[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 8

oleh

Diceritakan kembali oleh: Aman Renggali

Setiap tiang masjid ia periksa, tiang kayu sebesar pelukan anak 12 tahun itu menjulang menupang atap dan kubah masjid. Ia berharap dan menduga barangkali disalahsatu sisinyalah kakek itu bersandar sambil menggelindingkan butiran tasbihnya di jemari keriput. Sudut mimbar empat persegi yang berbentuk masjid mini juga ia hampiri, barangkali di sisi itulah sang kakek tengah melipat dan merapikan sajadah jamaah. Disetiap ujung shaf ia sisir dengan matanya. Namun tidak ada tanda sang kakek bersimpuh menghadap kiblat.

Gelingang Raya memastikan masjid itu tidak menyembunyikan sosok yang ia cari, setengah putus asa ia melangkah menuju teras masjid yang berhadapan langsung dengan sungai bening. Barangkali ditepinya yang beranak tangga empat dari potongan batang bambu sang kakek itu duduk menjulurkan lutut membasuh kaki. Lagi, yang ia cari tidak ada di sana.

Hatinya tergerak untuk kembali dalam masjid dan melangkah ke salahsatu sudut tiang dimana sebuah sumur tua berada. Ia buka mulut sumur yang ditutup dengan tiga lembar papan itu dengan berharap cemas. Mengambil beberapa gelas dan menampungnya dalam sebuah wadah. Berbekal air sumur masjid ini Gelingang Raya kembali ke rumah menemui ibu dan ayahnya yang sedang berbaring.

“Apa yang kamu bawa nak?”, Tanya Hayya ibunya
“Penawar untuk ayah”, jawab Gelingang Raya sambil menyiapkan sebuah gelas.
“Ini, minumlah ayah”, kata Gelingang Raya sembali mengangkat kepala Basyar. Satu gelas ia teguk seketika. Sisa air dari sumur masjid itu diusapkan kesekujur badan bekas luka cakar dan gigitan harimau itu.

Beberapa hari sakit dan luka Basyar memang kian membaik, luka bekas cakaran harimau itu terlihat mengering dan ditutupi kulit sehingga terlihat seperti sebuah garis hitam memanjang di tangan dan badannya. Kesembuhan ini membuat Gelingang Raya dan Hayya sedikit girang, mereke tersenyum berharap suasana akan dapat kembali seperti sediakala.

Namun dalam kondisi kesehatan Basyar yang kian pulih ternyata Tuhan berkehendak lain. Sampai satu ketika ayahnya meninggal dunia dan dikuburkan di bawah pohon Geluni di samping kanan  rumah panggungnya.

Gelingang Raya menangis sedih atas kematian ayah tercintanya, menyesal kenapa bukan ia saja yang menutup pintu kandang saat itu, kenapa ia tertidur lelap saat ayahnya pergi ke kandang. Penyesalan dan rasa kehilangan tak terkirakan, ia menyesal karena tidak punya ayah lagi dan menjadi yatim.

Kini Gelingang Raya hanya hidup berdua saja dengan ibunya. Sepeninggal ayahnya serta akibat usia yang sudah tua renta, ibunyapun kini sering sakit-sakitan. Gelingang Raya pun harus mengerjakan segala sesuatu sendiri. Mulai dari merawat, memasak dan memberi makan, memandikan dan mengganti baju ibunya yang ia cintai. Keluarga yang tersisa dan kekayaan satu-satunya yang dimilikinya, adalah ibunya.

Setiap hari ia harus pandai membagi waktu, kapan harus ke kebun untuk bercocok tanam, mengurus ternak yang tersisa atau memetik panen, kapan harus ke pasar kerajaan untuk menjual dan membeli kebutuhan sehari-hari, juga kapan harus merawat ibunya.

Begitulah yang dilakukan Gelingang Raya setiap hari selama musim kemarau panjang berlangsung. Dengan senang hati ia selalu merawat dan memberi makan serta menghibur ibunya. Dengan penuh tanggungjawab ia juga tetap berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebetuhan mereka sehari-hari. Sesekali Gelingang Raya membawa ibunya jalan-jalan, membelikannya makan yang lezat dan duduk santai di bawah pohon Geluni sambil menikmati kicauan burung Mergah yang merdu. Ibunya sangat bahagia punya anak yang berbakti, iapun tidak merasa sendiri di rumah ketika Gelingang Raya pergi bekerja, karena ia dapat duduk beristirahat di bawah pohon Geluni yang harum.

