Oleh : Win Wan Nur
TAHUN 1985, di rumah kami di Dedalu, saya dan almarhum adik sa baru pulang dengan berjalan kaki dari sekolah saya di SD Negeri 1, Takengen yang berjarak 2 kilometer dari rumah. Tiba di rumah, saya melihat ada seorang tamu yang kira-kira seumuran ayah saya.
Melihat kami berdua, tanpa diminta, sang tamu tiba-tiba langsung meramalkan masa depan kami berdua. Ramalan yang sama sekali tidak saya percaya, tapi anehnya, di kemudian hari terbukti, apa yang dia katakan itu benar adanya.
Tamu itu adalah seorang Pawang yang berasal dari Isak, kampung asal saya. Kedatangannya ke rumah kami adalah atas permintaan ayah saya yang saat itu bekerja sebagai PNS di departemen sosial. Ketika itu ayah saya baru saja mendapat perintah dari Departemen Sosial pusat di Jakarta untuk mencari makhluk misterius yang di Gayo dikenal dengan nama “Manti”. Makhluk yang dalam cerita yang umum diketahui oleh hampir semua orang Gayo sebagai makhluk seperti manusia tapi bertubuh pendek seperti anak-anak, tingginya tak sampai satu meter, tapi berlari cepat sekali dan sangat menghindari bertemu manusia. Konon bahkan Presiden Soeharto pun sudah mengetahui ceritanya.
Ketika ayah saya mengajukan permintaan untuk mencari Manti, sang pawang langsung angkat tangan. Menurut sang pawang, mencari Manti itu mustahil dilakukan.
“Tapi ini presiden Soeharto sendiri yang memerintahkan, karena katanya Manti itu juga warga negara Indonesia”, desak ayah saya.
“Soal Warga Negara Indonesia, babi hutan juga warga negara Indonesia, itu lebih mudah dicari“, jawab sang Pawang dengan segala kepolosannya.
Setelah peristiwa itu, di Banda Aceh ketika saya bergabung dengan kelompok pecinta alam UKM-PA Leuser Unsyiah, kami pernah beberapa kali membahas soal makhluk bernama Manti ini. Seorang adik angkatan saya, Aria Winjaya yang biasa kami panggil “Win Yoh” mengatakan kalau dia pernah bertemu seorang pencari rotan di salah satu dusun terpencil di Gayo yang mengaku sempat bertemu bahkan menikah dengan Manti. Tapi Win Yoh sendiri tidak pernah bertemu Manti.
Tahun 2014, dalam pertemuan akbar rakyat Gayo yang diisi dengan seminar yang merupakan rangkaian dari event Saman 5005 di Belang Kejeren, pembahasan tentang Manti ini kembali mengemuka antara kami sesama peserta. Sama seperti di wilayah Gayo Lut, wilayah Gayo yang lain pun seperti Gayo Lues dan Serbejadi juga sangat familiar dengan cerita Manti, ciri dari Manti yang beredar dalam kisah dari mulut ke mulut di dua wilayah Gayo ini pun persis seperti ciri-ciri Manti yang diceritakan di Gayo Lut. Selain Manti, ada satu lagi makhluk misterius dengan fisik seperti manusia yang konon juga tinggal di hutan-hutan Gayo. Orang Gayo menyebut makhluk ini dengan nama “Kumen” yang memiliki ciri telapak kaki terbalik, sehingga ketika melihat jejaknya, mereka tampak seperti berjalan mundur. Orang di luar Gayo sering rancu dalam penyebutan Manti dan Kumen ini.
Tahun 2015, LintasGAYO.co menurunkan liputan tentang Manti. Ketika liputan ini diterbitkan dalam versi cetak, ini menjadi edisi cetak LintasGAYO yang paling laris dan paling dicari oleh pembaca.
Tapi meski sudah diulas panjang lebar oleh LintasGAYO.co, keberadaan Manti tetap misterius.
Beberapa hari yang lalu, sosok seperti Manti tertangkap kamera seorang pengendara trail yang sedang bertualang di hutan Aceh Besar. Dalam video itu terekam sosok makhluk serupa manusia dengan perawakan kecil, berlari sangat cepat sambil menenteng kayu. Ciri-cirinya persis seperti Manti yang umum diceritakan dari mulut ke mulut oleh orang Gayo.
Tak pelak video inipun segera menciptakan kehebohan. Seperti biasa, setiap muncul sesuatu yang tidak biasa seperti ini masyarakat terbelah pro dan kontra. Ada yang langsung percaya, tapi ada pula yang bersikap skeptis, bahkan ada yang menganggap video itu sebagai sebuah editan.
Dugaan terakhir ini dibantah keras oleh Arif Khairullah, adik kelas saya di Jurusan Teknik Sipil FT Unsyiah yang juga anggota komunitas motor trail di Aceh. Pengunggah foto itu, Fredo Pastrana adalah teman baiknya yang dia tahu persis tidak mungkin mengedit video yang dia sebarkan melalui youtube.
Tapi yang menarik bagi saya bukanlah soal perdebatakan tentang asli tidaknya video ini, melainkan tanggapan para ahli sesudah beredarnya video MANTI ini.
Tidak lama setelah video ini beredar, Senin 27 Maret 2017, detik.com menurunkan sebuah berita yang ditulis oleh Danu Damarjati berjudul “Legenda Suku Mante dan Jejak Mungil di Tanah Rencong” yang berisi tanggapan dari Husaini Ibrahim yang dalam berita ini disebutkan sebagai seorang arkeolog dari Universitas Syiah Kuala. Dalam tanggapannya Arkeolog yang sebelumnya juga menyatakan bahwa penetapan Barus sebagai Titik Nol peradaban Islam Nusantara oleh Presiden Jokowi sebagai penistaan sejarah ini mengamini keberadaan makhluk misterius ini dan mengatakan bahwa Mante memang dikenal sebagai salah satu suku tertua di Aceh.
