Oleh : Win Wan Nur*
Nabila, beru Gayo yang bertarung di Liga Dangdut Indonesia (LIDA) Indosiar kembali lolos ke-15 besar dan ini memberi kebahagiaan kepada masyarakat Gayo yang mendukungnya, baik yang suka dangdut maupun tidak.
Saya termasuk pendukung Nabila yang tidak suka dangdut, bukan sekedar tidak suka, bahkan secara pribadi, saya selalu merasa tidak nyaman tiap kali mendengarkan musik dangdut karena genre musik ini selalu membawa ingatan saya ke masa akhir dekade 70-an ketika saya berada dalam perjalanan dari Takengen ke kampung saya di Isak, menumpang bis penumpang berjenis colt, Menara 11 atau Aceh Tengah 10 yang selalu memutar musik dangdut di sepanjang perjalanan. Waktu itu jalan dari Takengen ke Isak belum sebagus sekarang. Waktu itu, karena kondisi jalan, jarak yang cuma 30 kilometer itu ditempuh dalam waktu beberapa jam. Cuaca panas, aroma campuraduk, rasa mual mau muntah akibat goncangan bis menjadi bumbu perjalanan itu.
Sampai hari ini, tiap kali mendengar lagu berirama dangdut, kenangan saya pada perasaan tidak nyaman dalam perjalanan dari Takengen ke Isak dan sebaliknya itu langsung terbayang.
Tapi mengapa saya yang tidak suka dangdut mendukung Nabila? Itu karena urusan mendukung Nabila, bukanlah sekedar selera pribadi. Nabila wajib didukung oleh siapapun yang mengaku Gayo, karena seperti dulu Naura tampil membawa identitas Gayo ke pentas nasional. Nabila pun begitu. Beru Gayo ini adalah adalah duta Gayo yang sesungguhnya. Nabila tampil di acara televisi dengan rating tinggi, sehingga Gayo yang ditampilkan Nabila jauh lebih besar daya ledaknya dibandingkan duta pariwisata, duta kopi dan sejenisnya.
Gayo etnis yang anggotanya hanya beberapa ratus ribu jiwa ini tidak banyak diketahui orang di luar sana. Lewat dari Medan, orang rata-rata mengernyitkan kening mendengar nama ini. Belakangan nama Gayo mulai dikenal seiring dengan naiknya pamor kopi Gayo, tapi itupun tidak membuat orang tahu kalau Gayo adalah nama sebuah etnis di Indonesia dengan peradaban yang sudah sedemikian tua, lengkap dengan segala macam produk budayanya, mulai dari kearifan lokal sampai seni.
Ada beberapa sebab yang membuat Gayo tak banyak dikenal, salah satu yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah, baik itu yang sifatnya provinsial maupun nasional. Beberapa usaha sudah dilakukan, mulai dari tingkat lokal seperti pengenalan melalui tari Saman masal, mulai seringnya pacuan kuda muncul di televisi, tapi semua acara seperti itu bukanlah acara dengan rating tinggi yang menarik minat banyak penonton. Dulu kehadiran Naura di acara pencarian bakat idola cilik, membuat Gayo masuk ke acara dengan rating cukup tinggi, dan kini Nabila muncul lagi di acara dengan rating yang lebih tinggi lagi. Ini membuat lebih banyak orang mengenal Gayo.
Lalu apa pentingnya Gayo dikenal orang? Pertanyaan seperti ini sering diajukan oleh orang-orang pragmatis yang hanya berhitung untung rugi dalam jangka pendek. Orang yang bertanya seperti ini lupa kalau manusia bukanlah makhluk yang kualitasnya dinilai dari kualitas daging, tulang dan ukuran fisik lain. Manusia dinilai dan ingin dinilai dari peradabannya, dari karyanya, manusia butuh apresiasi. Dan dengan kemunculannya, Nabila telah membuat Gayo diapresiasi. Keberadaan Nabila di acara televisi dengan rating tinggi ini membuat orang jadi tahu Gayo, karena Nabila orang banyak tahu didong dan tari guel, satu-satunya tari di dunia yang menjadikan gajah sebagai sumber inspirasi gerakannya adalah merupakan karya budaya buah dari peradaban Gayo yang tua.
Bukan hanya hal di atas, lebih penting dari itu, kehadiran Nabila dan sebelumnya Naura perlahan mengikis kelemahan mendasar orang Gayo modern yang tidak pernah rela melihat sesama orang Gayo muncul lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sifat seperti seperti gerep alias kepiting di dalam ember yang tak pernah rela sesama gerep bisa meloloskan diri dari ember yang mengurungnya.
Perlu kita ketahui bersama, sifat seperti ini bukanlah sifat orang Gayo sedari mula. Sifat ini didapat orang Gayo sebagai warisan dari penjajahan Belanda. Kemungkinan atas usul Snouck Hurgronje.
Sebelum Belanda datang, Snouck Hurgronje sendiri dalam bukunya “Het Gajoland “ mengatakan kalau orang Gayo itu bersifat egaliter, tak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan sesamanya. Masyarakat seperti ini susah dikendalikan, karena tidak mudah silau dengan jabatan seseorang. Karena itulah, ketika Belanda menaklukkan Gayo dengan panduan buku itu. Belanda merusak karakter itu, mereka mengadopsi pola penjajahan yang mereka lakukan di wilayah nusantara lainnya, seperti di pesisir dan terutama di Jawa. Berkolaborasi dengan para feodal setempat, menjadikannya kaki tangan untuk menindas sesama pribumi.
