Oleh : Buniyamin S
Canang adalah alat bunyian yang terbuat dari tembaga. Canang masuk kedalam alat kesenian Gayo walau apada awalnya benda ini bukan untuk alat kesenian untuk mengiringi lagu-tembang.
Masa dulu canang dipergunakan untuk beberapa kegiatan diantaranya untuk menyambut tamu-tamu kebesaran. Akibat geografi Gayo dulunya jika ada orang hilang di hutan-perkebunan, maka canang dibunyikan agar orang yang hilang ini dapat mendengar dan kembali ke arah suara canang.
Dalam acara adat perkawinan, sunat rasul, tawar kampung maupun acara ‘Nirin Reje” (memandikan raja) zaman dulu canang selalu dipakai oleh masyarakat. Acara adat perkawinan seperti ‘Mah Atur” Rangkaian adat dari pihak wanita, “Mah Bai” (mengantar penganten laki-laki). “Nyerah bejege” dan lain sebagainya.
Alat yang menjadi budaya masyarakat Gayo ini dibuat oleh para pengrajin di Sumatera Barat. Khusus di Gayo Lues canang berjumlah tujuh, satu canang bernama Gong yang ukurannya lebih besar. Kemudian satu bernama Canang Geresek dan lima canang biasa.
Keahlian memadukan ketukan-pukulan canang dati tiga macam tadi menghasilkan suara yang indah dan beragam. Di Gayo Lues “Tingkah” (pukulan) canang antara satu desa dengan desa lainnya berbeda. Jika kita mendengar suara canang dari kejauhan maka dengan ‘Tingkah” canang tersebut diketahui bahwa itu bunyi canang dari kampung A atau B.
Seiring dengan perkembangan waktu, keberadaan canang semakin langka dan terkikis oleh adanya alat musik modern. Canang sudah jarang dipergunakan baik dalam acara menyambut tamu-tamu kehormatan maupun dalam acara adat istiadat.
Di satu sisi kita bangga dengan adanya kreatifitas generasi muda untuk memasukan canang dalam alat musik mereka, terutama musik yang beraliran etnik, khususnya etnik Gayo.
*Pemerhati seni budaya dan sejarah Gayo, tinggal di Gayo Lues
