M. Isa Umar, Sang Penerobos MTQ di Gayo

oleh

Darmawan Masri*

ISA-UmarBERBICARA perjalanan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Dataran Tinggi Gayo, sebenarnya tidak terlepas dari sosok ulama yang telah puluhan berkecimpung di dunia seni membaca (tilawah) Al-Qur’an itu. Adalah Tgk. M. Isa Umar, layak diklaim sebagai sosok penerobos tilawah di Gayo secara khusus.

Pulang merantau dari Banda Aceh, M. Isa Umar pulang ke kampung halaman dan mengajar sebagai guru di Pendidikan Guru Agama (PGA) Takengon. Saat itu dia melihat bahwa, pola membaca Al-Qur’an di Gayo masih secara kedaerahan, dalam artian pembacanya tidak mengerti lagu apa yang dia bawakan saat mengaji.

“Saya mendengar bacaan Al-Qur’annya masih secara bahasa Gayo, tidak ada seni dan keindahan didalamnya. Hal ini sangat jauh tertinggal seperti di daerah pesisir, dimana seni membaca Al-Qur’an saat itu sudah berkembang lagu dari Malaysia,” kenang M. Isa Umar.

Diceritakan, saat itu di Aceh juga belum mengenal jenis-jenis lagu dalam seni membaca Al-Qur’an seperti yang diketahui sekarang, hanya mengenal lagu dari Malaysia saja. Hal itu tidak terjadi di Gayo, dimana pola bacaannya masih menggunakan bacaan secara Gayo, artinya urang Gayo saat itu belum mengenal lagu seni membaca Al-Qur’an.

M. Isa Umar mengatakan bahwa, ulama-ulama Gayo terdahulu tidak terlalu ahli dalam urusan seni membaca Al-Qur’an, namun keilmuan lainnya seperti fiqh, tafsir dan lainnya, sudah lebih jauh berkembang.

Sebagai seorang guru, M. Isa Umar merasa risih. Dia meminta kepada kepala PGA, saat itu dijabat oleh Pak Saleh, untuk fokus mengajar Al-Qur’an. Awalnya keinginan itu ditolak, dia diminta menjadi guru Bahasa Inggris. Setelah menjelaskan permasalahan yang terjadi di siswa PGA saat itu, akhirnya Kepala Sekolah mengijinkannya membaca Al-qur’an.

“Saya hanya berpikir saat ini, ada generasi yang bisa membaca Al-Qur’an yang bisa memahami indahnya seni dalam membacanya. Muncul ide untuk membuat perlombaan memabca Al-Qur’an dikalangan siswa. Minat siswa PGA saat itu mulai muncul memperlajarinya, semakin hari semakin banyak yang suka dan menjadi penyemangat kepada saya pribadi untuk mengajarkan,” kenangnya.

Tidak lama berselang, M. Isa Umar mendapat tugas belajar kembali di Banda Aceh. Pembinaan membaca Al-Qur’an di Takengon, Aceh Tengah saat itu menjadi sedikit vakum.

Saat menjalani tugas belajar, Provinsi Aceh menggelar MTQ yang diikuti oleh Kabupaten-Kabupaten, pada tahun 1969 di Kota Sabang. Saat itu kenang M. Isa Umar, peserta dari seluruh Kabupaten di Aceh sudah mendaftar, sedangkan dari Gayo belum ada. Melihat kondisi tersebut, para tokoh Gayo di Banda Aceh mengadakan pakat murum (musyawarah).

“Melalui pakat murum tersebut, ditunjuklan saya mewakili Aceh Tengah. Para tokoh Gayo di Banda Aceh resah melihat urang Gayo tidak pernah ikut dan tampil di pentas Provinsi, diambilah kesputusan untuk mendaftar langsung tanpa melalui rekomendari dari daerah, saya yang ditunjuk untuk menjadi duta Gayo,” kata M. Isa Umar.

Diceritakan lagi, dirinya diantar rombongan para tokoh Gayo ke Pelabuhan Ule Lhe seperti mengantar rombongan pengantin, sebelumnya dia dilatih oleh guru mengaji dari Medan yang dipesan langsung oleh tokoh Gayo di Banda Aceh.