Sementara itu, antropolog dari Unimal, Teuku Kemal Fasya dengan tegas menolak kesimpulan seperti itu, malah dosen yang dikenal dengan tulisan-tulisannya di media nasional ini dalam sebuah komentar di Facebook dengan tegas mengatakan hal itu sebagai pemahaman yang keliru dalam memahami suku bangsa “Hoax, memalukan”, tegasnya.
Di kesempatan lain, arkeolog lain, DR.Ketut Wiradyana, pemimpin proyek penggalian situs arkeologi Loyang Mendale Takengen yang penemuannya menggemparkan jagat arkeologi dunia. Dalam sebuah komentar di status facebook saya, senada dengan Kemal Fasya tapi melihat dari sisi keilmuannya, dengan tegas mengatakan “Buat saya Manti itu tidak ada”.
Kembali ke artikel detik.com, di alinea berikutnya setelah pengakuan Husaini Ibrahim. Dituliskan bahwa “Usaha penelaahan ilmiah menuturkan mereka masih satu kerabat dengan suku-suku lain di wilayah regional”. Di sini suku-suku itu disebut suku Lanun, Sakai, hingga suku-suku berbahasa Mon-Khmer. Tidak jelas apakah ini pernyataan dari sang Arkeolog atau karangan dari penulis artikel ini.
Menjadi sangat janggal kalau apa yang ditulis oleh Detik.com ini adalah pernyataan sang arkeolog, karena faktanya, sampai hari ini sama sekali belum pernah ada usaha penelaahan ilmiah apapun dalam bidang arkeologi tentang suku Manti. Sampai hari ini belum pernah ditemukan kerangka suku manti, artefak-artefak peninggalan suku Manti dan apapun yang berkaitan dengan hidup suku Manti. Sementara yang namanya standar dan etika ilmiah itu sangat kaku dan tegas. Sesuatu bisa dikatakan ada hanya kalau sudah ada bukti empiris tentang keberadaannya. Dalam dunia arkeologi, makhluk seperti Manti baru boleh dikatakan ada kalau sudah terbukti ada temuan kerangkanya, bagian dari tubuhnya atau artefak-artefak peninggalan budayanya. Sebuah gambar singkat yang tertangkap kamera video sebagaimana yang heboh beberapa hari ini, sama sekali tidak mencukupi sebagai syarat untuk menyatakan bahwa makhluk bernama Manti itu ada. Karena itulah Ketut Wiradyana berani dengan tegas mengatakan “Bagi saya Manti itu tidak ada”. Itu karena sebagai seorang arkeolog, dalam berpendapat, dia konsisten mengikuti standar dan etika ilmiah.

Di luar sikap yang diambil Ketut, kenyataannya, sejauh ini, dalam kaitannya dengan Manti, apa yang disebut sebagai telaah ilmiah sebenarnya hanyalah kutipan dari catatan para antropolog zaman dulu, seperti Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Mante adalah suku tertua di Aceh. Dari pernyataan Hurgronje inilah muncul spekulasi kalau Mante berkerabat dengan suku-suku lain di wilayah regional. Dan kalau spekulasi ini benar, maka jelas sekali Mante yang dibicarakan di sini adalah jenis makhluk yang berbeda dengan Manti yang misterius sebagaimana diceritakan dari mulut ke mulut di masyarakat Gayo. Padahal, seperti apa Mante yang dimaksudkan oleh Hurgronje sebenarnya juga tidak jelas. Sampai hari ini sama sekali tidak pernah ada telaah lanjutan terhadap kutipan Hurgronje itu, apalagi bukti empiris.
Tapi kenapa tanpa bukti empiris Husaini Ibrahim, sang arkeolog dari Unsyiah berani menyatakan bahwa Mante itu benar ada?.
Semua menjadi jelas ketika sang Arkeolog dari Unsyiah ini mengatakan bahwa “Ada cerita, zaman dahulu kala mereka itu awalnya berada di satu kawasan di Aceh Besar, yakni kampung Seumileuh alias Kampung Dua Blaih”. Ternyata, sebagai seorang Arkeolog, Husaini Ibrahim sama sekali tidak mendasarkan pendapatnya pada sebuah bukti temuan arkeologi, melainkan pada cerita orang semata.
Jadi terkait manti ini, yang membedakan sang arkeolog dengan kita para awam ini sebenarnya hanya pada gelar akademik saja. Kalau bicara soal kualitas informasi yang disampaikan sebenarnya sang Antropolog ini tak ada bedanya dengan, mereka tak ada bedanya dengan kita yang awam. Kualitas informasi yang disampaikan sang Arkeolog tidak lebih baik kalau tidak bisa dikatakan lebih buruk dibanding informasi tentang Manti yang bisa kita dapatkan dari kakek nenek kita ataupun orang yang mengaku pernah bertemu bahkan kawin dengan Manti yang ditemui Win Yoh, adik angkatan saya.
Pendapat sang Arkeolog dinilai sementara kalangan sebagai pendapat yang ilmiah hanya semata karena beliau memiliki gelar akademik saja.
Lalu benarkah klaim Husaini Ibrahim bahwa Manti secara ilmiah memang benar ada?. Silahkan para pembaca sendiri yang menyimpulkannya.[]
*Pengamat sosial budaya, tinggal di Bali