Karena Gayo tak mempunyai tradisi feodal seperti itu, Belanda menciptakan feodal-feodal artifisial yang bisa bekerja sama dengan mereka. Raja-raja Gayo yang asli, yang menentang penjajahan dihabisi, raja-raja yang mau bekerjasama dipertahankan dan diberi kekuasaan layaknya para penguasa feodal yang ada di pesisir dan terutama di Jawa. Kalau tidak ada raja, bahkan anak budak pun diangkat oleh Belanda menjadi kaki tangannya, diberi jabatan raja atau kejurun.
Kalau sebelumnya jabatan raja atau kejurun atau pemimpin di Gayo tak memberi keuntungan ekonomi apapun. Sejak Belanda berkolaborasi dengan kaum feodal bentukannya, jabatan seperti itu menjadi menguntungkan secara ekonomis. Dampaknya, sejak saat itu mulai muncul sifat orang Gayo yang membanggakan keturunan, yang sebelumnya tak pernah dikenal, mulai muncul. Raja-raja feodal bentukan Belanda ini mulai mewariskan sifat sok kelas pada anak keturunannya. Mereka begitu bangga dengan keagungan garis keturunannya yang didasarkan pada bukti mereka klaim sendiri, meskipun mayoritas orang Gayo mencibirnya.
Di masyarakat Gayo sendiri mulai muncul sifat untuk tidak bisa melihat orang Gayo lain berdiri lebih tinggi dari yang lain. Kalau ada orang Gayo yang maju, yang lain bukannya mendukung, tapi mencibir dan merendahkan. Entah itu dengan mencela garis keturunan, meremehkan pencapaiannya atau merendahkan dengan mengutip tafsiran tertentu atas ayat-ayat suci dan ajaran agama.
Naura dan sekarang Nabila mengikis kelemahan orang Gayo warisan belanda ini. Dulu ketika Naura muncul dan sekarangn Nabila, orang Gayo mendukungnya untuk berprestasi. Fenomena seperti ini adalah modal yang sangat besar bagi peradaban Gayo di masa depan, karena saat ini ketika dunia sudah nyaris tak berbatas, bertarung sendirian, mengandalkan kemampuan pribadi sejago apapun seseorang sudah tidak lagi efektif, pertarungan di abad modern ini memerlukan kolaborasi. Di sinilah ketika Naura dan sekarang Nabila membuat Gayo, bersatu mendukungnya. Itu adalah sebuah pelajaran bagi kita orang Gayo yang biasa bertarung sendiri-sendiri menjadi bersatu dalam sebuah kelompok.
Tapi memang karena sudah menjadi sifat sejak lama, ada saja orang Gayo bergaya lama yang tidak rela sesama orang Gayo lebih tinggi dari dirinya, entah itu orang Gayo yang mabuk gelar raja, yang mengaku-ngaku sendiri sebagai keturunan raja meski orang lain tak mempedulikannya, atau para politisi Gayo yang menjual Gayo demi kepentingan pribadi, entah itu dengan cara menjadi panitia Hymne Aceh yang melecehkan keberadaan Gayo, atau yang istrinya mengatakan orang Gayo bodoh karena tidak bisa berbahasa Aceh atau yang mengatakan utok ni koro pada orang-orang yang mendukung Nabila. Orang-orang seperti ini tampaknya diuntungkan dengan posisi Gayo yang terus lemah. Meskipun mereka Gayo, para politisi ini seperti tidak rela melihat Gayo besar dan berdiri sejajar dengan etnis-etnis lain karena mendapat keuntungan untuk dirinya pribadi ketika orang Gayo dalam posisi lemah sehingga dia bisa menjual kelemahan itu ke tuannya, mereka tidak rela melihat Nabila berada di posisi yang lebih tinggi dari dirinya di mata orang Gayo lainnya. Orang-orang seperti inilah yang mencoba menjatuhkan putri Gayo kebanggaan kita ini.
Dalam adat Gayo di masa lalu, orang-orang seperti ini, harus dikucilkan, harus diparak, jangan lagi diterima dalam pergaulan sosial. Karena kalau anasir-anasir seperti ini dibiarkan ada di dalam diri orang Gayo, kita akan jauh dari semangat persatuan dan Gayo akan semakin tertinggal dalam persaingan global.
Kita masyarakat Gayo harus melindungi Nabila dari manusia-manusia pengkhianat Gayo semacam ini. Sebab selain dua alasan di atas, dengan adanya Nabila mampu bersaing di kancah nasional seperti sekarang ini. Itu akan membangkitkan rasa percaya diri anak-anak Gayo yang lain. Bahwa mereka pun tidak berbeda dengan Nabila. Mengutip kalimat Sabriandi, seorang putra Gayo yang berkiprah di ibukota. Mengapa kita harus mendukung Nabila, itu supaya besok atau lusa, anak-anak kita yang juga orang Gayo, juga merasa percaya diri untuk bersaing di kancah nasional, karena mereka juga Gayo, tak ada bedanya dengan Nabila. []