Realitas Sosial Lokalitas Gayo dalam Buku Perempuan Berjangkat Utem

oleh

Foto-Ilustrasi-Cerpen-jangkatJudul Buku  : Perempuan Berjangkat Utem
Penulis  : Salman Yoga, Vera Has, Irama BR Sinaga
Penerjemah : Aman Ine Salvina Senggali, SY
Bahasa : Indonesia dan Gayo
Jumlah Halaman : 184
Penerbit : The Gayo Institut (TGI) Takengon
Tahun : 2015
ISBN : 978-602-14255-2-7
Resensiator : Ansar Salihin, S.Sn

KEBUDAYAAN sebagai hasil karya cipta dan karsa manusia berupa gagasan pola fikir dalam kehidupan masyarakat. Tumbuh dan berkembangnya suatu kebudayaan apabila masyarakat terus memelihara, menjaga dan melestarikan sehingga menjadi panduan hidup dalam realitas sosial. Kebiasaan inilah secara turun-temurun terus berkembangdari generasi ke generasi dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga halnya dengan masyarakat Gayo memiliki kebudayaan tersendiri terus diwarisi oleh generasinya, sehingga sampai sekarang masih bertahan.

Salah satu warisan budaya Gayo dalam kehidupan masyarakat adalah berupa kesenian tradisi yang melekat dalam diri masyarakat. Meskipun zaman sudah berkembang beberapa kesenian tradisi tersebut masih manjadi bukti sejarah peradaban Gayo. Kesenian tersebut seperti Saman, Didong, Tari Guel, Tari Bines dan kesenian lainnya. Selain kesenian tersebut ada juga produk budaya berupa hasil kerajinan seperti kerawang, keni, anyaman tikar, dan arsitektur rumah adat yang dihiasi dengan ukiran.

Sebelum berkembangnya karya sastra secara modern, di Gayo masyarakat telah mengenal kesenian berupa sastra lisan dalam bentuk kekeberen (Cerita rakyat) dan Syair berpantun dalam Didong dan Saman. Melalui kekeberen inilah masyarakat memperoleh informasi baik sejarah Gayo, sejarah Islam, pengetahuan adat dan amanat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Melalui kekeberen ini juga masyarakat menuangkan ungkapan ekspresi seni berupa teks syair Didong yang dikemas dengan kata-kata yang sedemikian rupa.

Berdasarakan hal tersebut, bagi masyarakat Gayo kesenian bukanlah sesuatu yang baru, sejak zaman dahulu kehidupan mereka sudah dihiasi dengan berbagai kesenian tradisi. Secara umum kesenian yang mereka tampilkan berangkat dari realita sosial masyarakat, tujuannya untuk menyampaikan informasi dan juga sebagai ajang silaturahmi antar sesama masyarakat. Termasuk dalam bidang kesastraan, masyarakat Gayo sejak zaman dahulu sudah pintar untuk mengarang syair-syair melalui kekeberen baik dalam bentuk tulisan maupun sastra lisan.

Membaca buku Perempuan Berjangkat Utem layaknya seperti membaca atau mendengarkan kekeberen tradisi masyarakat Gayo. Hal tersebut karena dalam buku ini memuat dua bahasa Indonesia dan Gayo. Saat membaca cerpen tersebut dalam bahasa Indonesia mungkin tetap saja seperti membaca cerpen-cerpen yang lain yang termuat dalam buku atau koran, namun saat membaca cerpen dengan bahasa Gayo (bagi yang mengerti bahasa Gayo) karya ini membawa pembaca masuk ke dalam roh budaya Gayo, lokalitas yang ingin disampaikan oleh penulis mudah sampai kepada pembaca. Pembaca tidak lagi membayangkan kejadian ini terjadi di daerah mana dan siapa perannya. Namun cerita tersebut keseluruhannya terjadi di Gayo dan pemerannya adalah orang Gayo.

Inilah yang menyebabkan saat membaca cerpen perempuan berjangkat utem seperti membaca cerita dua dunia. Padahal cerpen tersebut awalnya dibuat dalam bahasa Indonesia dengan latar belakang penulis yang berbeda, kemudian saat diterjemahkan ke dalam bahasa Gayo, seolah-olah latar belakang penulisnya menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh dalam lokalitas ke-Gayo-an. Saat dibaca dengan bahasa Indonesia alur ceritanya seperti dunia nyata seperti sekarang ini, namun saat dibaca dengan bahasa Gayo alur ceritanya membawa pembaca ke dunia persis seperti kehidupan di Gayo, baik latar belakang budaya maupun sosial masyarakat.

