Catatan : Darmawan Masri
Kemarin malam, Jum’at (6/7/2013) saya beserta 5 orang rekan lainnya melakukan perjalanan, mengunjungi kamp-kamp pengungsian korban gempa yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, sekaligus membawa sedikit bantuan bagi mereka yang membutuhkan, bantuan difokuskan pada makanan balita dan sebagainya.
Memang perjalanan malam, membuat kami semua was-was, tidak seperti hari-hari sebelumnya mengunjungi kamp-kamp pengungsi pada siang hari, bermodal nekat kami semua memberanikan diri mengitari titik-titik yang dijadikan kamp pengungsi korban gempa berkekuatan 6,2 sr, 2 Juli 2013 lalu.
Kami semua sepakat, mengambil rute dari Celala hingga ke Kampung Ketol, kurangnya penguasaan medan jalan yang dikabarkan amblas setelah gempa terjadi membuat kami semua bertanya-tanya kepada setiap orang yang kami temui di kamp-kamp pengungsian.
Adi, web master LG.co bertugas sebagai driver, disebelahnya duduk Pimpinan Redaksi, Khalisuddin, sedangkan dibarisan kedua, Saya, Salman Yoga dan fotografer Munawardi, dibarisan paling belakang, duduk penyelam muda Wiwin Mustakim yang bertugas sebagai pengumpul barang-barang bantuan yang akan diserahkan kepada pengungsi.
Kampung Celala, yang diinformasikan belum tersentuh bantuan pun kami kunjungi, memang di kanan-kiri jalan terdapat orang-orang berkumpul mendirikan tenda sebagian ditemani dengan sebuah layar TV, kami pun turun dan bertanya kepada salah seorang warga setempat, menanyakan kebenaran kerusakan parah yang terjadi di Kampung tersebut, mereka menjawab disini kerusakan tak terlalu parah, namun masyarakat tidak berani untuk tidur dirumah mereka masing-masing.
Mendengar kabar itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju, Kampung Arul Kumer Kecamatan Silih Nara, disitu kami mendapati warga yang tengah berkumpul dilapangan sepak bola, mendirikan tenda darurat, kerusakan dikampung tersebut lumayan parah hingga mereka harus mendirikan posko tenda darurat. Warga setempat pun mengaku, bantuan yang disalurkan keposko tersebut sangat minim, mereka sangat membutuhkan bahan makanan pokok, selimut hingga makanan bayi, tanpa diperintah Wiwin mengambilkan sebuah tas plastik yang berisi makanan bayi dan sebagainya kepada ketua posko.
Di posko itu, kami bertanya, keadaan medan yang akan kami lalui kepada warga setempat, jalan mana saja yang bisa digunakan hingga tembus ke Kecamatan Ketol, mereka menunjukkan beberapa jalan. Meski diantara kami sudah mengetahui arah jalur yang akan kami lalui, namun kami tetap ingin memastikan kondisi jalan.
Kami pun meninggalkan Kampung tersebut bergerak turun ke Kampung Wih Ni Durin, Kecamatan Silih Nara, disana kami juga menjumpai beberapa posko tenda darurat, kerusakan diwilayah ini cukup parah, kami pun kemudian menurunkan bantuan lagi, seraya bertanya kepada masyarakat disitu keadaan jalan yang akan kami lalu. Akhirnya kami mendapat keterangan pasti, jalan yang bisa dilalui melalui jalur Simpang Juli-Cangduri-Ketol. “Jalur itu saat ini sudah bisa dilalui, asal jangan melewati Kala Ketol, jalur itu masih terputus”, kata seorang Bapak di Kampung Wih Ni Durin.
Kami, pun langsung bergerak lagi, jam telah menunjukkan Pukul, 22.30 Wib, di Kampung Simpang Juli, mobil kami pun terhenti, langsung warga sekitar berdatangan kepada kami, menanyakan apa maksud kedatangan kami, mereka sangat takut dengan orang yang datang ke Kampung mereka pada malam hari, mereka kira kami penjarah, lalu kami pun turun dari mobil, dan menunjukkan identitas kami. Dan mereka pun langsung mengerti situasi.
Dikampung ini, kami mendengarkan keterangan warga yang cukup menyedihkan, 2 orang warga kampung tersebut meninggal karena tertimpa reruntuhan sedangkan kondisi bangunan didaerah ini 90 persen rusak, dan 3 hari pasca gempa bantuan yang datang ke camp pengungsian yang mereka dirikan atas dasar inisiatif bersama sangatlah minim.
