-sektor usaha.

Alhasil, Pemkab/Pemkot harus bergerak untuk menyelamatkan sektor usaha tersebut, salah satunya melalui relaksasi pajak.

*Fungsional Peneliti pada Litbang Bappeda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.