Mencari Ayah Yang (Hampir) Hilang

oleh

Oleh : Ida Nusraini*

KEMANA Ayah di negeri kita? Ayah yang menjadi sosok idola kebanggaan seluruh anggota keluarga. Ayah yang menjadi teladan anak istri soal ibadahnya. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak. Ayah yang peduli dengan keluh kesah istrinya, bahkan senyum ketika istrinya marah-marah (silakan baca kisah Umar bin Khattab ketika dimarahi istrinya).

Ayah yang lengan kokohnya memeluk anak-anak ketika ada masalah, “Tenang nak, ada Ayah disini”. Kalaupun ada mungkin minim sekali jumlahnya. Kita cari di mesjid, sedikit yang ada, itupun cenderung yang lanjut usia (maaf kalau ada juga yang masih muda), cari di kelompok-kelompok pengajian, pasti kita kecewa karena umumnya ibu-ibu semua, yang paling ganteng ya ustadznya, beserta “golongan minoritas” yang cenderung itu-itu saja.

Kemana Ayah di negeri kita?. Di cari saat rapat orang tua murid disekolah-sekolah, itupun nyaris tidak ada. Jumlah yang agak menggembirakan kita lihat dipasar-pasar batu yang menggeliat sesaat beberapa bulan lalu. Saya khawatir jangan-jangan ayah yang benar-benar memahami tugasnya sudah menjadi species langka yang mungkin sudah perlu dipikirkan kelestariannya.

Dimana Ayah ketika remaja bujang tanggung mengalami baligh pertama, saat mereka saling memacu kencang laju kendaran, saat mulai berani membonceng gadis belia pujaan hatinya, saat mengepulkan asap rokok membuktikan “kedewasaan”, saat menonton video terlarang memuaskan keingintahuan.

Dimana Ayah ketika gadis tanggung mulai mencari arti cinta, sedikit perhatian dan pujian lawan jenis yang memikatnya berbunga-bunga. Dimana Ayah saat anak-anak membutuhkan penjelasan, memerlukan arti kebenaran, menerangkan ini yang benar, itu yang salah. Ayah hadir hanya saat marah, memukul dan menampar anak ketika melakukan pelanggaran disekolah, saat nilai raport tidak segemilang ayah ketika muda, saat ditangkap polisi akibat balapan liar, saat diminta bertanggung jawab oleh orang tua gadis yang terlanjur dihamilinya, atau saat gadis belia risau dengan tamu bulanan yang tak kunjung tiba. Dimana ayah sebelum itu?

Dunia Ayah saat ini hanyalah Kotak. Yakni handphone, koran, televisi dan komputer. Banyak anak yang sudah merasa yatim sebelum waktunya, sebab Ayah dirasakan tak hadir dalam kehidupannya.

Duhai Ayah, sungguh para istri ingin dibangunkan dipertiga malam untuk menyembah Sang Pencipta. Setidaknya membangunkan istri ketika azan subuh berkumandang sembari berkata, “ Bangun dinda sayang, kanda mau kemesjid dengan anak-anak kita”, atau ungkapan lembut mesra lainnya yang pernah dulu, duluuuuu sekali terdengar ketika masih muda.

Luangkan waktu sejenak untuk mendengar tentang harga gula yang kian menanjak, tentang tikus yang masuk kekaleng minyak, tentang kucing tetangga yang sebentar-sebentar beranak, tentang sebuah dunia domestic bernama rumah yang tidak lebih penting dari laptop, HP dan pekerjaan kantor yang membludak. Matikan sejenak blackberry dan android canggihmu untuk menanyakan apakah anakmu sudah membaca alquran hari ini, apakah istrimu sudah mengaji hari ini, apakah sudah dikirim doa untuk orang-orang yang kita cintai. Berceritalah tentang Umar yang gagah perkasa, Abu Bakar yang bijaksana, Utsman yang setia, Ali yang cendekia.

Sungguh jika Ayah mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini teratasi. Ibu memang madrasah pertama seorang anak, tetapi Ayah yang menjadi kepala sekolahnya. Ayah kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya. Selain juga membuat nyaman suasana sekolah yakni ibunya. Jika Ayah hanya mengurusi TV rusak, keran hilang, genteng bocor di dalam rumah, ini bukan Ayah ‘kepala sekolah’ tapi Ayah ‘penjaga sekolah’. Ayah yang tugasnya cuma memberi uang, itu mesin ATM. Yang hanya menjaga rumah dari maling dan orang jahat, itu Satpam.

Ayah itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak, bukan sekedar ‘membuat’ anak.

Jika ada anak durhaka, tentu ada juga Ayah durhaka. Ini istilah dari ‘Umar bin Khattab (radhiyallahu ‘anhu). Ayah durhaka bukan yang bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Tetapi Ayah yang menuntut anak shalih dan shalihah, namun tak memberikan hak anak di masa kecilnya. Ayah ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya. Ayah ingin dimuliakan tapi tak mau memuliakan anaknya.

Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada Ayahnya bukan ibu. Nasab yang merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.

Di dalam Al Quran ternyata terdapat 17 dialog pengasuhan, dimana 14 diantaranya yaitu dialog antara Ayah dan anak. Ternyata Ayah lebih banyak disebut. Semangat Al Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan Ayah sebagai tokoh. Kita mengenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, Imran. Mereka adalah contoh Ayah yang peduli.

Ibarat burung yang punya dua sayap, anak membutuhkan keduanya untuk terbang tinggi ke angkasa. Kedua sayap itu adalah Ayah dan Ibu-nya. Ibu mengasah kepekaan rasa, Ayah memberi makna terhadap logika. Kedua-duanya dibutuhkan oleh anak. Jika ibu tak ada, anak menjadi kering cinta. Jika Ayah tak ada, anak tak punya kecerdasan logika. Ayah mengajarkan anak menjadi pemimpin yang tegas. Ibu membimbingnya menjadi pemimpin yang peduli. Tegas dan peduli itu sikap utama. Hak anak adalah mendapatkan pengasuh yang lengkap. Ayah terlibat, ibu apalagi.

Mari kita kenang sejenak harum pesona sang Nabi sebagai ayah. Seorang teladan yang tak pernah tinggi nada suaranya, menyediakan waktu menyediakan waktu bermain bercanda bersama istri, anak dan cucunya, menjahit sendiri sobekan pakaian, mencium, menggendong, menggelitiki cucu mungilnya. Sungguh samudera teladan yang bisa jadi telah kita lupakan.

“Adalah Muhammad saw. mengangkat dan melempar ke atas putri kecilnya, Fathimah Az Zahra’ ra tinggi-tinggi dan menangkapnya. Beliau melakukan itu beberapa kali, kemudian beliau bersabda, ”Semoga harum namanya dan luas rizkinya.”Muhammad sangat mencintai cucu-cucunya.

Diriwayatkan oleh Jabir, berkata, ”Saya menemui Nabi saw, ketika beliau berjalan merangkak sedangkan di atasnya Hasan dan Husain ra sedang bercanda. Beliau bersabda, ”Seganteng-ganteng orang adalah kalian berdua, dan seadil-adil orang adalah kalian berdua.”

Kembalilah wahai para Ayah, ketempat menangguk pahala bernama Rumah, tempat berburu syurga kampung halaman manusia. Jangan jadikan anakmu YATIM padahal engkau masih disisinya.

Semoga banyak anak yang ketika ditanya mau jadi apa ketika dewasa?, “menjadi Ayah” katanya dengan bangga. Semoga.[]

(disarikan dari beberapa sumber)

*Ibu rumah tangga, tinggal di Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.