“Yang saya ingat ada beberapa tokoh yang mengantar saya ke pelabuhan diantaranya Latief Rusdy, Abdullah Pediwi, Sulaiman Hanafiah (Urang Gayo yang berdomisili di Amerika), Beni Banta Tjut, Nurdin Sufi, masih banyak lagi tokoh-tokoh urang Gayo di Banda Aceh mengantar saya ke pelabuhan. Begitulah keinginan mereka saya tampil di MTQ Provinsi pertama kalinya,” kenang M. Isa Umar.

Pada MTQ pertama itu, M. Isa Umar berhasil meraih juara ketiga. Namanya, santer diperbincangkan dikalangan ulama di Aceh saat itu.

Saat itu, perkembangan seni membaca Al-Qur’an di Gayo mulai tumbuh. Berstatus masih menjadi tugas belajar, M. Isa Umar tidak sering pulang kampung ke Takengon. Di Takengon sendiri, mulai muncul Qari-qari seperti Aman Tawardi dan lainnya.

Dilanjutkan, lagi pada MTQ ke-2 Provinsi, Aceh Tengah mulai mengirimkan kafilahnya Banda Aceh. “Pada saat itulah, saya melihat yang dikirim orang-orang yang usianya sudah lanjut, yang saya ingat hanya Aman Tawardi yang masih muda dan sebaya saya,” ungkap M. Isa Umar.

Usai menyelesaikan tugas belajarnya, M. Isa Umar kembali ke Takengon. Dengan status yang masih bujang, dia selalu menjadi pilihan dan memenangi MTQ di tingkat Kabupaten Aceh Tengah pada masa itu.

“Saingan saya hanya Aman Tawardi. Kami yang selalu menjadi juara, awalnya saya tidak mengenalnya, lama-kelamaan akhirnya akrab dan menjadi keluarga, karena menikah dengan until (keponakan) saya dari Wih Nareh Pegasing,” kata M. Isa Umar.

MTQ tingkat Provinsi, katanya lagi saat itu berlangsung setahun sekali dan tempat pelaksanaannya tetap digelar di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. “Saya lupa atas kebijakan Gubernur siapa akhirnya digilir ke Kabupaten-Kabupaten,” ujarnya.

M. Isa Umar bersama Aman Tawardi selalu menjadi pilihan Kabupaten Aceh Tengah untuk ikut MTQ Provinsi. Dikenangnya, keinginan kuat mengajarkan Al-qur’an standar MTQ di Takengon semakin bersemangat. Mulai antusian masyarakat belajar tumbuh, setiap malam, rumah M. Isa Umar dipadati anak-anak yang belajar mengaji. Sejak itulah, seni membaca Al-Qur’an mulai dipahami urang Gayo dimana sebelumnya hanya membaca biasa-biasa saja dan dialek kedaerah kental terasa.

Seingatnya, selama mengikuti MTQ sebagai wakil Aceh Tengah dirinya tak pernah meraih juara pertama, hal itu dikarenakan pembinaan di Aceh Tengah saat itu tidak dilakukan. “Saya berguru pada orang yang sama dengan juara-juara MTQ di Aceh saat itu, namun karena saya pulang kampung dan membina disini, ilmu saya jauh ketinggalan dari mereka yang terus mendapat pembinaan,” ungkapnya.

Dia mengakui, berkembangnya seni membaca Al-Qur’an di Gayo besar akibatnya pada event MTQ yang diperlombakan hingga ketingkat Provinsi bahkan ke Nasional. “Sejak itulah, pengajian marak di Aceh Tengah, setiap kecamatan aktif membimbing anak-anaknya untuk menjadi terbaik saat diseleksi di Kabupaten. Karena ini memang program nasiona. Tak hanya di Gayo, seluruh daerah di Aceh juga sama,” katanya.

Ditambahkan lagi, ada ketidakpuasan Kabupaten Aceh Tengah saat bertanding di MTQ Provinsi, alasannya karena tidak pernah meraih gelar juara pertama. M. Isa Umar menceritakan, saat dirinya diutus mewakili daerah ke MTQ Provinsi, di Langsa protes itupun mulai mencuat.

