Makna Cam dan Cup dalam Budaya Gayo

oleh

Oleh : Buniyamin*

Ajaran yang dijalankan oleh para leluhur yang menjadi budaya tempo dulu hanya meninggalkan sejaran dan kenangan pada saat ini. Betapa ajaran dan budaya tersebut syarat dengan makna, malah menjadi aturan yang tidak tersurat. Ironisnya ajaran-jaran tersebut tidak mampu diwariskan kepada generasi sekarang ini, apalagi untuk masa-masa yang akan datang.

Dalam budaya Gayo ada istilah, yaitu kata Cam. Cam artinya berdamai satu orang dengan orang lainnya. Dalam perkelahian umpamanya, bagaimanapun sengit dan dendamnya perasaan seseorang, jika salah satu lawan sudah menjulurkan jempol maka lawannya juga wajib hukumnya menjulurkan jempol ke lawannya serta mengatakam Cam, itu berarti sudah meminta maaf dan berdamai, dan pihak lawan tidak boleh lagi menaruh rasa dendam.

Cam tidak harus disaksikan oleh pihak ketiga, tidak harus memakai saksi dalam perdamaian. Kata-kata dalam Cam telah tersirat rasa penyesalan serta tulus meminta dan memberikan rasa maaf.

Budaya lain, untuk rasa memiliki sesuatu benda adalah sah milik kita tidak memerlukan saksi dan penengah, apalagi surat-menyurat. Kebenaran diri dari rasa kepemilikan itu adalah mutlak. Dipihak lain lawan yang menjadi persengketaan mampu mengevaluasi diri bahwa itu bukan miliknya.

Dalam hal ini budaya Gayo mengenal dengan istilah Cup. Cup berarti sah. Dalam persengketaan garis batas dalam kepemilikan umpamanya, pihak lawan cukup membawa satu batu kecil serta menaruhnya disuatu tempat perbatasan dan mengatakan kepihak lawan “ Cup ini batas saya”. Maka itu sah menjadi batas orang tersebut dan pihak perbatasan mengiyakan ucapan lawan tersebut,tidak bisa lagi diganggu gugat.

Makna yang tercantum dalam perdamaian dan kepemilikan Cam dan Cup yang dimiliki orang terdahulu bukan dilandasi oleh nafsu serta dendam, namun lebih dilandasi oleh sebuah kekeliruan dan kesalahpahaman. Rasa mengalah dan persaudaraan lebih dikedepnakan.

Kita meyakini peristiwa budaya yang syarat makna itu merupakan jati diri orang Gayo sesungguhnya. Namun ajaran ini tidak mampu menjadi warisan kita sekarang ini, mungkin lebih disebabkan oleh rasa ke-akuan dan dendam yang sulit ditundukan oleh nafsu amarah. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.