“Banyak mobil datang membawa bantuan, memang posko kami bukan posko besar, akan tetapi disini ada beberapa posko, tapi yang mengantarkan bantuan bilang kepada kami bantuan ini buat posko di Kampung sebelah, padahal kami juga sangat membutuhkan bantuan tersebut, persediaan kami disini sudah sangat tipis, sehari kami hanya mendapat satu karung beras, satu kotak mie instant saja, itu semua dibagikan kepada seluruh warga kampung ini, dan saat ini juga kami juga kekurangan air bersih”, terang Buyung koordinator Posko.
Mendengar keterangan Buyung, kami pun menyerahkan sedikit bantuan yang kami bawa, dan berjanji akan menulis keluhan mereka dimedia kami, dan meminta izin untuk memoto warga yang sedang tidur didalam tenda.
Dikampung tersebut, dijumpai juga posko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh Tengah yang dikomandoi, ketua HMI-AT, Lingga, para mahasiswa tersebut sedang menngumpulkan sembako, yang akan dibagikan kepada warga besok pagi. Lingga membenarkan apa yang diutarakan oleh warga setempat, bahwa bantuan yang datang kekampung tersebut sangatlah minim.
Kami pun melanjutkan perjalanan, memasuki lembah, kami pun sampai di Kampung Cangduri, disini kami jumpai mobil Mahasiswa yang berasal dari Kuta Cane Aceh Tenggara, keterangan yang sama juga kami dapati disini, mereka mengatakan minimnya bantuan yang datang ke Kampung Mereka membuat mereka was-was akan kondisi darurat itu. Saat itu, mobil pengangkut air bersih milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sedang patroli membagikan air kepada warga.
“Kami sangat membutuhkan makanan pokok, selimut, tenda dan obat-obatan, disini banyak warga yang sudah terserang demam dan butuh obat”, kata Annas yang merupakan ayah dari Raisatul Haira (9), anak yang meninggal karena tertimpa reruntuhan rumah tetangganya.
Setelah memberikan sedikit bantuan dan berpamitan kepada warga setempat, kami pun melanjutkan perjalanan, Cangduri adalah kampung terakhir yang kami jumpai disitu, kami harus menuruni sebuah jalan yang menantang, bekas longsor dampak gempa yang
kuat terjadi beberapa waktu lalu, menuju persawahan Ketol, jalan yang kami lalui pun penuh dengan tantangan, disisi jalan masih terlihat bekas longsor yang menutupi jalan, sebagian ada batu besar yang bertengger disisi jalan, membuat sang driver, Adi harus berhati-hati mengemudikan mobil terlebih jalanan yang kami lalui terlihat sudah mengecil dari ukuran sebelumnya. Disisi kanan, tebing curam menghadang kami, yah…karena telah larut malam dan diselimuti kegelapan hanya cahaya yang dipantulkan dari lampu mobil kami saja yang mengarah kedepan, sehingga sisi kanan kami tidak terlihat jelas, sedikit mengalahkan ketakutan ku akan phobia ketinggian.
Akhirnya kami melewati jalan itu, disambut hamparan sawah yang luas yang dulunya merupupakan Kampung Tua bernama Ketol, meski saat ini tak ada lagi hunian didaerah hamparan sawah tersebut.
Kami pun sampai di simpang menuju Kampung Bah, salah satu kampung yang tertimbun longsor karena gempa, 4 orang anak terkubur dan berhasil dievakuasi beberapa hari lalu, kami pun berembuk sejenak, lalu memutuskan untuk tidak membelokkan mobil ke kiri menuju Kampung Bah dan memilih jalan untuk meilihat kondisi pengungsi di Blang Mancung Kecamatan Ketol.
Malam kian datang, jam telah menunjukkan Pukul 12.45 Wib, kami pun memasuku Kampung Blang Mancung, disepanjang perjalanan terlihat satu dua orang yang tidak tidur dibeberapa kamp pengungsian, kami pun tak menyinggahi mereka lagi, takut menganggu warga yang sedang tidur, mereka mungkin kecapaian disiang harinya bahkan mungkin telah beberapa hari tak bisa tidur takut akan gempa susulan,
Kami pun memutuskan untuk kembali ke kota Takengon. Memang perjalanan malam yang kami lakukan saat itu langsung bisa melihat kondisi beberapa kamp pengungsi yang kami mendengarkan penderiataan dan keluhan mereka.
Semoga saja dengan banyaknya kalangan yang membantu korban gempa Gayo, bantuan-bantuan tersebut tepat sasaran, bagi mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan tersebut.
Semoga saja, tidak ada orang yang mengambil manfaat serta kepentingan ditengah penderitaan yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tengah tertimpa bencana ini. Karena mereka sangat membutuhkan pertolongan dari kita, sedikit bantuan kita asal tepat sasaran sangat berarti bagi mereka. ***