“Banyak yang mengatakan begini, kenapa urang Gayo tak pernah menjadi juara pertama, banyak yang menyalahkan orang Aceh. Saya mengakui, saat itu kita belum paham lagu-lagu dalam membaca Al-Qur’an, saya pun hanya mengetahui lagu-lagu yusir dari Malaysia, sedangkan di Pesisir pengkajian secara ilmiah terhadap lagu tersebut sudah berkembang,” ungkapnya.

Setelah itu mencuat, barulah pemerintah daerah Aceh Tengah merasa malu, karena tak pernah menjadi yang terbaik. Sejak itulah, disusun program pembinaan yang lebih matang. Pemerintah daerah berkonsultasi bersama dirinya. M. Isa Umar mengusulkan mendatangkan pelatih dari Sumatera Utara.

“Saat itu dipanggilah Hasan Basri dari Medan, beliau adalah Qari terbaik Indonesia saat itu yang sudah menjuarai MTQ di tingkat Internasional, sebagai pelatih. Pak Nurdin Sufi saat itu menjabat sebagai Bupati Aceh Tengah, saya digodok selama dua bulan bersama Hasan Basri. Ada beberapa orang yang ikut dibina dengan saya. Tempat pembinaannya di Pendopo Bupati, dia membina khusus lagu. Sejak itulah urang Gayo mulai mengetahui jenis-jenis lagu dalam membaca Al-Qur’an. Sekarang Hasan Basri sudah Almarhum, dialah orang berjasa terhadap Gayo dalam hal mengetahui lagu-lagu dalam membaca Al-Qur’an. Tahunnya saya tidak ingat, pembinaan ini dipersiapkan mengikuti MTQ di Langsa,” kata M. Isa Umar.

Sebulan pembinaan berjalan, seingat M. Isa Umar, Hasan Basri memprogramkan penampilan murid yang dibinanya untuk tampil di kecamatan-kecamatan. Tujuannya melatih mental agar tidak gugup saat bertanding.

 “Pernah suatu saat Hasan Basri diminta menjadi imam di Masjid Asir-Asir, saat itu bacaannya sangat indah, orang-orang mulai bertanya siapa dia. Akhirnya tengku-tengku di Gayo diundang sehari, mengikuti pembinaan dari Hasan Basri,” kenang M. Isa Umar.

Tak hanya menimba ilmu dari Qari Internasional, Hasan Basri, M. Isa Umar juga pernah menimba ilmu dari beberapa Qari nasional dan internasional lainnya, kesemuanya berasal dari Sumatera Utara.

Dia mengakhiri karir sebagai Qari MTQ Aceh Tengah pada tahun 1989. Sesudah itu, M. Isa umar aktif membina dan menciptakan kader-kader dalam persiapan mengikuti MTQ. “Dulu perlombaan yang ada di MTQ hanya membaca Al-Qur’an saja, tidak seperti sekarang ini ada beberapa cabang. Jadi khusus pembinaannya di cabang tilawah saja,” kata M. Isa Umar.

Menanggapi capaian prestasi yang tidak memuaskan pada MTQ Provinsi di Kabupaten Nagan Raya baru-baru ini, M. Isa Umar mengaku sedih. Menurutnya, pembinaan yang tidak terpola dengan baik menjadi penyebabnya, ditambah anggaran yang minim.

Sebagai sesepuh MTQ di Aceh Tengah, M. Isa Umar berharap ada perhatian serius dari pemerintah terhadap pembinaan peserta yang akan tampil di MTQ Provinsi mendatang. Sebenarnya, secara kualitas anak-anak Gayo mampu menjadi terbaik.

“Saya lihat, kalau suara kita selalu menang. Namun, terkendala di beberapa hal teknis lainnya. Solusinya hanya pembinaan berkelanjutan, jika ingin pada MTQ yang akan datang prestasi kita meningkat. Ini adalah marwah kita selaku urang Gayo yang belum pernah menjadi terbaik di Provinsi khususnya MTQ,” demikian M. Isa Umar. []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.