Catatan Perjalanan : Anugrah Fitradi, S.Pt

Beberapa waktu lalu, rombongan dari Penyuluh Pertanian Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Linge, melaksanakan penyuluhan beserta praktek penanaman tanaman padi metode tanam tandur jajar (legowo) di sawah milik kelompok tani pada salah satu kampung di Kemukiman Wihni Dusun Jamat tepatnya di Kampung Jamat Kecamatan Linge. Kegiatan ini, dalam rangka pendampingan kegiatan pengembangan tanaman padi pola SRI Tahun 2014.
Berangkat usai melaksanakan kewajiban shalat Dzuhur, mengendarai tiga sepeda motor dinas, saya bersama lima rekan lainnya melakukan perjalanan ke wilayah itu. Menempuh perjalanan hingga hari mulai senja, kami berangkat melalui jalan yang kondisinya sangatlah parah. Padahal cuaca saat itu cerah, namun kami mengalami kesulitan mengarungi medan bebatuan yang ada disepanjang perjalanan.
Di dalam hati terbesit bagaimana masyarakat yang tinggal di daerah itu melintasi jalan bebatuan ini, bisakah mereka dengan sabar mengenderai kenderaannya hingga tak terjadi suatu kecelakaan yang dapat membahayakan jiwanya bila sewaktu-waktu kenderaan yang mereka tumpangi tersungkur ditengah bebatuan tersebut.
Melintasi medan berat, kami tiba di lokasi menjelang waktu magrib. Kami tiba di depan sebuah masjid yang terletak tak jauh dari sungai. Beberapa waktu lalu, jembatan yang ada di sungai tersebut, dikabarkan mengalami kerusakan akibat luapan air sungai sehingga tiang penyangga jembatan yang mampu menahan derasnya air luapan ekses dari hujan deras yang mengguyur.
Kondisi jembatan itu, kini terlihat telah diperbaiki warga. Walau harus berhati-hati saat melintas diatasnya, apalagi mengendarai sepeda motor. Karena jembatan tersebut masih dikatakan dalam konsisi darurat.
Setelah melihat kondisi jembatan, usai melaksanakan shalat magrib saya bersama rekan lainnya bersantai sejanak di beranda masjid. Sambil menikmati sebungkus roti, sebagai penganjal rasa lapar. Maklum kondisi perjalanan membuat kami lelah dan banyak menguras energi.
Setelah enakan, meski badan masih terasa pegal akibat jalan bebatuan yang kami lewati, kami sepakat melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan kami melewati jalanan yang kondisi yang tak jauh seperti kondisi jalan yang telah kami lalui tadi. Kami pun tiba di Kampung Owaq.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam, kami sampai ke tujuan. Langsung menuju ke kediaman seorang ketua kelompok tani sekira pukul 20.30. Kami merasa lega karena telah sampai ke tempat tujuan walaupun selama di perjalanan badan ini rasanya remuk.
Ketua kelompok tani merasa kaget dengan kedatangan kami, kami tak memberi kabar kedatangan kami ke daerah binaan itu. Boro-boro menghubungi, disana belum terdapat tower untuk jaringan seluler.
Pelayanan yang diberikan rekan kami itu layaknya seorang pejabat. Meski sebenarnya kami canggung dilayani seperti itu. Hingga saya pun berkata kepada beliau, “Pak, janganlah bersikap berlebihan atas kedatangan kami ini, kami ini hanya menjalankan tugas sebagai penyuluh agar bisa membantu petani disini.”

Sang bapak pun menjawab, “Kami senang dengan kedatangan bapak-bapak kesini, sebab kami merasa sudah sangat jarang sekali didatangi oleh orang-orang seperi bapak yang mana tinggalnya di Kota, seperti mimpi rasanya”.
Pikiran saya bermain, bapak ini berkata sedemikian, beragam pertanyaan memutar otak telintas dalam pikiran. Apa benar masyarakat ini jarang di datangi oleh petugas/pejabat?. Mungkin karena jarak Kampung ini sangat jauh dan jalannya juga sangat menyedihkan, makanya enggan orang lain datang kemari.
Saya pun melanjutkan pertanyaan, “Pak, apakah masyarakat disini sudah pernah bermusyawarah bersama untuk mengusulkan perbaikan jalan menuju ke kampung ini ke pusat Kabupaten?”.
Bapak itu menjawab (mungkin dengan pikiran orang awam). “Masalah itu saya kurang tahu pak, namun menurut saya bagaimana kita mau mengusulkan perbaikan jalan ini sedangkan hasil-hasil produksi komoditi yang berasal dari Kampung ini tidak ada pak, karena setahu saya apabila ada hasil produksi komoditi dari sini yang dapat dijual keluar, maka dapat kita usulkan perbaikan jalan itu Pak”.
Dari pernyataan tersebut, saya pun kembali memutar otak. Apakah ada peraturan seperti itu?, haruskah pembangunan harus dimulai dari hasil komoditi dari suatu daerah dulu baik dari pertanian, perkebunan dan lainnya dari petani di kampung tersebut.
Tentu pikiran dari sang bapak tadi kurang tepat, dan saya pun tak mau menyalahkannya. Sebab bagaimana petani akan menunggu hasil produksinya sedangkan untuk melakukan segala aktifitasnya sehari-hari saja sulit, padahal masyarakat disini banyak menggunakan jalan sebagai akses untuk mengantarkan anaknya sekolah, ada yang mencari nafkah, ada yang pergi mengunjungi sanak famili di luar .
Mereka hidup ditanah ini, hingga berketurunan secara turun temurun. Hendaknya bagi yang berkepentingan berilah perhatian khusus bagi masyarakat-masyarakat yang lokasi kampungnya sangat jauh dari keramaian.
“Sudah jauh, akses jalannya parah lagi. Lengkap sudah penderitaan warga disini,” pikirku.
Melalui tulisan ini, marilah membuka mata hati bagi pemegang kebijakan di negeri ini, penulis berpikir karena masih ada saudara-saudara kita yang masih bermimpi dikejauhan negeri ini.
Mereka sangatlah menginginkan kehadiran pemimpin yang mau mengurusi mereka, mau mendengarkan dan menampung aspirasi mereka, memberi perhatian khusus kepada mereka sehingga mereka dapat terjaga dari mimpi-mimpinya dan berharap mimpi itu menjadi kenyataan suatu saat nanti. [DM]
* PPL BP3K Linge