Secara umum karya yang tulis oleh Salman Yoga S, Vera Hastuti, Irama Br. Sinaga berangkat dari realitas sosialnya pribadi. Ide dasar dalam pembuatan karya tersebut merupakan peristiwa yang telah dialami penulis sebelumnya, kemudian dikemas dalam bahasa yang menarik, sehingga jadilah karya sastra yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Pada dasarnya karya sastra yang hebat itu berangkat dari kejujuran, realitas sosial masyarakat, dan pengalaman pribadi penulis. Karya yang demikianlah akan memiliki kekuatan lokalitas kedaerah, memiliki pesan moral dan estetik yang tinggi.

Misalnya salah satu karya Salman Yoga berjudul “Perempuan Berjangkat Utem” merupakan kisah nyata kehidupan penulis, seorang Salman Yoga dibesarkan oleh orang tua memiliki anak 12 orang. Ayahnya bekerja sebagai petani penghasilan hanya secukupnya, sehingga seorang ibu harus mambantu bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pekerjaan perempuan tersebut adalah mencari kayu bakar di hutan, kayu tersebut dipanggul dengan dibantu dua tali (disebut berjangkat dalam bahasa Gayo) kemudian kayu tersebut dibawa dari hutan ke kota untuk dijual kepada agen. Hasilnya untuk membeli beras dan kebutuhan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membesarkan anak-anaknya. Ilustrasi itulah yang ingin disampaikan kembali oleh penulis, dengan penuh rasa haru sehingga menjadi sebuah karya tulis.

Begitu halnyadengan karya Irama Br Sinaga “Ada Umak dalam Skripsiku” atau “Ara Ine wan Skripsiku” merupakan pengalaman pribadi penulis saat menjalani kuliah dengan belanja secukupnya kadang-kadang kurang dikirim oleh orang tua. Pembuatan tugas akhir berupa skrikspi tidak asing lagi bagi mahasiswa tingkat akhir, setiap penyandang Sarjana pasti merasakan hal tersebut, bagaimana sulitnya membuat karya tulis berupa skripsi. Dalam cerpen Irama menceritakan perjuangan seorang perempuan miskin untuk menyelesaikan skripsinya, mulai dari mencari buku-buku langka, menunggu bimbingan, minta tangan dan akhirnya selesai semua selanjutnya menuju wisuda. Semua perjuangan tersebut tentunya tidak pernah lepas dari dukungan orang tua baik belanja, doa dan motivasi orang tua. Saat biaya wisuda sudah dikirim, namun orang tua tidak dapat datang acara wisuda, itulah rasa yang sangat menyedihkan. Sehingga penulis mengilustasikan ada Umak/Ine/Ibu dalam skripsiku.

Secara umum memang karya-karya cerpen dalam buku perempuan berjangkat utem merupakan karya yang memiliki latar belakang perjuangan seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan judul buku tersebut perempuan berjangkat utem. Bagaimana perjuangan dan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks dalam bahasa Gayo menceritan perjuangan dan peran perempuan Gayo dalam kehidupan berumah tangga dan peran dalam bermasyarakat. Koteks ini juga memberikan ciri khas terdiri dalam buku kumpulan cerpen ini menampilkan lokalitas kedaerahannya.

Buku perempuan berjangkat utem memberikan motivasi kepada penulis-penulis pemula terutama di Gayo, agar mencitai budaya lokal dan terus mempublikasikan budaya lokal melalui karya. Konsep lokalitas tradisi merupakan salah satu gagasan/ide penciptaan dalam proses berkarya. Melalui konsep ini kekuatan karya sastra semakin kaya baik dari segi diksi, ide, latar, pesan moral maupun nilai puitis dalam karya tersebut. Buku kumpulan cerpen perempuan berjangkat utem akan menjadi salah satu bukti publikasi peradan Gayo terhadap generasi masa yang akan datang.[]

Banda Aceh, 2015

AnsarTentang Penulis
Ansar Salihin putra kelahiran Buntul Kepies, Bener Meriah, Aceh (11 Juni 1991), Alumni Institut Seni Indonesia Padangpanjang, bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Editor Jurnal Seni Online kuflet.com dan Wartawan lintasgayo.co. Beberapa karyanya termuat dalam buku antologi puisi dan cerpen, juga aktif menulis di berbagai media.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.