Pada suatu hari ketika Gelingang Raya baru pulang dari pasar kerajaan, ibunya memanggil.

“Win Gelingang Raya anakku, kemari sebentar nak!”, kata Hayya ibunya dengan suara yang agak parau dan berat.
“Iya bu !”, jawab Gelingang Raya lembut. Dengan cepat sembari meletakkan barang bawaannya yang tidak banyak, Gelingang Raya menghampiri ibunya. Sejak kecil Gelingang Raya memang sangat patuh dan santun, ia sadar karena hanya orang tuanyalah  yang menjadi kekayaan yang sebenarnya bagi dirinya.
“Mata ibu nak. Kenapa mata ibu ini nak?”, tanya ibunya sambil mengucek-ucek matanya sendiri.
“Mata ibu kenapa bu?”, tanya Gelingang Raya penuh perhatian.
“Mata ibu tidak dapat lagi melihat nak, semuanya menjadi gelap”, jawab ibunya sambil meraba-raba tangan Gelingang Raya.

Sejak saat itu ibu Gelingang Raya tidak dapat melihat apa-apa lagi. Demikianpun dengan telinganya, pendengaran ibunya dari hari ke hari mulai berkurang. Gelingang Raya memaklumi hal tersebut dan mencoba membesarkan hati sang ibunda.

“Sudahlah bu, ini semua cobaan dari Tuhan. Ibu tidak perlu khawatir, kan ada Win yang menemani ibu”, kata Gelingang Raya sambil memeluk dan mencium kening ibunya. Tanpa terasa air matanyapun jatuh ke pipi.

Setiap pagi setelah merawat ibunya, Gelingang Raya melepaskan kerbau-kerbau dari kandang untuk merumput, dan sore hari pulang karena tahu akan diberi garam oleh pemiliknya. Sebagai lelaki dewasa Gelingang Raya sebenarnya sudah saatnya untuk menikah, harta peninggalan ayahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan ibu dan diriya. Badannya tegap dan kekar karena rajin bekerja. Tetapi karena tempat tinggalnya jauh di bukit Gentala, ia jarang bertemu apalagi berkenalan dengan perempuan. Tidak memiliki sanak saudara yang bisa mencarikannya pendamping, karena hanya hidup berdua dengan ibunya.

Pada suatu ketika pemuda gagah dan bertanggungjawab ini berangkat ke Tampon menjual hasil panen. Sebelum berangkat ia menyiapkan semua barang yang akan dibawa dalam sebuah keranjang yang terbuat dari jalinan rotan anyamannya sendiri. Keranjang itu ia panggul di punggung sehingga ketika berjalan terlihat seperti orang yang membungkuk. Setiap berangkat ia tidak lupa menyelipkan parang sebagai senjata bila ada bahaya yang mengancam di tengah perjalanan.

Tidak ada yang istimewa dalam perjalanannya menuju dan tiba di Tampon, Ibu Kota Kerajaan Meluem. Ia menemui utusan raja Empun Mege langganan ayahnya yang telah menunggu dan akan membeli barang bawaannya. Dengan uang yang didapat Gelingang Raya membeli segala keperluan untuk ibu dan dirinya.

Sebagai Ibu Kota Kerajaan, Tampon terbilang sangat ramai, banyak gadis-gadis muda berjalan kesana-kemari menenteng keranjang berbelanjaan. Tetapi perjaka kampung yang gagah ini terlalu pemalu untuk berkenalan atau sekedar menyapa.

Setelah selesai berbelanja ia memanggul kembali keranjangnya dan bergegas pulang ke bukit Gentala. Ibunya pasti sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Dalam perjalanan ia merasa lapar dan haus, kemudian istirahat sejenak di bawah sebuah pohon rindang, tempat yang biasa ia singgahi bersama Basyar ayahnya dulu. [SY] Bersambung…

Baca Juga : [Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 7

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.