Oleh: Shabirin Arga*
Kedepan adalah momentum konsolidasi tawar menawar dalam men-goal-kan proyek PT. Linge Mineral Resources, pola permainan atau skenarionya adalah medan segitiga, yaitu antara pemilik modal, kelompok atau elit pragmatis dan kelompok para idealis.
Permainan ini, mau tidak mau akan menimbulkan pembelahan di tengah masyarakat Linge. Kelompok elit pragmatis akan lebih agresif, karena menggunakan instrumen uang demi memuluskan kepentingan. Lobi-lobi politik dan transaksi bawah meja menjadi ruang gelap yang tidak akan diketahui publik.
Masyarakat Linge bisa dipastikan setengah sadar ketika dalam menyetujui PT. Linge Mineral Resources. Setengah sadar yang dimaksud adalah minimnya pengetahuan masyarakat Linge tentang dampak pertambangan terhadap lingkungan dimasa yang akan datang atau mengamini proyek yang digadang-gadang saat ini, hanya berorintasikan atau iming-iming pada pekerjaan, dimana pos pekerjaan yang di isi bisa dipastikan sebagian besarnya menjadi kuli di tanah sendiri.
Tidak ada proyek yang tidak bermuatan bisnis, apalagi proyek tambang yang akan membutuhkan infrastruktur yang sangat besar.
Dalam dunia bisnis sebesar apapun kerugian dan kekurangan sebuah produk yang ditawarkan, daya menariknya harus ditampilkan dan dijual untuk deal-nya transaksi.
Sebagian masyarakat belum paham bagaimana cara kerja kelompok konglemerat kapitalis, padahal realitas kemiskinan saat ini merupakan output dari sistem kapitalis yang begitu kejam. Hukum dan konglemerat bisa berdialog dalam ruang tertentu, itulah cara kerja kapitalis, kemudian yang disebut salah satunya transaksi dibawah meja.
Sederhananya kita berpikir begini, apakah penderitaan masyarakat Kalimantan Timur yang disebabkan PT Trias Patriot Sejahtera (TPS) tanpa adanya hitam di atas putih untuk menjamin hak rakyat, yang hari ini mereka menangis karena kesahatan dan hidupnya jadi terencam, begitu juga pertanyaan kita terhadap PT. Freeport, PLTU Celukan Bawang, PLTU Sluke Rembang Jawa Tengah, PLTU Palu apakah semua tambang ini dibuka dan setujui tanpa hitam di atas putih yang diberikan rakyat untuk menjamin hidupnya? Kemana hitam di atas putih itu ketika penderitaan dan tangisan menimpa masyarakat.
Terakhir, mari kita imajinasikan logika berpikirnya, misalkan dalam perjalanannya PT Linge Mineral Resources melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan-udangan atau aturan main yang telah disepakati, apakah kemudian setelah rakyat membawa kasus tersebut ke meja hijau masalah jadi selesai?
Bagaimana jika dampak negatif menimpa masyarakat Linge seperti fakta historis yang dialami masyarakat Kaltim dan beberapa daerah lainnya, apakah rakyat menuntut untuk ditutup, kemudian proyek itu pun diakhiri setelah perjalanannya? Tentunya tidak sesederhana bisa disimpulkan.
Bagi pemilik modal prinsipnya adalah lebih baik melakukan transaksi bawah meja dengan mengeluarkan uang sedikit daripada rugi dan bangkrut sepenuhnya, tentu yang akan diundang dalam pembicaraan di atas meja itu adalah elit dan kelompok pragmatis yang mementingkan kepentingan pribadi.
*penulis adalah pengamat politik dan sosial asal Waq