12 “Ayat Cinta” Korban Gempa untuk Sang Dokter

oleh

Gempa Gayo (bagian 25)

Catatan: Aman ZaiZa

TANPA terasa, gempa yang melanda bumi Gayo sudah memasuki bulan ke delapan (2 Juli 2013 – 2 Maret 2014). Tentunya ini bukan rentang waktu yang singkat, bagi para korban gempa yang senantiasa terus menanti dan menanti terhadap apa yang diharapkan, sejauh itu tak kunjung tiba.

Berbagai gelombang ungkapan perasaan berbalut derita sudah terlontarkan oleh para korban gempa. Yang teranyer, aksi ratusan korban gempa yang sempat anarkhis, guna menuntut hak-hak mereka pada pertengahan bulan februari ini.

Pascaaksi, masyarakat korban gempapun kembali pulang ke kampong masing-masing dan kembali menanti janji-janji yang kemgali dilontarkan oleh para pihak yang berwenang dalam penangan korban gempa ini.

Rasanya, bukan tidak mungkin para korban ini kembali menuntut hak-hak mereka yang sudah terlanjur dijanjikan. Sejauh hal itu belum bisa terealisasi. Sebab, mereka punyak hak sebagai korban dari gempa tersebut.

Hitam Putih Gayo Pascagempa.(LG.co - aman.ZaiZa)
Hitam Putih Gayo Pascagempa.(LG.co – aman.ZaiZa)

Bukti kecil bisa dilihat dari kedatangan orang nomor satu di Pemerintahan Aceh, yakni dr Zaini Abdullah. Kunjungan kerja yang berbalut politis. Pasalnya, selain menghadiri berbagai kegiatan yang sudah direnakan pemerintah daerah baik Bener Meriah maupun Aceh Tengah, dr Zaini juga mengikuti kegiatan Partai yang mengusungnya ke tampuk kekuasaan di Aceh.

Sekilas, hal itu memang tidak masalah, karena dilakukan diluar jam kerja. Dimana, pada hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur atau aktivitas pemerintahan istirahat, setelah lima hari kerja.

Kedangan dr Zaini ini, membuat Warga Aceh Tengah dengan mengatasnamakan Masyarakat Korban Gempa Gayo, mengirimkan surat terbuka kepada Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah sebagaimana dilansir media online ini.

Dengan berbagai ulasan yang diberikan, masyarakat korban gempa ini menyampaikan ayat-ayat cinta kepada doto – sapaan akrab dr Zaini Abdullah – agar hendaknya bisa direspon secara cepat dan tepat.

Jangan sampai 12 ayat-ayat cinta itu kembali menjadi hambar, layaknya janji Doto yang pada awal-awal gempa menyatakan akan berkantor di Gayo. Dimana, kenyataannya tak lebih dari 2 atau 3 hari saja, selebih itu kembali seperti biasa.

Untuk mengingatkan, ke 12 ayat-ayat cinta itu terlontar akibat penanganan pasca gempa sangat buruk dan lamban, kerusakan sendi kehidupan masyarakat. Ke 12 ayat cinta itu yakni:

1.Proses pencairan dana rehab dan rekons antara kelompok masyarakat (Pokmas) berbeda beda misalnya di kecamatan Ketol 40 persen dari Rp40 juta dan di Kecamatan Kute Panang ada yang 40 persen ada yang 20 persen dan di kecamatan lainnya ada yang belum cair, akibat kejadian diatas muncul kecemburuan sosial.

2.Lemahnya investigasi kebenaran data dari pihak pemerintah sehingga  masyarakat ada yang terjebak dalam masalah hukum karena adanya data fiktif.

3.Masyarakat terjebak hanya memikirkan bagaimana bisa pulih dari bencana gempa.
4.Munculnya generasi yang bebas dan apatis dan tidak mencerminkan syariat Islam.
5.Munculnya masyarakat korban gempa yang hanya mengharapkan hidupnya dari bantuan pemerintah dan donator.

6.Indikasi para Caleg dan Partai Pemerintah (Incumbent) memanfaatkan penyaluran dan penanganan korban gempa. Misalnya pendampingan korban gempa yang dibentuk pemerintah daerah banyak disusupi caleg dari pihak berkuasa.

7.Hampir satu tahun lamanya belum ada kepastian pencairan dana diselesaikan.
8. Prusuder dan administrasi teknis pencairan dana rehab dan rekons sangat banyak dan rumit.
9. Lemahnya koordinasi di berbagai level pemerintahan

10.Kurangnya Fasilitator Teknik sebagai pendamping pembangunan rumah.

11.Penanganan rehab dan rekons masih melakukan metode yang sama dalam penanganan Gempa Yogyakarta pada tahun 2006 yang lalu, terbukti penganaganan bersifat gagal.
12.Tidak adanya informasi yang pasti dari pemerintah daerah terkait pencairan dana gempa Gayo.

Rasanya, apa yang disampaikan ini bisa menjadi acuan bagi Pemerinta Provinsi (Pemprov) Aceh untuk melakukan penanganan berkalanjutan bagi para korban gempa yang sampai saat ini nasibnya masih tak menentu.

Belajarlah banyak hal dari apa yang dilakukan Pemerintah Jawa Timur dalam penanganan bencana Letusan Gunung Kelud. Dimana, Pemerintah Provinsi dengan cepat bersinergi dengan pemerintah kabupaten dalam mengatasinya, sehingga tidak menimbulkan banyak korban jiwa.

Disamping itu, peran dan fungsi pemerintah kabupaten pun sangat maksimal, sehingga rakyat merasa tidak sendiri, karena ada pemerintah daerah yang memiliki kepekaan terhadap bencana itu sendiri.

Kita (Aceh) kerab dijadikan sebagai tempat pembelajaran dalam penanganan bencana, sehingga berulang kali perwakilan Negara-negara di dunia serta berbagai  daerah lainnya di Indonesia belajar ke Aceh.

Namun, sangat ironi rasanya, Aceh sendiri tak mampu memanfaatkan kelihaiannya dalam menangani bencana yang terjadi di daerahnya. Sehingga aksi gelombang unjukrasapun terus terjadi dalam perjalanan Gempa Gayo ini.

Gayo adalah bagian (wilayah) sah dari Provinsi Aceh dan itu telah tertuang dalam MoU Helsinki. Maka, Gayo juga punya hak yang sama dalam penanganan pascabencana, layaknya daerah lainnya di Aceh.

Kecuali nanti, Gayo sudah terpisah menjadi daerah otoritas tersendiri. Mungkin, bisa jadi hal seperti ini, yakni keterlambatan dalam penanganan bencana, tidak perlu dipikirkan lagi oleh Pemerintah Aceh.

Lihatlah Gayo dari kacamata anak negeri, jangan lihat Gayo dengan kacamata minus.***

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.