Kisah Mantan Pejuang GAM Linge ; Tengku Syahrial Syahid di Awal Darurat Militer

oleh
Gambar dari kiri ke kanan; Fauzan Azima, Wapang Halidin Gayo dan Tengku Syahrial pada Rapat Neugara Aceh Merdeka, 1 Januari 2003 di Alue Dua, Nisam. (Foto : William Nelsen)

Oleh : Fauzan Azima*

Tengku Syahrial Bin Syahbuddin menjabat sebagai Sekretaris GAM Wilayah Linge. Usianya pada waktu pemberlakuan Darurat Militer di Aceh, tanggal 19 Mei 2003 masih 25 tahun.

Kami mengangkatnya sebagai sekretaris karena beliau cerdas. Setidaknya menguasai Bahasa Arab dan Inggris dengan sempurna. Sebelumnya beliau belajar di salah satu Pesantren Modern di Medan, Sumatera Utara.

Ketika angin Darurat Militer mulai berhembus, saya memintanya keluar dari Aceh. Biarlah orang-orang pinter membantu perjuangan dari luar saja, tetapi beberapa kali kami berdiskusi beliau tetap bersikeras ingin tetap bertahan di dalam bersama pasukan.

Beberapa pasukan yang sudah keluar atas kesepakatan kami adalah Mustawalad, Dawan Gayo, Munzir, Helmi Ranggayo, Pang Dompeng dan pasukan lainnya. Kami percaya kalaupun mereka berjuang di luar hatinya tidak pernah berubah karena mereka adalah ideologis GAM.

Harapan kami, meskipun kami syahid akibat perang dan lainnya, maka mereka bisa meneruskan perjuangan kemerdekaan Aceh dengan diplomasi atau cara lainnya. Selain itu, apapun yang terjadi jangan tidak ada anggota GAM Wilayah Linge yang pinter.

Tanggal 17 Mei 2003, saya bersama Wakil Panglima (Wapang) Halidin Gayo memintanya kembali untuk keluar. Seperti semula, beliau tetap bersikukuh ingin “menikmati” Darurat Militer. Apalagi Tengku Syahrial sedianya akan menikah dengan Dewi, putri pertama Tengku Gele Bayak (Kepala Biro Penerangan Linge). Kami pun tidak memaksanya lagi untuk keluar.

Pada siang hari, 19 Mei 2003 kami bersama-sama ngopi di Keude Alue Papeun. Kami belum mendengar bahwa malamnya, tepat pukul 00:00 Wib telah ditetapkan Darurat Militer untuk Aceh. Seluruh warung masih memutar video CD; ada yang film India dan lagu yang populer saat itu, Hasan dan Husein yang dibawakan Rafly Kande.

“Tampaknya sudah diberlakukan Darurat Militer di Aceh,” kata saya, walau saya sendiri tidak tahu kebenarannya. Selama ini yang kami dengar hanya wacana.

“Tidak mungkin! Kalau ditetapkan Darurat Militer, besok Aceh langsung merdeka,” jawab Tengku Syahrial dengan penuh percaya diri.

Saya sempat berfikir, dari mana logikanya diberlakukan Darurat Militer dengan percepatan kemerdekaan Aceh. Memang ada desas-desus “haba mameh” kalau sanggup bertahan tiga bulan dalam Darurat Militer maka otomatis Aceh Merdeka.

Cerita “sibak rukok teuk” sudah sering kami dengar, tetapi perlu disikapi rasional. Kami lebih memilih diksi berbeda dari “info mameh” dengan phrase, “Lebih baik berputih tulang di hutan rimba daripada menyerah kepada Indonesia.”

Tepat pukul 12.00 siang, saya meminta kepada pemilik warung untuk membuka siaran berita Metro TV. Dan benar, Darurat Militer sudah berlaku di Aceh, pada layar kaca TV menayangkan gambar ribuan pasukan Indonesia sedang terjun payung di Bandara Udara Blang Bintang.

Masyarakat yang semula menikmati tontonan film dan lagu, mulai pergi satu per satu. Mereka pulang ke rumah masing-masing untuk memberi tahu kepada keluarganya tentang akan terjadi perang dahsyat, khususnya di Alue Papeun yang merupakan daerah berdaulat bagi GAM.

Selesai menonton kami tidak lagi memperpanjang perdebatan. Kami langsung menemui pasukan agar mengatur strategi dengan berkoordinasi dengan pimpinan pasukan GAM Wilayah Samudera Pasai.

Selama beberapa hari Darurat Militer kami masih bebas dari rumah ke rumah masyarakat di Alue Papeun, Bate Vila, Alue Dua, Drien Kuneng, Simpang Rambung, Krueng Tuan dan Bandar Selamat. Walaupun beberapa tempat sudah terdengar kontak senjata.

Setelah tentara Indonesia menguasai kampung-kampung di Nisam, kami masih berputar-putar di seputar kawasan itu, tidak jarang terjadi kontak senjata. Kami bergeser mencari tempat yang aman di hutan Sawang.

Pada pagi hari, kami melihat pesawat tempur jenis Bronco terbang rendah, namun pasukan tidak peduli, tetap menyalakan api dengan asap membumbung tinggi. Sebagian pasukan ada yang menganggap remeh.

“Saya ingin tahu, seberapa hebat bomnya,” kata Pang Cico dengan sombong.

Baru saja Pang Cico berkata demikian, sudah pun dibom dari pesawat Sukhoi, suaranya menggelegar dan memutuskan saraf. Saya sendiri menjadi bengong memandang satwa menjangan dan menjangan pun bengong melihat saya. Kemudian bertubi-tubi diserang dengan bom pesawat Bronco baru saya dan menjangan itu sadar dan kami berlari ke tengah hutan untuk menyelamatkan diri.

Kami berlari menuju Kampung Krueng Tuan, tetapi beberapa hari kemudian, pasukan termasuk Tengku Syahrial dan Wapang Halidin Gayo kembali ke arah Sawang tempat kami semula dibom dengan pesawat.

Ternyata setelah pengeboman itu, pasukan Indonesia menyisir lokasi pengeboman itu. Pada saat itu, pasukan Linge sempat kontak tembak dengan tentara Indonesia dan berlari kembali ke arah Kampung Krueng Tuan.

Sementara pada peristiwa itu, Tengku Syahrial terjatuh ke sungai dan kakinya terjepit di antara bebatuan. Di situlah beliau tertangkap dan sempat diberi pilihan hidup atau mati.

“Pilih RI atau GAM,” kata tentara Indonesia yang menangkapnya.

“Pilih GAM,” tegas Tengku Syahrial.

Dor…dor…dor…tentara Indonesia langsung menembaknya beberapa kali dan seketika Tengku Syahrial Syahid di tempat. Jenazahnya sempat ditemukan dan dikuburkan dengan layak oleh masyarakat Sawang.

(Tamiang, 19 Mei 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.