Oleh : Johansyah*
Bulan februari lalu Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu negara darurat Covid-19. Dampak dari itu, pemerintah kemudian menerapkan berbagai kebijakan untuk memutus mata rantai penularan abah Covid-19.
Berbagai himbauan dikeluarkan agar menjaga jarak (social distancing), belajar dari rumah, kerja dari rumah, dan ibadah di rumah. Masyarakat juga dihimbau menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mencuci tangan dengan sabun, mengenakan masker, melakukan penyemprotan disinfektan, agar tidak tertular virus korona.
Hingga kini, pasien di Indonesia yang positif korona terus mengalami penambahan. Secara statistik, angkanya diprediksi akan terus mengalami kenaikan. Apalagi ada yang memprediksi bahwa puncak penularan wabah ini terjadi pada bulan ramadhan ini. Tentu sangat menghkawatirkan karena masyarakat sebenarnya berharap dapat menjalani ibadah ramadhan dengan nyaman.
Ada hal yang sangat mengganggu pikiran kita di situasi pandemi Covid ini. Di mana kondisi fluktuasi harga-harga bahan pokok di pasaran yang terus mengalami kenaikan. Di sisi lain, nilai jual produk pertanian yang dibeli oleh para agen (toke) semakin anjlok.
Hal yang mengherankan, mengapa nilai jual untuk petani sangat rendah, sementara ketika dibeli di pasar mengalami kenaikan yang signifikan? Seharusnya ketika dibeli murah dari petani, murah pula di pasar. Kecuali dibeli mahal dari petani, penjualannya juga mahal.
Kondisi inilah yang kemudian membuat masyarakat menjerit. Diyakini ada pihak-pihak tertentu yang terus bermain untuk mengeruk keuntungan berlipat ganda dari situasi ini. Corona dijadikan kambing hitam. Ini tidak lain adalah sistem ekonomi kapitalis yang berdampak buruk pada perekonomian rakyat.
Isyarat bahwa kita akan mengalami multi krisis sudah semakin jelas, di mana banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, dan menurunnya penghasilan di berbagai mata usaha masyarakat.
Kondisi ini tidak saja menimpa sekelompok masyarakat saja, tapi dialami secara merata, baik perusahaan, ASN, pedagang, dan yang lainnya. Banyak yang menilai, bahkan kondisi ekonomi sekarang lebih parah dari konflik Aceh beberapa waktu yang lalu.
Saya yakin situasi ekonomi yang kita hadapi saat ini bukan karena Covid, tapi karena adanya permainan sedemikian rupa sehingga stabilitas ekonomi terganggu. Para pemodal bermain cantik tapi licik mengatur harga-harga kebutuhan barang.
Tujuan untuk memperkaya diri dari sistem yang diterapkannya tanpa memikirkan nasip dan masa depat rakyat kecil serta dampak buruk lain yang ditimbulkan.
Tidak berdaya
Masyarakat tidak berdaya menghadapi situasi gamang seperti ini. Siapa lagi yang kita harap kalau bukan pemerintah dan wakil rakyat yang ada di DPR. Merekalah yang mempunyai ‘cakaran dan taring’ untuk melumpuhkan orang atau kelompok yang hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri.
Pemerintahlah yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan fluktuasi harga yang meresahkan ini. Di sisi lain, pada situasi genting seperti ini, sejatinya DPR terus menyuarakan keluhan rakyat dan ikut berpartisipasi langsung dalam mengatasinya.
Benar kalau pemerintah saat ini sudah merealokasi anggaran belanja daerah untuk penanganan pandemi Covid-19. Termasuk perintah untuk mengalihkan dana desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), di mana setiap keluarga akan mendapat bantuan dari pemerintah.
Selain itu, presiden juga sudah mengeluarkan maklumat agar setiap kepala daerah memangkas anggarannya yang dialihkan untuk penanganan wabah ini.
Pertanyaannya, sampai kapan bantuan seperti ini mampu ditanggulangi pemerintah? Untuk satu kali bantuan saja anggarannya mungkin sudah ludes. Apalagi bantuan itu diberikan dua sampai tiga kali. Dari mana duitnya? Itu belum lagi kemungkinan ada penyimpangan dalam proses penyaluran bantuan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang tidak memberikan bantuan sebagaimana mestinya.
Sebagai negara dengan jumlah hutang cukup besar, Indonesia jelas tidak mampu membantu masyarakat secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Indonesia belum bisa mengikuti Turkey yang konon melarang perusahaan untuk memberhentikan karyawannya karena negara siap menggaji mereka selama tiga bulan. Atau seperti Jepang yang mampu memberikan bantuan besar pada setiap kepala keluarganya.
Melakukan proses stabilisasi harga barang kebutuhan pokok itu jauh lebih urgen dibandingkan dengan merealokasikan anggaran negara dari berbagai sumbernya. Dampaknya akan sangat luar biasa.
Minsalnya ketika hasil pertanian dibeli oleh para agen dengan harga yang normal atau sewajarnya, dengan sendirinya tingkat pendapatan petani tetap stabil. Demikian halnya ketika masyarakat berbelanja ke pasar, tidak ada perubahan signifikan dari harga barang yang dijual.
Ternyata dirampas
Di saat kegamangan ekonomi yang dialami masyarakat, sebenarnya kita sangat berharap agar pemrintah melakukan berbagai upaya yang dapat meringankan beban rakyat kecil. Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya, rakyat yang ternyata ‘dirampas’ haknya.
Contoh, harga bahan bakar minyak (BBM) yang seharusnya turun, tapi tidak diturunkan. Seharusnya turun karena minyak dunia juga turun. Kata Dahlan Iskan, sekarang ini kita menyumbang ke Pertamina.
Demikian halnya dengan tagihan listrik. Selama pandemi ini banyak yang mengeluhkan kalau tagihan listrik naik beberapa kali lipat dari biasanya. Listrik pra bayar juga begitu. Dulu kalau beli pulsa seratus ribu, ada sekitar tujuh puluh ribu yang terisi. Sekararang pulsa seratur ribu ketika diisi, hanya tersisa sekitar enam puluh sembilan ribu.
Berbagai pihak kemudian mempertanyakan soal keberpihakan pemerintah pada rakyat yang kelihatannya hanya lipstik dan pencitraan belaka. Pada kenyataannya rakyat tidak merasakan kenyamanan secara ekonomi dalam menjalani hidup. Harga kebutuhan pokok yang tidak pernah mengenal kata ‘turun’, kecuali terus merangkak naik dengan berbagai dalihnya.
Saat ini kita sudah memasuki pertengahan ramadhan. Biasanya orangtua sudah mulai berpikir untuk persiapan menghadapi idul fitri. Sudah menjadi tradisi kalau biasanya kita beli baju baru untuk anak-anak, membuat kue lebaran, mengganti perabotan rumah tangga, dan sebagainya.
Sekarang ini, akan banyak masyarakat yang merintih dan tidak dapat berkata apa-apa lagi. Begitulah, sebagian besar masayarakat memang negatif Covid-19, tapi positif menderitanya. Semoga musibah global ini secepatnya berlalu. Wallahu alam bishawab!