Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*
Menjelang siang hari ini, ditengah aktifitas rutin, tiba-tiba saya kedatangan seorang tamu di kantor, seorang petani kopi yang memang sering curhat tentang berbagai hal, terutama urusan kopi dan kelompok tani. Meski tanpa suguhan kopi, tapi saya tetap berusaha menyambut hangat kedatangan tamu ini, karena ini memang bagian dari tugas saya sebagai pelayan masyarakat.
Setelah kupersilahkan duduk, tamu tadi yang tidak lain Zaini, seorang petani kopi yang juga Ketua Kelompok Tani Maju Bersama dari Kampung Merah Mege, Atu Lintang. Setelah sedikit berbasa basi salang menanyakan kesehatan, Zaini mulai menceritakan perjalanan yang baru saja dia lakukan untuk mempromosikan kopi arabika Gayo ke luar daerah,
“Saya baru pulang dari Bondowoso Bang,” katanya dengan antusias. ”Kami mewakili Aceh dalam Festival Kopi Nusantara, Alhamdulillah kita dapat Juara 2 dalam festival ini,” lanjutnya sambil menyerahkan cuplikan berita dari sebuah media cetak yang terbit di Jawa Timur.
Sekilas saya dapat membaca bahawa Festival Kopi Nusantara yang baru saja di ikuti oleh Zaini adalah sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Bondowoso Republik Kopi dan diikuti oleh 84 peserta yang berasal dari daerah-daerah penghasil kopi arabika di Indonesia, seperti Gayo, Toraja, Mandailing, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Jawa Timur sendiri sebagai tuan rumah. Festival kopi ini mejadi terasa unik karena di gelar di kawasan Gunung Ijen, Kabupataen Bondowoso, Jawa timur yang belakangan memang mulai dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan kualitas baik. Bahkan sebuah film yang bercerita tentang kopi berjudul “Filosofi Kopi” hasil garapan Sutradara Angga Dwimas Sasongko juga mengambil setting kawasan Gunung Ijen ini.
Sejak dipopulerkan lewan film tersebut, popularitas Gunung Ijen sebagai penghasil kopi berkualitas baik mulai tersebar kemana-mana, apalagi peran media juga sangat efektif sebegar penyebar berita, membuat Kawasan Gunung Ijen yang berada di Kabupaten Bondowoso itu semakin dikenal masyarakat luas. Padahal kalu dilihat dekat, kopi Ijen itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan daerah penghasil kopi arabika lainnya. Luas areal perkebunan kopi arabika di kawasan Ijen tidak lebih dari 40 hektar dan termasuk belum lama dikembangkan, yaitu baru dimulai sekitar tahun 1986. Tapi karena gencarnya promosi dan publikasi melalui beragai media, sehingga kopi Ijen menjadi begitu sangat terkenal, seakan mengalahkan daerah penghasil kopi yang lebih dulu eksis.
Kembali kepada tamu saya, Zaini, meski tersirat rasa bangga telah berhasil meraih juara dua dalam festifal kopi paling bergengsi tersebut, tapi ada raut kekecewaan terpancar di wajah Zaini,
“Harusnya kita yang menang Bang, karena selisih nilainyapun hanya sedikit sekali dengan juara pertama, lagipula dari segi aroma dan rasa, kopi kita jauh lebih baik” ungkap Zaini “Tapi saya tetap bersyukur, setidaknya melalui festival ini, kopi Gayo semakin dikenal oleh masyarakat luas, karena selama ini kita memang kalah dari segi promosi dan publikasi” lanjutnya sedikit mengeluh.
Ketika saya bertanya siapa yang menjadi juara dalam Festival Kopi Nusantara 2016 ini, Zaini kemudian membuka catatanya, dari catatan itu saya dapat melihat bahwa Juara I dalam festival ini diraih oleh tuan rumah Bondowoso, yang diwakili oleh Suyitno, petani kopi arabika di kawasan gunung Ijen, Sementara kopi Gayo yang diwakili oleh Zaini dengan kopi arabika organiknya, meraih juara 2, sedangkan posisi ketiga diraih oleh pendatang baru yaitu Pengalengan, Jawa Barat yang diwakili oleh CV Frinsa Agrilestari.
Meski predikat juara 2 itupun sudah cukup membanggakan bagi para petani kopi Gayo, namun kekecewaan Zaini yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam budidaya kopi Gayo ini, perlu menjadi bahan pemikiran bagi kita semua. Ketika kita di Gayo, seakan terlena dengan euphoria specialty coffee yang sudah mendapat pengakuan dari Eropa dan Amerika, diam-diam daerah lain juga mulai membenahi kualitas kopi arabika mereka, lihat saja kabupaten Bondowoso yang kini terkenal dengan kopi Ijen nya, atau kabupaten Bandung yang kini mulai memperluas areal perkebunan kopinya, serta daerah penghasil kopi lainnya yang memang sudah ada sejak dulu seperti Toraja, Mandailing dan Bali. Jika kita terus terlena, bukan tidak mungkin kendali kopi arabika yang selama ini kita pegang, akan lepas dari tangan kita.
Sebelum berpamitan, Zaini sempat menitip pesan kepada saya untuk sering-sering menulis tentang kopi Gayo di media,
“Usahakan abang sering nulis tentang kopi di media, saya semakin menyadari peran media dalam publikasi dan promosi kopi setelah mengikuti festival kopi nusantara ini, kalao kita kalah di bidang publikasi, kita juga akan kalah di bidang lainnya” ungkapnya sedikit menggebu ”Coba abang bayangkan, Gunung Ijen di Bondowoso itu cuma punya lahan kopi 40 hektar, tapi mereka bisa begitu terkenal, itu kenapa? Semua karena mereka menguasai media” lanjutnya.
Apa yang disampaikan zaini ada benarnya, kita tidak boleh hanya terpaku pada proses budidaya, pengolahan dan pemasaran, tapi kita juga harus mampu menguasai media untuk mempromosikan dan mempublikasikan produk unggulan kita ini, karena tanpa media, kopi kita tidak mungkin akan dikenal kemana-mana.